Kampanye di kampus perlu diizinkan karena mencerdaskan dalam wawasan politik
Jakarta (ANTARA) - Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Ma’mun Murod menilai penyelenggaraan kampanye di kampus sepatutnya diizinkan oleh pihak terkait, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), karena dapat mencerdaskan warga kampus, dalam hal ini berkenaan dengan wawasan politik.
“Kampanye di kampus kalau perlu dibolehkan, diizinkan kampus dijadikan sebagai ajang kampanye, justru itu mencerdaskan,” ujar Ma’mun saat menjadi narasumber dalam webinar yang diselenggarakan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) bertajuk Peran Perguruan Tinggi dalam Menyikapi Potensi Politik Identitas pada Pemilu 2024, sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube Seknas JPPR di Jakarta, Kamis.
Dia menambahkan, selama pihak kampus memberikan kesempatan yang sama kepada partai-partai politik ataupun kandidat politik untuk berkampanye di lingkungan mereka, kampanye di kampus tidak masalah untuk diselenggarakan, justru akan membuat warga kampus melek politik.
“Yang salah adalah ketika kampus itu kemudian hanya memilah dan memilih partai tertentu atau kandidat politik tertentu yang boleh masuk kampus. Itu yang tidak benar. Tapi, kalau semua diberikan kesempatan yang sama apa yang salah? Justru biar masyarakat kampus juga melek politik,” ucap Ma’mun.
Ia mengatakan bahwa larangan berkampanye di kampus justru secara tidak langsung memunculkan anggapan bahwa warga kampus memiliki kecenderungan mudah dipengaruhi oleh partai ataupun kandidat politik tertentu.
”Itu sebenarnya sama dengan melecehkan masyarakat kampus, seolah-olah masyarakat kampus itu bodoh, gampang dipengaruhi, nanti akan dipengaruhi oleh calon tertentu, partai politik tertentu,” ucap dia.
Dalam kesempatan yang sama, pemerhati pemilu Masykurudin Hafidz mengatakan pihak kampus atau perguruan tinggi memang sepatutnya ikut terlibat dalam penyelenggaraan pemilu.
Ia pun menyambut baik pernyataan dari Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari yang sempat menyinggung kampanye di kampus dimungkinkan untuk dilaksanakan, selama partai politik atau peserta pemilu bersangkutan diundang untuk berkampanye oleh pihak kampus
“Kita tunggu saja (kepastian izin kampanye di kampus), tapi proses keterbukaan pemilu dan demokrasi di kampus itu sebenarnya sudah mulai dibuka oleh penyelenggara pemilu,” ujar dia.
Dari sisi regulasi, persoalan kampanye di kampus diatur dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Pasal tersebut menyebutkan pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Meskipun begitu, di bagian penjelasan UU Pemilu, disebutkan bahwa tiga sarana tersebut dapat digunakan untuk kampanye jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye atas undangan dari pihak penanggung jawab ketiga fasilitas tersebut.
“Kampanye di kampus kalau perlu dibolehkan, diizinkan kampus dijadikan sebagai ajang kampanye, justru itu mencerdaskan,” ujar Ma’mun saat menjadi narasumber dalam webinar yang diselenggarakan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) bertajuk Peran Perguruan Tinggi dalam Menyikapi Potensi Politik Identitas pada Pemilu 2024, sebagaimana dipantau melalui kanal YouTube Seknas JPPR di Jakarta, Kamis.
Dia menambahkan, selama pihak kampus memberikan kesempatan yang sama kepada partai-partai politik ataupun kandidat politik untuk berkampanye di lingkungan mereka, kampanye di kampus tidak masalah untuk diselenggarakan, justru akan membuat warga kampus melek politik.
“Yang salah adalah ketika kampus itu kemudian hanya memilah dan memilih partai tertentu atau kandidat politik tertentu yang boleh masuk kampus. Itu yang tidak benar. Tapi, kalau semua diberikan kesempatan yang sama apa yang salah? Justru biar masyarakat kampus juga melek politik,” ucap Ma’mun.
Ia mengatakan bahwa larangan berkampanye di kampus justru secara tidak langsung memunculkan anggapan bahwa warga kampus memiliki kecenderungan mudah dipengaruhi oleh partai ataupun kandidat politik tertentu.
”Itu sebenarnya sama dengan melecehkan masyarakat kampus, seolah-olah masyarakat kampus itu bodoh, gampang dipengaruhi, nanti akan dipengaruhi oleh calon tertentu, partai politik tertentu,” ucap dia.
Dalam kesempatan yang sama, pemerhati pemilu Masykurudin Hafidz mengatakan pihak kampus atau perguruan tinggi memang sepatutnya ikut terlibat dalam penyelenggaraan pemilu.
Ia pun menyambut baik pernyataan dari Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari yang sempat menyinggung kampanye di kampus dimungkinkan untuk dilaksanakan, selama partai politik atau peserta pemilu bersangkutan diundang untuk berkampanye oleh pihak kampus
“Kita tunggu saja (kepastian izin kampanye di kampus), tapi proses keterbukaan pemilu dan demokrasi di kampus itu sebenarnya sudah mulai dibuka oleh penyelenggara pemilu,” ujar dia.
Dari sisi regulasi, persoalan kampanye di kampus diatur dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Pasal tersebut menyebutkan pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Meskipun begitu, di bagian penjelasan UU Pemilu, disebutkan bahwa tiga sarana tersebut dapat digunakan untuk kampanye jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye atas undangan dari pihak penanggung jawab ketiga fasilitas tersebut.