Seluruh pembelaan Idrus ditolak hakim
Jakarta (ANTARA) - Majelis hakim pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak seluruh pembelaan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham yang tertuang dalam pledoi (nota pembelaan).
"Pendapat majelis, 'curhat' terdakwa yang mengatakan ada kecenderungan fakta-fakta tidak diperhatikan dan kalau pun diperhatikan hanya untuk melegimitasi hukuman sehingga dakwaan hanya melegitimasi tuntutan. Majelis hakim tidak sependapat untuk terdakwa bersalah harus sesuai dengan bukti-bukti yang cukup dan keyakinan hakim," kata anggota majelis hakim Anwar di pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa.
Idrus dalam perkara ini dinilai bersalah karena terbukti menerima suap Rp2,25 miliar bersama-sama dengan anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar non-aktif Eni Maulani Saragih dari pemilik Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo untuk mendapatkan proyek "Independent Power Producer" (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).
Idrus divonis 3 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 2 bulan kurungan, masih lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang menuntut Idrus divonis selama 5 tahun dan pidana denda selama Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan.
Vonis itu pun berdasarkan dakwaan kedua yaitu pasal 11 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP,bukan pasal 12 huruf a sebagaimana tuntutan JPU KPK.
"Dan perlu diketahui keputusan pengadilan harus dipertanggungajawabkan di dunia dan akhirat sesuai ketentuannya yaitu keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan harus semua unsur terpenuhi kalau salah satu tidak terpenuhi tidak bisa dinyatakan bersalah," tambah hakim Anwar.
Hakim juga menolak pembelaan Idrus yang mengatakan bahwa tuntutan hanya merupakan "copy paste" dakwaan sehingga paradigma yang dipakai adalah menghukum, bukan mengadili.
"Terhadap hal ini majelis hakim tidak sependapat karena JPU memang fungsinya membuktikan semaksimal mungkin dakwaannya begitu pula penasihat hukum sebaliknya melakukan pengumpulan bukti dan membela secara subjektif sehingga kalau perlu terdakwa dapat bebas. Berbeda dengan hakim yang mengadili dengan berpegang pada 'Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa sehingga dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat," tambah hakim Anwar.
Selanjutnya Idrus dalam pledoinya juga mencantumkan bahwa untuk mendapatkan legimitasi dalam tuntutan, JPU hanya mencantumkan percakapan "WhatsApp" antara Idrus dengan Johannes Kotjo untuk mendapat pinjaman pilkada bagi Eni Maulani Saragih, tapi tidak dilengkapi dengan jawaban Johannes Kotjo bahwa permohonan pinjaman Eni ditolak sehingga permintaan uang itu tidak lagi dapat dikaitkan.
"Terhadap pembelaan itu majelis hakim tidak sependapat sebagaimana berita acara persidangan Eni, di mana sebelumnya Eni disumpah dan Eni menjelaskan kepada ketua majelis hakim benar bahwa itu WA saya dengan Pak Kojto di mana saya informasikan pada 21 November 2017 akan ada rapat pleno DPP Golkar untuk menetapkan Idrus yang menjadi Sekjen sebagai Plt Ketum Golkar dan Idrus meminta saya menghubungi Kotjo agar mempersiapkan biaya tapi tidak dibalas Kotjo sehingga pada 25 November 2017 saya hubungi Kotjo kembali dan menyampaikan perintah bang Idrus hari itu juga butuh pak Kotjo untuk konsolidasi," terang hakim Anwar menirukan pernyataan Eni.
Selanjutnya Johannes Kotjo menanyakan berapa dan kapan dan ada pertemuan dan dijawab di hotel Sultan dan harus siap dan totalnya 400 ribu dolar Singapura dan akan diberikan 10 ribu dolar Singapur per DPP. Kotjo mengatakan tidak bisa karena bank tutup jadi paling cepat Selasa, 28 Nov 2017 dan Eni mengatakan itu adalah untuk Idrus Marham.
"Dari krononologisnya, Eni awalnya dikenalkan Setya Novanto tapi karena Setnov kena perkara KTP-e, Eni berinisiatif lapor ke Idrus seperti memberi tahu ada 'fee' yang akan didapat dan memberitahu pertemuan-pertemuan dengan Dirut PLN Sofyan Basir dan Johannes Kotjo, seperti barang bukti telepon JPU dan kenyataannya uang yang diterima Eni yang merupakan pemberian Kotjo dikembalikan Sarmudji sebesar Rp713 juta yang jadi bagian Munaslub Golkar sesuai keterangan Johanes Kotjo di persidangan yang mengatakan memberikan sumbangan karena melihat Idrus Marham sehingga pembelaan terdakwa tersebut harus dikesampingkan," jelas hakim Anwar.
Sedangkan terkait pembelaan Idrus yang mengatakan selalu mengatakan "OK, OK" dan menghindari bertemu Eni dengan mengatakan akan pergi ke daerah-daerah juga ditolak hakim.
"Jelas terungkap di sidang bahwa Eni setelah Setnov tersangkut KTP-e maka semua perkembangan PLTU Riau 1 dilaporkan ke terdakwa," ungkap hakim Anwar.
Atas vonis itu, Idrus dan JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
"Kita akan memanfaatkan waktu yang diberikan UU kepada saya selama 7 hari dan pada saatnya saya akan menentukan sikap lebih lanjut dan tentu akan dalam koridor aturan dan hukum yang ada," kata Idrus.
Terkait perkara ini, Eni Maulani Saragih pada 1 Maret 2019 lalu telah divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan ditambah kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp5,87 miliar dan 40 ribu dolar Singapura.
Sedangkan Johanes Budisutrisno Kotjo diperberat hukumannya oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menjadi 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.
"Pendapat majelis, 'curhat' terdakwa yang mengatakan ada kecenderungan fakta-fakta tidak diperhatikan dan kalau pun diperhatikan hanya untuk melegimitasi hukuman sehingga dakwaan hanya melegitimasi tuntutan. Majelis hakim tidak sependapat untuk terdakwa bersalah harus sesuai dengan bukti-bukti yang cukup dan keyakinan hakim," kata anggota majelis hakim Anwar di pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa.
Idrus dalam perkara ini dinilai bersalah karena terbukti menerima suap Rp2,25 miliar bersama-sama dengan anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Golkar non-aktif Eni Maulani Saragih dari pemilik Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo untuk mendapatkan proyek "Independent Power Producer" (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1).
Idrus divonis 3 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 2 bulan kurungan, masih lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang menuntut Idrus divonis selama 5 tahun dan pidana denda selama Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan.
Vonis itu pun berdasarkan dakwaan kedua yaitu pasal 11 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP,bukan pasal 12 huruf a sebagaimana tuntutan JPU KPK.
"Dan perlu diketahui keputusan pengadilan harus dipertanggungajawabkan di dunia dan akhirat sesuai ketentuannya yaitu keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan harus semua unsur terpenuhi kalau salah satu tidak terpenuhi tidak bisa dinyatakan bersalah," tambah hakim Anwar.
Hakim juga menolak pembelaan Idrus yang mengatakan bahwa tuntutan hanya merupakan "copy paste" dakwaan sehingga paradigma yang dipakai adalah menghukum, bukan mengadili.
"Terhadap hal ini majelis hakim tidak sependapat karena JPU memang fungsinya membuktikan semaksimal mungkin dakwaannya begitu pula penasihat hukum sebaliknya melakukan pengumpulan bukti dan membela secara subjektif sehingga kalau perlu terdakwa dapat bebas. Berbeda dengan hakim yang mengadili dengan berpegang pada 'Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa sehingga dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat," tambah hakim Anwar.
Selanjutnya Idrus dalam pledoinya juga mencantumkan bahwa untuk mendapatkan legimitasi dalam tuntutan, JPU hanya mencantumkan percakapan "WhatsApp" antara Idrus dengan Johannes Kotjo untuk mendapat pinjaman pilkada bagi Eni Maulani Saragih, tapi tidak dilengkapi dengan jawaban Johannes Kotjo bahwa permohonan pinjaman Eni ditolak sehingga permintaan uang itu tidak lagi dapat dikaitkan.
"Terhadap pembelaan itu majelis hakim tidak sependapat sebagaimana berita acara persidangan Eni, di mana sebelumnya Eni disumpah dan Eni menjelaskan kepada ketua majelis hakim benar bahwa itu WA saya dengan Pak Kojto di mana saya informasikan pada 21 November 2017 akan ada rapat pleno DPP Golkar untuk menetapkan Idrus yang menjadi Sekjen sebagai Plt Ketum Golkar dan Idrus meminta saya menghubungi Kotjo agar mempersiapkan biaya tapi tidak dibalas Kotjo sehingga pada 25 November 2017 saya hubungi Kotjo kembali dan menyampaikan perintah bang Idrus hari itu juga butuh pak Kotjo untuk konsolidasi," terang hakim Anwar menirukan pernyataan Eni.
Selanjutnya Johannes Kotjo menanyakan berapa dan kapan dan ada pertemuan dan dijawab di hotel Sultan dan harus siap dan totalnya 400 ribu dolar Singapura dan akan diberikan 10 ribu dolar Singapur per DPP. Kotjo mengatakan tidak bisa karena bank tutup jadi paling cepat Selasa, 28 Nov 2017 dan Eni mengatakan itu adalah untuk Idrus Marham.
"Dari krononologisnya, Eni awalnya dikenalkan Setya Novanto tapi karena Setnov kena perkara KTP-e, Eni berinisiatif lapor ke Idrus seperti memberi tahu ada 'fee' yang akan didapat dan memberitahu pertemuan-pertemuan dengan Dirut PLN Sofyan Basir dan Johannes Kotjo, seperti barang bukti telepon JPU dan kenyataannya uang yang diterima Eni yang merupakan pemberian Kotjo dikembalikan Sarmudji sebesar Rp713 juta yang jadi bagian Munaslub Golkar sesuai keterangan Johanes Kotjo di persidangan yang mengatakan memberikan sumbangan karena melihat Idrus Marham sehingga pembelaan terdakwa tersebut harus dikesampingkan," jelas hakim Anwar.
Sedangkan terkait pembelaan Idrus yang mengatakan selalu mengatakan "OK, OK" dan menghindari bertemu Eni dengan mengatakan akan pergi ke daerah-daerah juga ditolak hakim.
"Jelas terungkap di sidang bahwa Eni setelah Setnov tersangkut KTP-e maka semua perkembangan PLTU Riau 1 dilaporkan ke terdakwa," ungkap hakim Anwar.
Atas vonis itu, Idrus dan JPU KPK menyatakan pikir-pikir selama 7 hari.
"Kita akan memanfaatkan waktu yang diberikan UU kepada saya selama 7 hari dan pada saatnya saya akan menentukan sikap lebih lanjut dan tentu akan dalam koridor aturan dan hukum yang ada," kata Idrus.
Terkait perkara ini, Eni Maulani Saragih pada 1 Maret 2019 lalu telah divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan ditambah kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp5,87 miliar dan 40 ribu dolar Singapura.
Sedangkan Johanes Budisutrisno Kotjo diperberat hukumannya oleh Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta menjadi 4,5 tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider 6 bulan kurungan.