Jakarta (ANTARA) - Psikolog Klinis Widya S. Sari, M.Psi. mengatakan proses diagnosis atas permasalahan mental yang dialami seorang pasien atau klien bukanlah sesuatu yang bisa didapatkan secara instan dan langsung.
“Akan ada beberapa proses dan tahapan, bahkan hingga beberapa kali pertemuan sampai kami menemukan kondisi yang sebenarnya apa,” kata Widya dalam diskusi "World Mental Health Day: 24 Hours" yang diadakan oleh Mental Health Matters di platform Clubhouse pada Minggu.
Ia mengingatkan jika ingin mendapatkan diagnosis yang lebih akurat dan lengkap, klien perlu melakukan multi-approach atau berbagai pendekatan, tidak hanya dari psikolog dan psikiater tetapi juga bisa dokter yang cukup peka dengan permasalahan spesifik tertentu.
Baca juga: Waspada kesehatan mental mengintai, termasuk penyintas COVID-19
Senada dengan hal tersebut pendiri Klub “Mental Health Indonesia” di Clubhouse, Detty Wulandari, berpendapat menemukan konselor, psikolog, atau psikiater yang tepat memang diperlukan proses yang tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali pertemuan.
“Menemukan konselor, psikolog, atau psikiater yang tepat buat kita itu seperti mencari pacar atau mencari jodoh. Cocok-cocokan memang,” ujarnya.
Detty juga menekankan ketika klien tidak merasa cocok berkonsultasi dengan seorang profesional, maka ia memiliki hak untuk mencari pendapat dari profesional lain sampai menemukan yang lebih cocok.
“Karena yang terpenting untuk seorang profesional bisa membantu kita itu adalah kita bisa jujur terhadap apapun masalah-masalah kita atau apapun gejala-gejala yang mungkin kita alami,” katanya.
Detty merupakan seorang penyintas bipolar disorder yang pertama kali didiagnosa pada 25 tahun yang lalu ketika ia masih tinggal di Australia. Pada saat pindah ke Jakarta, ia merasakan perubahan yang jauh lebih sulit saat mencari profesional yang cocok untuk mendampinginya.
“Di sana itu [Australia], saya punya satu tim dari dokter umum, psikolog, terus ada konselor, psikiater. Semuanya satu tim bekerja sama untuk mendukung saya dalam treatment dan terapi supaya saya bisa coping dengan kondisi saya,” ungkapnya.
Sementara itu, Widya juga mengingatkan tentang bahaya self-diagnose atau diagnosis yang dilakukan oleh diri sendiri karena lebih berpotensi menyimpan kekeliruan. Ia mengatakan bisa jadi ada kondisi lain yang tidak terdeteksi karena hanya mencari tahu informasinya sendiri tanpa berdiskusi dengan profesional.
Meski demikian, ia mengatakan pada sisi lain keterbukaan informasi mengenai isu kesehatan mental juga membawa dampak positif sehingga banyak orang yang terdorong untuk meningkatkan kesadaran dan mencari tahu tentang kondisi kesehatan mental hingga mau membicarakannya lebih jauh.
“Saya pikir itu sesuatu yang bagus juga supaya apa yang dirasakan dan apa yang dipikirkan itu tidak hanya disimpan sendiri, tapi berusaha untuk dicari tahu, berusaha untuk dibicarakan dengan orang lain sampai mungkin pada akhirnya bisa menemukan cara agar kondisinya lebih baik,” ujarnya.
Berita Terkait
Halikinnor minta kontingen Kalteng tanamkan mental singa menghadapi PON XXI
Selasa, 3 September 2024 6:57 Wib
Benarkah kesehatan mental terkait erat dengan kesehatan fisik?
Rabu, 21 Agustus 2024 11:55 Wib
Kenali perbedaan 'baby blues' dengan depresi seusai melahirkan
Senin, 15 Juli 2024 8:24 Wib
Peneliti temukan kaitan kesehatan mental dengan konsumsi keju
Jumat, 21 Juni 2024 16:57 Wib
Atlet Biliar Perkuat Latihan Teknik dan Mental Hadapi PON 2024
Sabtu, 1 Juni 2024 10:20 Wib
Awas! Gangguan mental bisa menyebar di antara kelompok sosial remaja
Minggu, 26 Mei 2024 13:54 Wib
Atlet pencak silat Kalteng kuatkan mental hadapi PON Aceh-Sumut 2024
Minggu, 26 Mei 2024 12:30 Wib
Indonesia alami kekalahan dari Kazakhstan karena faktor mental
Sabtu, 25 Mei 2024 20:44 Wib