Putusan MK pelindung demokrasi dan cegah kotak kosong
Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Pengamat hukum Universitas Airlangga (Unair) Dr Adam Muhshi menyebutkan bahwa putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan (threshold) dapat menjadi pelindung demokrasi di Indonesia, termasuk mencegah munculnya kotak/bumbung kosong akibat menguatnya satu pasangan calon.
"Secara hukum, Putusan MK tersebut berlaku sejak dibacakan. Untuk itu, tak ada pilihan lain bagi KPU untuk segera menindaklanjuti dan melaksanakan putusan tersebut untuk pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) 2024," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Rabu.
Menurutnya, putusan tersebut tentu saja menjadi energi positif bagi demokrasi dan menjadi obat penawar bagi kekhawatiran masyarakat dalam beberapa hari terakhir yang melihat menguatnya potensi terciptanya satu pasangan calon hingga dimungkinkan upaya melawan kotak kosong dalam Pilkada 2024 di beberapa daerah.
"Dengan adanya putusan MK 60 itu potensi terciptanya pasangan calon tunggal atau melawan bumbung kosong tentu saja sulit terjadi karena partai politik yang belum memberikan rekomendasi berpeluang untuk mengusung calon sendiri," tuturnya.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan, lanjut dia, koalisi yang sudah terbangun di beberapa daerah dan hanya mengerucut pada satu pasangan calon akan berubah dengan dibukanya putusan MK itu.
Mantan dosen Fakultas Hukum Universitas Jember itu mengatakan bahwa putusan MK tentu saja menjadi kabar gembira bagi publik yang sudah pasti berharap adanya banyak pilihan pasangan calon yang dapat dipilih untuk mengurus hajat hidup masyarakat selama 5 tahun ke depan.
"Putusan itu menunjukkan bahwa MK memosisikan diri sebagai the protector of democracy (pelindung demokrasi) dengan mengembalikan marwah demokrasi yang telah diamanahkan Pasal 1 UUD 1945 dan tentu saja akan menyehatkan kehidupan demokrasi ke depan," ujarnya.
Pakar hukum tata negara itu menjelaskan putusan tersebut wajib dilaksanakan karena putusan MK final dan mengikat, sehingga semua pihak wajib mematuhinya termasuk pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang (UU).
"Saya berharap pembentuk UU tak melakukan pembangkangan terhadap konstitusi dengan menganulir Putusan MK 60 melalui revisi UU seperti isu yang sedang berkembang saat ini," ucap Dosen S3 Hukum dan Pembangunan SPS Unair.
"Secara hukum, Putusan MK tersebut berlaku sejak dibacakan. Untuk itu, tak ada pilihan lain bagi KPU untuk segera menindaklanjuti dan melaksanakan putusan tersebut untuk pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) 2024," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Rabu.
Menurutnya, putusan tersebut tentu saja menjadi energi positif bagi demokrasi dan menjadi obat penawar bagi kekhawatiran masyarakat dalam beberapa hari terakhir yang melihat menguatnya potensi terciptanya satu pasangan calon hingga dimungkinkan upaya melawan kotak kosong dalam Pilkada 2024 di beberapa daerah.
"Dengan adanya putusan MK 60 itu potensi terciptanya pasangan calon tunggal atau melawan bumbung kosong tentu saja sulit terjadi karena partai politik yang belum memberikan rekomendasi berpeluang untuk mengusung calon sendiri," tuturnya.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan, lanjut dia, koalisi yang sudah terbangun di beberapa daerah dan hanya mengerucut pada satu pasangan calon akan berubah dengan dibukanya putusan MK itu.
Mantan dosen Fakultas Hukum Universitas Jember itu mengatakan bahwa putusan MK tentu saja menjadi kabar gembira bagi publik yang sudah pasti berharap adanya banyak pilihan pasangan calon yang dapat dipilih untuk mengurus hajat hidup masyarakat selama 5 tahun ke depan.
"Putusan itu menunjukkan bahwa MK memosisikan diri sebagai the protector of democracy (pelindung demokrasi) dengan mengembalikan marwah demokrasi yang telah diamanahkan Pasal 1 UUD 1945 dan tentu saja akan menyehatkan kehidupan demokrasi ke depan," ujarnya.
Pakar hukum tata negara itu menjelaskan putusan tersebut wajib dilaksanakan karena putusan MK final dan mengikat, sehingga semua pihak wajib mematuhinya termasuk pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang (UU).
"Saya berharap pembentuk UU tak melakukan pembangkangan terhadap konstitusi dengan menganulir Putusan MK 60 melalui revisi UU seperti isu yang sedang berkembang saat ini," ucap Dosen S3 Hukum dan Pembangunan SPS Unair.