Solo (ANTARA) - Pengamat Pertanian dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Mercy Bientri Yunindanova menyebut Indonesia perlu memikirkan alternatif pengganti kedelai menyusul terjadinya kenaikan harga pada komoditas tersebut.
"Kita harus mencari alternatif, budi daya tidak bisa 100 persen mencukupi kebutuhan kedelai dalam negeri karena membutuhkan sistem budi daya lebih terpadu, seragam, dan manajemen yang baik," kata Dosen Agroteknologi Fakultas Pertanian UNS tersebut di Solo, Jawa Tengah, Selasa.
Dengan demikian, kata dia, perlu ada proses diversifikasi pangan sumber protein dengan penggunaan alternatif biji-bijian lain sebagai bahan baku yang mengandung protein mendekati kedelai.
"Indonesia sangat kaya dengan keanekaragaman tanaman biji-bijian dan telah terbukti dapat diolah menjadi olahan tempe. Sebetulnya tidak perlu khawatir karena banyak kearifan lokal tentang tempe," katanya.
Bahkan, dikatakannya, saat ini ilmu teknologi pangan sudah melakukan penelitian mengenai pemanfaatan biji, selain kedelai, untuk bahan pangan kaya protein seperti tempe.
"Memang pengenalannya kepada masyarakat belum masif, harus secara gradual (bertahap) mengubah mindset bahwa tahu dan tempe tidak hanya berbahan dasar kedelai. Protein itu bisa diperoleh dari bahan makanan yang lain, bahkan diversifikasi pangan dalam artian makan dalam berbagai jenis itu lebih baik," katanya.
Indonesia sebagai negara yang mengandalkan impor, menurut dia, kenaikan harga kedelai seharusnya menjadi momentum.
"Karena makin ke depan harga kedelai akan makin naik dengan permintaan kedelai dunia yang tinggi karena makin diminati di pasar dunia," katanya.
Ia mengatakan permintaan kedelai dunia tinggi karena ada empat faktor yaitu untuk pemanfaatan energi biodiesel, pemanfaatan kedelai sebagai pakan ternak, konsumsi dalam jumlah tinggi seperti di China dan Amerika, serta plant based meat atau produk daging berbasis tanaman yang sedang tren.
Mengenai pengembangan pertanian kedelai di Indonesia selama ini, menurut dia, dari sisi kualitas dan kuantitas lebih rendah dibandingkan negara produsen lain.
"Ini karena mayoritas petani di Indonesia menanam secara sendiri-sendiri, berbeda tempat dengan lahan yang kecil, dan tidak dikelola dalam satu sistem yang sama sehingga hasil panennya kurang seragam. Meskipun ada yang telah dikoordinir oleh gapoktan (gabungan kelompok tani), namun variasi kualitas dan kuantitas masih rendah," katanya.
Ia mengatakan produktivitas kedelai di Indonesia cukup rendah, yakni sekitar 1,5 ton/hektare dan maksimum 1,6 ton/hektare di Jawa.
"Jika dibandingkan dengan Brazil dan Amerika sebagai leader produsen kedelai produksinya mencapai 3,5 ton/hektare," katanya.
Berita Terkait
Mengonsumsi kedelai bantu sehatkan kulit dan kurangi garis halus
Jumat, 1 Maret 2024 14:32 Wib
Konsumsi kedelai sebabkan kanker mitos
Kamis, 15 Februari 2024 18:23 Wib
Ahli Gizi sebut konsumsi kedelai sebabkan kanker hanya mitos
Kamis, 15 Februari 2024 15:55 Wib
Luhut bahas rencana impor sapi dan kedelai dengan Afrika Selatan
Rabu, 12 Juli 2023 15:27 Wib
Barito Selatan kembangkan kawasan tanaman hortikultura dan kedelai
Kamis, 11 Mei 2023 11:45 Wib
Barito Selatan kembangkan kawasan tanaman hortikultura dan kedelai
Kamis, 4 Mei 2023 17:53 Wib
Pemerintah komitmen turunkan harga kedelai jadi Rp11.000-Rp12.000/kg
Sabtu, 21 Januari 2023 16:59 Wib
Perajin tempe di Kobar menjerit akibat harga kedelai terus naik
Jumat, 21 Oktober 2022 20:42 Wib