Palangka Raya (ANTARA) - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dinilai tidak hanya memperberat beban pelaku usaha tetapi juga berpotensi mematikan sektor sawit nasional, terutama bagi petani dan pelaku usaha sawit kecil menengah.
Alhasil terbitnya PP 45/2025 yang merupakan revisi PP 24/2021 itu menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan industri sawit nasional, kata Pakar Hukum Kehutanan Dr Sadino melalui rilis diterima di Palangka Raya, Senin.
"Apalagi proses pembahasan PP itu minim uji publik dan tidak melibatkan pemangku kepentingan utama, terutama petani sawit yang menguasai sekitar 42 persen lahan sawit nasional," ucapnya.
Dikatakan, PP No24/2021 sebelum direvisi, selalu memberi ruang penyelesaian keterlanjuran secara administratif. Sebaliknya, PP 45/2025 justru mengarah pada pendekatan penghukuman. Hal itu menunjukkan adanya paradigma kebijakan bergeser dari pembinaan menjadi pembinasaan, dari penataan menuju pengambilalihan.
Sadino yang juga staf pengajar di Universitas Al-Azhar Indonesia mengemukakan, sorotan utama PP 45/2025 adalah tarif denda administratif yang sangat tinggi. Di mana pemerintah menetapkan denda Rp25 juta per hektare per tahun bagi lahan sawit yang dikategorikan sebagai pelanggaran..
"Jika penguasaan lahan dilakukan selama 20 tahun, maka nilai dendanya mencapai Rp375 juta per hektare. Jauh melampaui nilai pasar lahan sawit yang hanya Rp50–100 juta per hektare," beber dia.
Menurut dirinya, angka itu tidak masuk akal dan membunuh pelaku usaha kecil dan menengah. Bahkan, perusahaan besar pun akan terguncang arus kasnya. Kredit perbankan akan macet karena usaha ini dianggap tidak bankable. Akibatnya, bisa terjadi PHK massal dan penelantaran kebun sawit.
Akademisi ini pun menegaskan bahwa secara normatif, prinsip pengenaan denda seharusnya disesuaikan dengan tingkat pelanggaran dan keuntungan yang diperoleh, bukan angka tetap.
Baca juga: Sensor canggih ukur kematangan sawit, solusi masa depan petani Indonesia
"UU Cipta Kerja menekankan denda berdasarkan persentase keuntungan, bukan nilai absolut yang memberatkan. Tujuannya memperbaiki kepatuhan, bukan mematikan usaha," kata Sadino.
Ia juga mengingatkan bahwa kesalahan tata kelola kawasan hutan di masa lalu, tidak sepenuhnya berada di tangan masyarakat ataupun pelaku sawit. Sebaliknya, andil kesalahan ada pada pemerintah di masa lalu karena belum adanya sumber perizinan satu peta.
"Mayoritas perizinan muncul karena kebijakan otonomi daerah setelah terbitnya UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan kewenangan pada bupati untuk memberikan izin," demikian Sadino.
Baca juga: Perusakan kebun sawit sitaan dinilai mengancam stabilitas ekonomi nasional
