Legislator ini mengaku sedih melihat kondisi masyarakat pelosok Kotim

id Legislator ini mengaku sedih melihat kondisi masyarakat pelosok Kotim, DPRD Kotim, Hairis Salamad, Sampit, Kotim, Kotawaringin Timur

Legislator ini mengaku sedih melihat kondisi masyarakat pelosok Kotim

Hairis Salamad (berkacamata) saat rapat pembahasan APBD 2021 oleh Komisi I DPRD Kotawaringin Timur dengan mitra kerja, Rabu (18/11/2020). ANTARA/Norjani

Sampit (ANTARA) - Anggota Komisi I DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah, Hairis Salamad mengaku sangat sedih melihat kondisi masyarakat di pelosok daerah itu yang masih hidup dalam serba keterbatasan.

"Saya berkunjung ke Kecamatan Antang Kalang, sampai ke Tumbang Gagu yang merupakan desa paling ujung. Miris saya melihatnya. Saya hampir menangis melihat kondisi saudara-saudara kita di sana yang hidup dalam serba keterbatasan," kata Hairis saat rapat pembahasan APBD 2021 oleh Komisi I dengan mitra kerja di Sampit, Rabu.

Desa Tumbang Gagu adalah satu dari sejumlah desa di Kotawaringin Timur yang masih terisolasi. Masyarakat desa ini hanya bisa mengandalkan transportasi sungai untuk bepergian karena sangat terbatasnya akses jalan darat.

Menurut politisi yang merupakan Ketua Fraksi PAN, selama ini masyarakat Desa Tumbang Gagu belum merasakan "kemerdekaan" dalam beraktivitas karena masih terisolasi. Pembangunan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan masih sangat kecil.

Keterisolasian itu membuat pembangunan desa dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa itu menjadi jauh tertinggal. Masyarakat kesulitan membawa hasil pertanian seperti karet, rotan dan lainnya karena belum ada jalan darat.

Jika membawa hasil pertanian menggunakan perahu motor dengan melintasi riam-riam ganas, hasilnya dinilai belum sepadan karena biaya ongkos angkut sangat mahal. Informasi warga, biaya sewa perahu untuk pulang dan pergi ke pusat kecamatan saja mencapai Rp5 juta hingga Rp6 juta.

Baca juga: Pemkab Kotim diminta alokasikan anggaran perawatan tempat ibadah

Kondisi ini tidak saja menghambat laju perekonomian masyarakat setempat, tetapi juga membuat beban hidup menjadi tinggi. Harga kebutuhan sangat mahal karena tingginya ongkos angkut dari pusat kecamatan.

"Harga mi goreng satu bungkus Rp15.000. Harga solar Rp30.000 sampai Rp35.000 per liter. Ini fakta. Saya datang dan melihat sendiri di sana," tegas Hairis.

Hairis membandingkan kondisi ini dengan kawasan transmigrasi di sejumlah lokasi di Kotawaringin Timur yang jauh lebih maju. Kondisi ini menurutnya cukup ironis sehingga sudah seharusnya menjadi perhatian serius bersama.

Hairis mengajak semua pihak lebih peduli dan tidak menutup mata terhadap nasib masyarakat di pelosok. Semua pihak harus duduk bersama untuk mencarikan solusi yang cepat dan terbaik untuk mengatasi masalah tersebut.

"Jalan diperlukan untuk memasarkan rotan dan karet. Perlu kita melihat dan membuat program ke depannya. Kita programkan jalan lintas antardesa. Saya siap memperjuangkan kalau camat memang ada memprogramkan itu. Jangan kita beri janji-janji dan membodohi masyarakat. Kita lihat realita di lapangan," demikian Hairis Salamad.

Baca juga: DPRD Kotim minta Satgas Penanganan COVID-19 tegas bubarkan kerumunan

Baca juga: Sudah enam pejabat eselon II Kotim terjangkit COVID-19