Opini - Kualitas Pelayanan Publik Dalam Meningkatkan Iklim Usaha Industri Ekonomi Kreatif

id ombudsman kalteng, ekonomi kreatif, pelayanan publik

Opini - Kualitas Pelayanan Publik Dalam Meningkatkan Iklim Usaha Industri Ekonomi Kreatif

Yogie Oktavianus Sihombing, Asisten Ombudsman RI Kalimantan Tengah. (Dok. Pribadi)

Palangka Raya (Antara Kalteng) - Pengusaha atau investor memiliki peranan penting dalam menciptakan iklim usaha khususnya daerah-daerah di Indonesia, karena selain menciptakan daya saing industri kreatif dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, juga dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di berbagai daerah di seluruh Indonesia. 

Lalu, apa hubungannya antara  menciptakan iklim usaha terhadap kualitas sektor pelayanan publik khususnya pada pelayanan perizinan?

Diketahui bersama, para pelaku usaha tidak serta merta melakukan pendirian perusahaan seperti menjentikkan jari, ibarat David Copperfield yang melakukan trik sulap dalam waktu per sekian detik untuk menghilangkan suatu benda lalu mengembalikannya seperti semula. Namun tidak sesederhana itu di Indonesia, banyak prosedur yang dilalui oleh para pelaku usaha untuk mendapatkan beberapa surat izin usaha hanya agar perusahaanya diakui dan mempunyai dasar hukum yang kuat. Ambil saja contohnya, untuk membuat perusahaan harus adanya Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), Izin Usaha Industri (IUI), dan masih banyak jenis izin lainnya. 

Dilihat  dari segi kualitas pelayanan publik yang cukup dipandang buruk, bila cenderung memiliki alur birokrasi yang gemuk, prosedur yang tidak jelas sehingga membuat para pelaku usaha bingung dalam mengurus izin yang justru membuat para pelaku usaha merogoh kocek mereka dalam-dalam guna memperlancar proses perizinan. Ironis memang, belum lagi ada oknum yang melakukan perbuatan diskriminatif karena faktor ketidaksukaan secara suku, agama, ras, antargolongan (SARA) sehingga membuat kepengurusan izinnya diperlambat bahkan tidak dilayani. 

Bayangkan jika pelayanan publik yang buruk seperti itu terjadi, para pelaku usaha pun jadi malas mengurus izin mereka, lalu industri ilegal menjamur dimana-dimana, bahkan para pelaku usaha pun mencari alternatif tempat usaha yang lebih menguntungkan. Dengan kata lain mencari daerah yang mana kualitas sektor pelayanan perizinannya jauh lebih baik sehingga memudahkan para pelaku usaha untuk menjalankan bisnisnya dengan nyaman, sehingga membuat minimnya investor di daerah yang kualitas pelayanan perizinannya buruk. Lalu, siapa yang akhirnya disalahkan? Jadi, sekarang bukan zaman untuk mencari apa dan siapa yang salah, sekarang adalah zamannya mencari jalan keluar dari setiap permasalahan yang ada.

Merujuk kepada UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, seharusnya para penyelenggara negara sudah mengimplementasikan komponen standar pelayanan publik, kenyataannya masih banyak pemerintah  daerah di Indonesia yang belum patuh terhadap kualitas standar pelayanan publik. Menurut Transparency International (TI) mengumumkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau Corruption Perceptions Index (CPI) 2016. Dari survei terbaru ini, skor IPK Indonesia naik dari 36 menjadi 37 poin dan menempati urutan 90 dari 176 negara yang diukur, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TPI) Dadang Trisasongko menuturkan, skor IPK Indonesia 2016 hanya meningkat 1 poin dari 36 menjadi 37 itu menunjukkan pemberantasan korupsi di Tanah Air masih cenderung lambat, lantaran pemberantasan korupsi hanya terfokus di sektor birokrasi. Sedangkan dari survei Bank Dunia terkait kemudahan dalam berusaha (ease of doing business rankings) pada 2016, indeks kemudahan berusaha Indonesia berada di peringkat 109 dari 189 negara, atau naik 11 peringkat dibanding tahun lalu yang berada di peringkat 120. Sementara Malaysia berada di peringkat 18, Thailand 48, dan Vietnam 90 dan diharapkan pada tahun 2017 ini posisi Indonesia akan semakin membaik. Apalagi sekarang Indonesia telah memasuki kawasan pasar bebas ASEAN atau MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang artinya persaingan daya saing ekonomi dan usaha masyarakatnya tidak lagi dilihat antar daerah di Indonesia melainkan antar negara se-Asia Tenggara.

Karena itu jangan heran, apabila dilihat dari segi kualitas pelayanan publik di Asia Tenggara khususnya, Singapura menempati peringkat tertinggi yang artinya para pelaku usaha banyak melakukan investasi maupun bisnis di Singapura dilihat dari faktor kemudahan dalam menjalankan usaha di negeri seribu satu larangan tersebut, alur pelayanan perizinan yang cenderung ramping yang membuat para pelaku usaha “dimanjakan” dengan kualitas pelayanan perizinan terbaik, artinya Singapura sudah menerapkan standar pelayanan maksimal untuk masyarakatnya. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Indonesia, khususnya para pemerintah daerah agar mampu menarik perhatian para pelaku dunia usaha agar mau berinvestasi, tidak harus para investor dari luar negeri, UKM (Usaha Kecil Menengah) itu bisa juga disebut investor dalam negeri yang bisa menciptakan iklim usaha yang inovatif dan bersaing, karena UKM bisa menciptakan industri ekonomi kreatif.

Menurut data dari Kementerian Perdagangan seperti yang dituturkan oleh Muchammad Arif, industri kreatif pada 2006 menyumbang Rp 104,4 triliun, atau rata-rata 4,75% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional selama 2002-2006. Jumlah ini melebihi sumbangan sektor listrik, gas dan air bersih. Tiga subsektor yang memberikan kontribusi paling besar nasional adalah mode (30%), kerajinan (23%) dan periklanan (18%). Dibandingan 10 tahun kemudian, tahun 2016  menurut Deputi Riset, Edukasi, dan Pengembangan Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) Abdur Rohim Boy Berawi mengungkapkan bahwa industri kreatif dalam setahun terakhir telah menyumbang Rp 642 triliun atau 7,05% dari total produk domestik bruto (PDB), kontribusi terbesar berasal dari usaha kuliner sebanyak (32,4%), mode / fashion (27,9%), dan kerajinan (14,88%). Bisa dibayangkan pada tahun 2017 ke depan, ekonomi kreatif secara umum dan industri kreatif khususnya diyakini akan menjadi unggulan. Ada tiga alasan yang mendasari keyakinan tersebut, yaitu hemat energi karena lebih berbasis pada kreativitas, lebih sedikit menggunakan sumber daya alam, dan menjanjikan keuntungan lebih tinggi. Hal ini akan semakin meningkat jika mampu diiringi dengan proses pelayanan yang prima pada birokrasi di pemerintahan.

Kesimpulannya, maukah para pemangku kepentingan daerah berbenah serta berkomitmen menciptakan kualitas pelayanan publik yang terbaik dan transparan khususnya dari sektor perizinan usaha dalam menciptakan daya saing usaha agar para investor segan dan nyaman untuk berinvestasi di seluruh daerah di Indonesia? Inilah tugas bersama antara masyarakat yang mempunyai hak mengawasi standar pelayanan publik seperti tertuang dalam Pasal 18 UU No. 25 Tahun 2009 dan Ombudsman selalu lembaga pengawas pelayanan publik seperti tertuang dalam UU. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Harapannya juga adalah dengan adanya penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) antara Ombudsman Republik Indonesia dengan Kepala Daerah se-Kalimantan Tengah beberapa waktu yang lalu dapat meningkatkan kualitas dan kesadaran akan pentingnya pelayanan publik untuk masyarakat dan juga para pelaku usaha yang akan menanamkan investasinya di Kalimantan Tengah. Ini semua kembali ke hati nurani masing-masing, mau berbuat yang lebih baik atau tidak, mengingat perilaku koruptif sudah melekat dan membudaya di Indonesia. Semoga! 


** Penulis adalah Asisten Ombudsman RI Kalimantan Tengah