ALFI Kalteng minta keseriusan pemerintah tertibkan distribusi BBM subsidi
Sampit (ANTARA) - Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Kalimantan Tengah tidak henti-hentinya meminta keseriusan pemerintah menertibkan distribusi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi karena hingga saat ini dinilai masih banyak belum tepat sasaran dan tidak sesuai peruntukannya.
"Saat ini yang terjadi, yang menikmati BBM solar bersubsidi ini bukan yang seharusnya. Oleh sebab itulah kami berupaya agar di Kalteng atau bahkan di Kalimantan berlaku satu harga bagi BBM jenis solar. Tidak ada lagi yang subsidi sehingga semua akan lancar," kata Dewan Pembina ALFI Kalteng Zulkifli Nasution di Sampit, Selasa.
Harapan itu disampaikan Zulkifli saat Musyawarah Wilayah ke-1 Dewan Pengurus Wilayah ALFI Kalteng di Sampit. Acara ini juga dihadiri pejabat dari instansi terkait seperti kepolisian, KSOP Sampit, Kadin dan lainnya.
Menurutnya, pengusaha angkutan barang, penumpang dan nelayan masih kesulitan mendapatkan solar bersubsidi. Kendaraan harus antre bahkan berhari-hari jika ingin mendapatkan solar bersubsidi di SPBU, padahal itu jelas tidak efektif karena waktu kerja menjadi terbuang dan berpotensi kehilangan pendapatan.
Melihat kondisi itulah, banyak pengusaha angkutan yang akhirnya memilih menggunakan bahan bakar nonsubsidi jenis Dexlite. Konsekuensinya, biaya bertambah sehingga pendapatan berkurang, sementara untuk menaikkan tarif tinggi juga dirasa cukup berat dan dikhawatirkan dikeluhkan konsumen.
Mantan Ketua DPD Organda Kotawaringin Timur ini mengakui, memperjuangkan penghapusan subsidi solar tidak mudah. Meski begitu, ALFI di tingkat pusat dan daerah akan terus menyuarakan usulan tersebut karena dampaknya diyakini akan positif bagi pelaku usaha dan masyarakat.
Baca juga: LPTQ Kotim diminta turut tingkatkan pembinaan umat
"Ini perlu dukungan banyak pihak. Kami akan berkolaborasi dengan daerah lain, serta dukungan gubernur dan bupati se-Kalimantan agar pemerintah memberlakukan solar satu harga," ujar Zulkifli.
Sementara itu Sekretaris ALFI Kalimantan Tengah Budi Hariono mengatakan, sudah puluhan tahun para pengusaha angkutan logistik kesulitan mendapatkan BBM subsidi. Padahal, angkutan sangat berperan dalam menjaga stabilitas harga bahan pokok dan logistik lainnya di Kalimantan Tengah.
Penyaluran BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran, berdampak terhadap usaha angkutan, terbukti dengan masih sulitnya mendapatkan solar bersubsidi, sementara Pertamina menyatakan pasokan selalu mencukupi. Imbasnya juga dirasakan oleh masyarakat luas.
"Selama ini terpaksa pakai Dexlite karena sangat sulit mendapatkan solar bersubsidi. Di SPBU harga solar bersubsidi Rp 6.500, namun setelah keluar dari SPBU (eceran) harganya makin naik hingga Rp15.000 per liter. Kalau seperti ini, lebih baik BBM subsidi dihapuskan saja," tegas Budi.
Selain masalah pasokan BBM, kendala lain yang dirasakan sektor angkutan logistik adalah kondisi infrastruktur yang masih banyak rusak di beberapa wilayah di Kalimantan Tengah. Menurutnya, perlu peningkatan signifikan dalam perbaikan jalan agar arus barang dan jasa lebih lancar sehingga harga menjadi lebih stabil dan terjangkau.
"Parameter suatu negara atau daerah dilihat dari biaya logistik. Semakin murah biaya logistik, maka semakin makmur negaranya. Makanya kami sangat berharap dukungan pemerintah, khususnya terkait BBM dan infrastruktur tersebut," demikian Budi.
Baca juga: Pemkab Kotim janji perjuangkan guru kontrak menjadi PPPK
Baca juga: Polres Kapuas bekuk residivis curanmor asal Kotim
Baca juga: Penghargaan Smart City jadi kado HUT Kotim
"Saat ini yang terjadi, yang menikmati BBM solar bersubsidi ini bukan yang seharusnya. Oleh sebab itulah kami berupaya agar di Kalteng atau bahkan di Kalimantan berlaku satu harga bagi BBM jenis solar. Tidak ada lagi yang subsidi sehingga semua akan lancar," kata Dewan Pembina ALFI Kalteng Zulkifli Nasution di Sampit, Selasa.
Harapan itu disampaikan Zulkifli saat Musyawarah Wilayah ke-1 Dewan Pengurus Wilayah ALFI Kalteng di Sampit. Acara ini juga dihadiri pejabat dari instansi terkait seperti kepolisian, KSOP Sampit, Kadin dan lainnya.
Menurutnya, pengusaha angkutan barang, penumpang dan nelayan masih kesulitan mendapatkan solar bersubsidi. Kendaraan harus antre bahkan berhari-hari jika ingin mendapatkan solar bersubsidi di SPBU, padahal itu jelas tidak efektif karena waktu kerja menjadi terbuang dan berpotensi kehilangan pendapatan.
Melihat kondisi itulah, banyak pengusaha angkutan yang akhirnya memilih menggunakan bahan bakar nonsubsidi jenis Dexlite. Konsekuensinya, biaya bertambah sehingga pendapatan berkurang, sementara untuk menaikkan tarif tinggi juga dirasa cukup berat dan dikhawatirkan dikeluhkan konsumen.
Mantan Ketua DPD Organda Kotawaringin Timur ini mengakui, memperjuangkan penghapusan subsidi solar tidak mudah. Meski begitu, ALFI di tingkat pusat dan daerah akan terus menyuarakan usulan tersebut karena dampaknya diyakini akan positif bagi pelaku usaha dan masyarakat.
Baca juga: LPTQ Kotim diminta turut tingkatkan pembinaan umat
"Ini perlu dukungan banyak pihak. Kami akan berkolaborasi dengan daerah lain, serta dukungan gubernur dan bupati se-Kalimantan agar pemerintah memberlakukan solar satu harga," ujar Zulkifli.
Sementara itu Sekretaris ALFI Kalimantan Tengah Budi Hariono mengatakan, sudah puluhan tahun para pengusaha angkutan logistik kesulitan mendapatkan BBM subsidi. Padahal, angkutan sangat berperan dalam menjaga stabilitas harga bahan pokok dan logistik lainnya di Kalimantan Tengah.
Penyaluran BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran, berdampak terhadap usaha angkutan, terbukti dengan masih sulitnya mendapatkan solar bersubsidi, sementara Pertamina menyatakan pasokan selalu mencukupi. Imbasnya juga dirasakan oleh masyarakat luas.
"Selama ini terpaksa pakai Dexlite karena sangat sulit mendapatkan solar bersubsidi. Di SPBU harga solar bersubsidi Rp 6.500, namun setelah keluar dari SPBU (eceran) harganya makin naik hingga Rp15.000 per liter. Kalau seperti ini, lebih baik BBM subsidi dihapuskan saja," tegas Budi.
Selain masalah pasokan BBM, kendala lain yang dirasakan sektor angkutan logistik adalah kondisi infrastruktur yang masih banyak rusak di beberapa wilayah di Kalimantan Tengah. Menurutnya, perlu peningkatan signifikan dalam perbaikan jalan agar arus barang dan jasa lebih lancar sehingga harga menjadi lebih stabil dan terjangkau.
"Parameter suatu negara atau daerah dilihat dari biaya logistik. Semakin murah biaya logistik, maka semakin makmur negaranya. Makanya kami sangat berharap dukungan pemerintah, khususnya terkait BBM dan infrastruktur tersebut," demikian Budi.
Baca juga: Pemkab Kotim janji perjuangkan guru kontrak menjadi PPPK
Baca juga: Polres Kapuas bekuk residivis curanmor asal Kotim
Baca juga: Penghargaan Smart City jadi kado HUT Kotim