Sampit (ANTARA) -
Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Pos Jaga Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah mencatat dari tahun ke tahun kasus konflik buaya dan manusia di wilayah setempat kian menurun.
“Alhamdulillah, untuk trennya setiap tahun semakin berkurang, awal tahun ini sempat terjadi tapi hanya satu saja dan mudah-mudahan tidak ada lagi,” kata Komandan BKSDA Pos Jaga Sampit, Muriansyah di Sampit, Sabtu.
Ia menyampaikan sejak 2013 pihaknya mencatat ada 43 kasus konflik buaya dan manusia di wilayah Kotim. Sebagian besar terjadi saat warga beraktivitas MCK di sungai.
Rincian data tersebut yakni 2013 sebanyak 3 kasus, 2014 sebanyak 3 kasus, 2015 sebanyak 1 kasus, 2016 sebanyak 5 kasus, 2017 sebanyak 2 kasus, 2018 sebanyak 5 kasus, 2019 sebanyak 3 kasus, 2020 sebanyak 15 kasus, 2021 sebanyak 4 kasus, 2022 sebanyak 1 kasus, dan dari Januari - Oktober 2023 sebanyak 1 kasus.
Muriansyah menjelaskan, penurunan kasus konflik buaya dan manusia ini berkat meningkatnya kesadaran masyarakat dengan lebih waspada dan berhati-hati ketika beraktivitas di sungai, terutama pada kondisi gelap untuk menghindari kemunculan buaya.
Menurutnya, kondisi ini tak lepas dari pemberitaan di media yang mempengaruhi pola pikir masyarakat. Dengan adanya pemberitaan, masyarakat pun bisa lebih berhati-hati ketika berada di lokasi yang pernah dilaporkan kemunculan buaya.
“Misalnya kalau tidak ada berita mungkin warga tidak tahu kalau di lokasi A pernah muncul buaya, tapi setelah diberitakan mereka jadi tahu dan lebih waspada,” ucapnya.
Kendati demikian, Muriansyah menyebut kesadaran masyarakat ini hanya dilandasi rasa takut tapi belum sampai pada pemahaman untuk mencegah dan menghindari hal-hal yang dapat memancing kedatangan buaya.
Pemahaman seperti inilah yang sekarang sedang pihaknya upayakan. Karena jika penyebab utamanya tidak dihilangkan, maka potensi konflik antara buaya dan manusia tidak akan selesai.
“Kami dulu pernah menangkap satu ekor buaya di wilayah Selatan, tapi kalau penyebab utamanya tidak dihilangkan maka akan ada buaya lain yang bisa datang, permasalahannya tidak selesai-selesai,” jelasnya.
Baca juga: Dinkes Kotim terapkan integrasi layanan primer
Pada kesempatan ini, Muriansyah pun menyampaikan beberapa hal yang dapat memicu masuknya buaya ke perairan permukiman.
Disamping karena habitat alami buaya tersebut yang kian berkurang, ada beberapa perilaku manusia yang bisa mengundang kedatangan satwa tersebut dan hal ini pula yang sering mereka temukan di sekitar lokasi yang dilaporkan kemunculan buaya.
Pertama, kebiasaan memelihara ternak di sekitar sungai bahkan tak jarang ada warga yang membangun kandang ternak tepat di atas sungai yang dapat mengundang kedatangan predator air tersebut.
Kedua, kebiasaan membuang bangkai binatang ke sungai. Ketiga, kebiasaan membuang sampah rumah tangga ke sungai, karena sampah rumah tangga ini dapat mengundang satwa seperti biawak dan monyet, sementara satwa-satwa itu merupakan mangsa alami buaya.
“Ke depan kami berharap masyarakat tidak hanya waspada, tapi juga bisa menelaah kenapa buaya bisa masuk ke perairan permukiman,” harapnya.
Selain itu, Muriansyah menambahkan perlu peran serta pemerintah untuk menekan potensi konflik buaya dan manusia. Seperti yang dilakukan oleh Kepala Desa Ganepo, Kecamatan Seranau, dengan membagikan tandon dan mesin pompa air, sehingga warga tak perlu lagi MCK ke sungai.