Remdesivir jadi obat untuk pasien corona
Jakarta (ANTARA) - Regulator Amerika Serikat pada Jumat (1/5) mengizinkan penggunaan darurat remdesivir sebagai obat untuk pasien virus corona baru atau COVID-19 sehingga mereka bisa pulih dengan cepat.
Ini adalah obat pertama yang terbukti membantu memerangi COVID-19, yang telah menewaskan lebih dari 230.000 orang di seluruh dunia, mengutip laporan Times, Minggu.
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (Food and Drug Administration/FDA) memberikan persetujuan penggunaan darurat (emergency use authorization/EUA) setelah hasil awal dari studi yang disponsori pemerintah menunjukkan bahwa remdesivir buatan Gilead Sciences mempersingkat waktu pemulihan hingga 31 persen, atau rata-rata sekitar empat hari, untuk pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit.
Penelitian terhadap 1.063 pasien adalah tes obat terbesar dan paling ketat dan termasuk kelompok pembanding yang menerima perawatan biasa sehingga efek remdesivir dapat dievaluasi dengan ketat.
Baca juga: Kabar baik, FDA akan setujui remdesivir obat pasien corona
Baca juga: Kandidat obat baru corona "remdesivir" diklaim menjanjikan
Presiden Donald Trump mengumumkan keputusan FDA tersebut di Gedung Putih.
Mereka yang diberi obat dapat meninggalkan rumah sakit dalam 11 hari rata-rata dibandingkan 15 hari untuk kelompok pembanding. Obat ini juga dapat mengurangi kematian, meskipun itu tidak pasti dari hasil sebagian yang diungkapkan sejauh ini.
Anthony Fauci dari National Institutes of Health mengatakan obat itu akan menjadi standar perawatan baru untuk pasien COVID-19 yang sakit parah seperti yang ada dalam penelitian ini.
Obat belum diuji pada orang dengan penyakit ringan, dan saat ini diberikan melalui infus di rumah sakit.
Gilead mengatakan akan menyumbangkan stok obat yang tersedia saat ini dan meningkatkan produksi untuk menghasilkan lebih banyak.
Tidak ada obat yang disetujui sekarang untuk mengobati pasien COVID-19, dan remdesivir masih perlu persetujuan resmi bukan sekadar untuk penggunaan darurat.
FDA sebelumnya memberikan otorisasi penggunaan darurat untuk obat malaria, hydroxychloroquine, setelah Presiden Donald Trump berulang kali mempromosikannya sebagai pengobatan yang mungkin untuk COVID-19.
Namun, tidak ada penelitian besar berkualitas tinggi yang menunjukkan obat ini bekerja untuk itu, dan memiliki masalah keamanan yang signifikan.
Ini adalah obat pertama yang terbukti membantu memerangi COVID-19, yang telah menewaskan lebih dari 230.000 orang di seluruh dunia, mengutip laporan Times, Minggu.
Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (Food and Drug Administration/FDA) memberikan persetujuan penggunaan darurat (emergency use authorization/EUA) setelah hasil awal dari studi yang disponsori pemerintah menunjukkan bahwa remdesivir buatan Gilead Sciences mempersingkat waktu pemulihan hingga 31 persen, atau rata-rata sekitar empat hari, untuk pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit.
Penelitian terhadap 1.063 pasien adalah tes obat terbesar dan paling ketat dan termasuk kelompok pembanding yang menerima perawatan biasa sehingga efek remdesivir dapat dievaluasi dengan ketat.
Baca juga: Kabar baik, FDA akan setujui remdesivir obat pasien corona
Baca juga: Kandidat obat baru corona "remdesivir" diklaim menjanjikan
Presiden Donald Trump mengumumkan keputusan FDA tersebut di Gedung Putih.
Mereka yang diberi obat dapat meninggalkan rumah sakit dalam 11 hari rata-rata dibandingkan 15 hari untuk kelompok pembanding. Obat ini juga dapat mengurangi kematian, meskipun itu tidak pasti dari hasil sebagian yang diungkapkan sejauh ini.
Anthony Fauci dari National Institutes of Health mengatakan obat itu akan menjadi standar perawatan baru untuk pasien COVID-19 yang sakit parah seperti yang ada dalam penelitian ini.
Obat belum diuji pada orang dengan penyakit ringan, dan saat ini diberikan melalui infus di rumah sakit.
Gilead mengatakan akan menyumbangkan stok obat yang tersedia saat ini dan meningkatkan produksi untuk menghasilkan lebih banyak.
Tidak ada obat yang disetujui sekarang untuk mengobati pasien COVID-19, dan remdesivir masih perlu persetujuan resmi bukan sekadar untuk penggunaan darurat.
FDA sebelumnya memberikan otorisasi penggunaan darurat untuk obat malaria, hydroxychloroquine, setelah Presiden Donald Trump berulang kali mempromosikannya sebagai pengobatan yang mungkin untuk COVID-19.
Namun, tidak ada penelitian besar berkualitas tinggi yang menunjukkan obat ini bekerja untuk itu, dan memiliki masalah keamanan yang signifikan.