Buntok (Antaranews Kalteng) - Tanguk merupakan alat tangkap ikan tradisional yang hingga saat ini masih digunakan warga kalangan Suku Dayak Ma`anyan yang berdomisili di wilayah Kabupaten Barito Selatan dan Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah.
Alat tangkap ikan tradisional itu sering kali digunakan oleh suku dayak Ma`anyan yang umumnya berdomisili di dua wilayah Kabupaten tersebut secara turun temurun.
"Tanguk yang terbuat dari bilah rotan atau bambu yang dianyam tersebut digunakan untuk mencari ikan, dan udang kecil pada anak sungai atau dalam bahasa Ma`anyan disebut nikep," kata salah seorang suku Dayak Ma`anyan, Titha di Buntok, Senin.
Ia mengatakan, pada umumnya kegiatan nikep atau mencari ikan pada siang hari tersebut dilakukan ibu rumah tangga yang mana hasil tangkapan ikan untuk dikonsumsi keluarganya masing-masing.
Alat tangkap ikan tersebut biasanya dipergunakan untuk menangkap ikan atau udang berukuran kecil dipinggir sungai maupun pada perairan yang dangkal.
"Kalau aktifitas menangkap udang, dan ikan menggunakan tanguk pada malam hari disebut dengan istilah bahasa Suku Dayak Ma`anyan dengan sebutan ngame," ujarnya.
Selain untuk menangkap ikan, tanguk tersebut bisa juga digunakan sebagai tempat untuk meletakan sayur-sayuran.
"Tanguk juga berfungsi sebagai tempat untuk meniriskan seperti piring, gelas, dan mangkuk serta sendok setelah dicuci," ucap Titha.
"Alat tradisional tersebut juga kadangkala bisa digunakan oleh suku Dayak Ma`anyan untuk menjemur ikan untuk membuat ikan asin," ucap Titha.
Ia menjelaskan, menangkap ikan menggunakan alat tersebut dengan memasukan tanguk kedalam air, kemudian ditarik kepinggir, atau memasukannya kesela-sela akar pohon yang berada dipinggir anak sungai.
Cara Membuat Tanguk
Sementara Aldalia mengatakan, untuk membuat tanguk alat tangkap ikan tradisional tersebut memerlukan waktu satu hingga dua hari.
Adapun cara untuk membuat tanguk itu pertama bilah rotan dengan diameter yang besar, dan setelah itu dipotong dengan ukuran tertentu, dan dibengkokan menggunakan panas api sehingga berbentuk lonjong atau menjadi persegi empat panjang sesuai ukuran yang diinginkan, dan diikat yang fungsinya sebagai tempat memegang pada saat mencari ikan.
"Kemudian mempersiapkan bilah rotan atau bambu yang diameternya kecil, dan setelah itu dipotong dengan ukuran panjang tertentu," ucap Aldalia.
Selanjutnya kata dia, beberapa bilah rotan atau bambu berdiameter kecil dibelah sehingga menjadi beberapa bagian, dan kemudian diraut menggunakan pisau.
"Setelah itu, rotan atau bambu yang sudah diraut tersebut disusun sejajar dengan samping kiri, dan kanan rotan yang sudah berbentuk segi empat, kemudian diikat atau dianyam dengan rotan," tambah dia.
Bilah rotan yang sudah diraut tersebut kata dia, disusun dari pada bagian kiri, dan kanan rotan yang sudah berbentuk segi empat atau lonjong, dan bilah rotan dibuat berbentuk cekung.
Kemudian, diikat, dan dianyam menggunakan rautan bambu, atau rotan pada bagian yang berlawanan dengan bilah rotan yang tersusun dengan jarak tertentu dari pinggir hingga ke ujungnya.
Ia menyampaikan, tanguk tersebut biasanya dibuat oleh suku dayak Ma`anyan dengan berbagai ukuran dari yang kecil hingga ukuran yang besar.
"Tanguk ini masih digunakan oleh suku dayak Ma`anyan yang berada dipedalaman untuk mencari ikan terutama pada saat musim kemarau," ucap dia.
Ia menyampaikan, saat ini sudah sangat jarang terlihat ada dijual dipasaran di wilayah setempat, kecuali kalau ada yang memesan, baru dibuat tanguknya.
"Saat ini tanguk sudah jarang terlihat, karena sudah banyak alat tangkap ikan yang modern yang sudah dijual dipasaran," ujarnya.
Meskipun demikian, ia berharap kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Barito Selatan melalui instansi terkait bisa melestarikan salah satu alat tangkap ikan khas suku dayak Ma`anyan tersebut.