Jakarta (Antara Kalteng) - Mengoleksi batik bisa menjadi alat bagi masyarakat untuk berinvestasi jangka panjang yang tidak kalah dibandingkan dengan lukisan.
"Batik sangat identik dengan Indonesia. Jadi pasarnya sangat luas dan beberapa kolektor asing, seperti Jepang, Amerika, Australia dan negara ASEAN, seperti Singapura dan Malaysia sangat antusias mengumpulkan batik sejak puluhan tahun lalu," kata Rahmat, kolektor batik, di Jakarta, Minggu.
Dia menjelaskan mengoleksi batik membutuhkan waktu lebih lama, namun biaya lebih murah daripada mengoleksi lukisan.
"Ketika kain bertambah tua dan dijual kepada kolektor batik lain, maka harganya bisa saja setara atau bahkan lebih tinggi dari lukisan tertentu akibat sangat langkanya," tambah dia.
Tapi sayangnya, para kolektor masih banyak yang salah beli tekstil cetak bermotif mirip batik dan dikira batik tulis.
Masyarakat juga, lanjut dia, belum banyak yang memandang batik sebagai barang seni dengan potensi investasi tinggi. Padahal, ada batik tulis antik yang harganya di atas lukisan maestro berukuran kecil.
Rahmat sendiri mempunyai batik Oey Soe Thoen dan Kopi Tutung yang berusia 95 tahun. Batik tersebut dipamerkannya pada pameran di Galeri Apik, hingga 25 Mei mendatang.
"Jadi yang dipamerkan itu semuanya adalah kain unggulan (wastra prima)," jelas Rahmat yang juga Direktur Galeri Apik itu.
Menurut dia, pameran tersebut sangat istimewa karena bertepatan dengan peringatan Hari Kartini.
"Batik tulis itu dekat dengan citra wanita berkain. Bagi saya keduanya, baik lukisan maupun batik memiliki nilai seni dan budaya tinggi, karena kreativitas perancangnya yang mengagumkan, memiliki banyak arti simbol khas dan dibuat tangan," terang dia.
Pameran tersebut bertajuk "Small Bites". Rahmat sengaja mengangkat tema "Small Bites", karena lukisan yang dipamerkan seluruhnya berukuran kecil, tidak lebih dari 90 cm x 90 cm namun sebagian besar adalah karya old master (seniman ternama) dan maestro yang menggugah hati sangat menggigit.
Seperti Popo Iskandar, Nashar, Gerard Pieter Adolfs, Sunaryo, Made Wianta, Willem Gerard Hofker, Rustamadji, Arie Smit, Leo Eland, HAL Wichers, Willem Imandt, Rudolf Bonnet, Lee Man Fong dan Soedibio.
Sementara kain yang dipamerkan adalah kebaya antik, kain tenun wastra nusantara berusia 40 tahun lebih, dan koleksi batik-batik tua berusia 80 tahun lebih dari perancang terkenal zamannya.