Jakarta (ANTARA) - KPK mengeksekusi tiga orang mantan pentinggi PT Waskita Karya (Persero) yang telah mendapat putusan hukum berkekuatan tetap ke dua lembaga pemasyarakatan berbeda.
Ketiganya adalah mantan Kepala Divisi Sipil/Divisi III/Divisi II PT Waskita Karya 2008-2011 Desi Arryani, bekas Kepala Proyek Normalisasi Kali Bekasi Hilir Fakih Usman dan eks Kepala Bagian Keuangan Divisi Sipil III PT Waskita Karya Yuly Ariandi Siregar.
"Pada Kamis (21/5) Jaksa Eksekusi KPK Andry Prihandono telah melaksanakan putusan PN Tipikor pada PN Jakarta Pusat Nomor : 59/Pid.Sus/TPK/2020/PN. Jkt. Pst tanggal 26 April 2021 dengan terpidana Desi Arryani dkk," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Jumat.
Terpidana Desi Arryani dieksekusi ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Tangerang untuk menjalani pidana penjara selama 4 tahun dikurangi selama berada dalam tahanan.
"Sebelumnya terpidana Desi Arryani telah diputus dan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan juga dibebani membayar denda sebesar Rp200 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama dua bulan," tutur Ali.
Ali menyatakan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp3,415 miliar sudah lunas dibayar melalui rekening penampungan KPK.
"Terpidana Fakih Usman dimasukkannya ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin untuk menjalani pidana penjara selama 6 tahun dikurangi selama berada dalam tahanan," ungkap Ali.
Fakih Usman telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan juga dibebani membayar denda sebesar Rp200 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan.
Sedangkan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp5.970.586.037 belum dilunasi dan harus dilunasi selambat-lambatnya 1 bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
"Jika dalam waktu tersebut tidak dibayar maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti dimaksud dan apabila uang pengganti tidak dibayar maka dipidana dengan pidana penjara selama 2 tahun," ujar Ali.
Terakhir terpidana Yuli Ariandi Siregar dieksekusi ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin untuk menjalani pidana penjara selama 7 tahun dikurangi selama berada dalam tahanan.
Yuli dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan juga dibebani membayar denda sebesar Rp200 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama dua bulan.
"Terpidana juga tetap dibebankan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp47.166.931.587 selambat-lambatnya 1 bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan jika dalam waktu tersebut tidak dibayar maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti dimaksud dan apabila uang pengganti tidak dibayar maka dipidana dengan pidana penjara selama 2 tahun dan 6 bulan," ucap Ali menjelaskan.
Ketiganya terbukti melakukan perbuatan sebagaimana diancam pasal 3 jo pasal 18 UU No. 31 tahun 199 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 pasal 65 ayat 1 KUHP.
Dalam perkara ini, para terpidana terbukti menghimpun dana "non budgeter" dengan cara membuat kontrak pekerjaan-pekerjaan subkontraktor fiktif yang melekat pada proyek-proyek utama yang dikerjakan oleh PT Waskita Karya yang nantinya pembayaran atas pekerjaan-pekerjaan kepada perusahaan-perusahaan subkontraktor fiktif tersebut dikembalikan lagi (cash back) ke PT Waskita Karya sehingga merugikan keuangan negara hingga Rp202,296 miliar karena membuat 41 kontrak pekerjaan fiktif.
Perusahaan-perusahaan subkontraktor fiktif yang ditunjuk diberikan "fee" peminjaman bendera sebesar 1,5-2,5 persen dari nilai kontrak.
Ada dua terdakwa lain yang belum mendapat putusan berkekuatan hukum tetap yaitu mantan Kepala Proyek Pembangunan Kanal Timur – Paket 22 PT Waskita Karya Fathor Rachman dan bekas Kepala Bagian Pengendalian II Divisi II PT Waskita Karya Jarot Subana karena mengajukan banding terhadap putusan majelis hakim tingkat pertama.