Jakarta (ANTARA) - Peningkatan kasus positif baru COVID-19 terjadi karena pelacakan (tracing) kontak agresif dan tes masif yang dilakukan oleh pemerintah daerah, kata Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto.
"Banyaknya kasus baru yang kita temukan disebabkan karena tracing yang semakin agresif yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan daerah, disertai testing yang masif dari tracing yang kita dapatkan," kata Yurianto dalam konferensi pers Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di Graha BNPB, Jakarta pada Jumat.
Semua kasus positif tersebut adalah hasil dari pemeriksaan memakai real time PCR dan Tes Cepat Molekuler (TCM), bukan dari tes cepat (rapid test) yang hanya akan digunakan sebagai tuntunan untuk tracing.
Pemeriksaan PCR dan TCM sendiri dilakukan untuk melakukan intervensi bagi kesehatan masyarakat dan bukan untuk protokol layanan klinis di rumah sakit. Hal itu karena, menurut Yuri, terdapat pasien positif tanpa gejala yang cukup menjalankan isolasi mandiri.
Keberadaan pasien tanpa gejala yang melakukan isolasi mandiri berakibat tempat tidur untuk pasien COVID-19 tidak terpakai seluruhnya. Dalam data terbaru Gugus Tugas, Bed Occupancy Ratio (BOR) atau persentase penggunaan tempat tidur pasien COVID-19 hanya 55,5 persen.
Pasien yang dirawat juga tidak seluruhnya memiliki gejala berat, tapi yang bergejala sedang atau membutuhkan pengawasan khusus karena sudah memiliki kondisi medis lain sebelumnya.
Selain penambahan kasus baru, Yurianto juga mengatakan bahwa beberapa provinsi telah memiliki tingkat kesembuhan di atas 70 persen, dengan persentase nasional kesembuhan berada di kisaran 42 persen.
"Angka ini pasti akan naik karena proses sembuh membutuhkan waktu," tegas dia.
Sampai dengan Jumat (3/7) pukul 12.00 WIB, Indonesia mencatat total 60.695 kasus positif COVID-19 dengan 27.568 orang dinyatakan sembuh dan 3.036 meninggal dunia.