Nanga Bulik (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah melalui Dinas Pariwisata setempat kembali menggelar Festival Babukung untuk ke lima kalinya yang dilaksanakan pada 11 sampai 13 Oktober 2019 mendatang.
Namun ternyata, di balik pelaksanaan Festival Babukung, ternyata tari Babukung mempunyai sisi historis yang memiliki muatan filosofis yang sangat tinggi, terutama dalam pergumulan masyarakat adat Dayak dengan kepercayaan Kaharingan terdahulu
"Tari Babukung sejatinya bukan hanya merupakan sebuah pertunjukan seni produk adat asli masyarakat Dayak Tomun yang merupakan warisan nenek moyang yang ada di Bumi Kalimantan, tetapi ada nilai filosofi yang tinggi yang terkandung di dalamnya," kata Kepala Seksi Tata Kelola Destinasi, Dinas Pariwisata Lamandau, Edmond Lamey di Nanga Bulik, Minggu.
Disebutkannya, masyarakat Dayak Tomun melaksanakan tradisi Babukung, ketika salah satu kerabat pemeluk kepercayaan Kaharingan meninggal dunia. Tradisi ini yakni menari dengan ciri khas penggunaan topeng yang dalam bahasa lokal disebut Luha. Umumnya topeng ini berkarakter hewan seperti burung, kelelawar, kupu-kupu, owa-owa, bahkan hewan imajiner naga.
Pelaksanaan Babukung akan berlangsung dalam waktu yang berbeda-beda, tergantung pada keputusan keluarga duka. Hitungannya selalu ganjil, mulai dari tiga hari, tujuh hari, 14 hari dan 21 hari.
"Acara adat kematian suku Dayak yang banyak dikenal adalah tiwah. Jika tiwah itu dilakukan setelah jenazah dikuburkan, maka tari Babukung dilakukan saat jenazah disemayamkan atau sebelum jenazah dikubur,"terangnya.
Dikatakannya, setidaknya ada dua pesan moral yang terkandung dalam kegiatan Babukung, yakni tentang gotong royong yang tercermin dalam bantuan materil kepada keluarga yang ditinggal,l dan tentang kesetiakawanan yang dituangkan dalam bentuk menghibur mereka yang bersedih dengan tabuhan musik dan liukan tari.
Memang hampir di setiap acara adat Dayak erat kaitannya dengan seni, baik seni musik maupun tari. Namum pada tradisi Babukung sendiri ada tambahan pembeda, yaitu seni rupa topeng dan tata busana, bahkan ada pula unsur seni teater.
Memperhatikan jumlah pemeluk kepercayaan Kaharingan yang semakin berkurang setiap tahunnya, diperkirakan akan berkurang pula apresiasi terhadap seni-seni yang terkandung dalam tradisi Babukung tersebut.
Langkah konkret yang dapat dilakukan sebagai upaya pelestarian dan peningkatan apresiasinya adalah dengan mengangkat kandungan seni dalam tradisi Babukung tadi menjadi suguhan pertunjukan yang dapat dinikmati tidak hanya pada acara kematian saja.
Untuk itulah Festival Babukung digelar secara rutin di Nanga Bulik Kabupaten Lamandau Kalimantan Tengah. Tahun 2019 ini, kekayaan seni Babukung dituangkan dalam berbagai materi acara yang sangat menarik untuk dinikmati seperti karnaval topeng, pagelaran tari topeng, lomba menggambar dan mewarnai topeng, dan pentas musik etnik.
"Juga ada workshop tari dan workshop ukir topeng, adventure trail, bazaar dan pameran produk UMKM, serta pertunjukan ritual adat Dayak yang tidak akan anda temukan di daerah lain," demikian Edmond.