Satgas BLBI berhasil kumpulkan hak tagih negara Rp19,16 triliun
Jakarta (ANTARA) - Satuan Tugas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mengumpulkan hak tagih negara dari para obligor dan debitur sebesar Rp19,16 triliun dengan luas tanah mencapai 19.988.942 meter persegi per 31 Maret 2022.
Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Purnama T Sianturi menyatakan Satgas BLBI hanya mengurus aset properti dan aset kredit dengan nilai Rp25 miliar ke atas.
"Hasil Satgas sampai 31 Maret 2022 adalah Rp19,16 triliun dengan luas tanah 19.988.942 meter persegi," katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Jumat.
Secara rinci, jumlah tersebut meliputi dalam bentuk uang atau pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang masuk ke kas negara sebesar Rp371,29 miliar atau 1,94 persen dari Rp19,16 triliun.
Kemudian, dalam bentuk sita barang jaminan atau harta kekayaan lain sebesar Rp12,25 triliun dengan luas tanah 19.129.823 meter persegi atau 63,97 persen dari total yang berhasil dikumpulkan.
Selanjutnya, dalam bentuk penguasaan aset properti dengan nilai Rp5,38 triliun dengan luas tanah 530.140 meter persegi atau 28,11 persen.
Terakhir, yaitu dalam bentuk penetapan status penggunaan (PSP) dan hibah kepada kementerian/lembaga serta pemerintah daerah sebesar Rp1,14 triliun dengan luas tanah 328.970 meter persegi atau 5,98 persen.
Hasil Rp19,16 triliun ini didapat dari 46 obligor atau debitur tahap pertama dengan profil tujuh orang berusia 50-60 tahun, 12 orang berusia 61-70 tahun, 22 orang berusia lebih dari 71 tahun dan lima orang yang telah meninggal sehingga menjadi tanggung jawab ahli warisnya.
Dari 46 orang debitur atau obligor BLBI tersebut 35 orang di antaranya tinggal di dalam negeri sedangkan 11 orang sisanya berada di luar negeri seperti Singapura.
"Akan ada tahap dua dan tiga yang menyusul karena masih ada ratusan debitur dengan nilai di atas Rp25 miliar," ujar Purnama.
Sementara itu, Purnama menuturkan hak negara yang harus dikumpulkan dari seluruh obligor dan debitur BLBI mencapai Rp110,45 triliun jika dilihat berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020.
Jumlah itu meliputi aset kredit Rp101,8 triliun, aset properti Rp8,06 triliun, aset saham Rp77,9 miliar, aset inventaris Rp8,47 miliar, aset nostro Rp5,2 miliar dan aset surat berharga Rp489,4 miliar.
Untuk aset kredit Rp101,8 triliun terdiri atas eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Rp82,94 triliun, eks kelolaan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) Rp8,83 triliun serta eks bank dalam likuidasi (BDL) Rp10,03 triliun.
"Saat ini, aset eks BLBI yang ada di LKPP Rp110,45 triliun, ini yang harus diselesaikan Kemenkeu. Sebagian dari ini yaitu aset properti dan kredit ditangani Satgas BLBI, tapi itu untuk aset yang nilainya Rp25 miliar ke atas," jelas Purnama.
Ketua Harian Satgas BLBI Rionald Silaban menambahkan pihaknya bertugas untuk menagih hak negara dari para obligor dan debitur hanya sampai 2023.
"Masa kerja kita sampai Desember 2023, jadi kita menentukan prioritas. Artinya kita fokus pada jumlah yang menurut kita cukup materiil," tegas Rio.
Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan Purnama T Sianturi menyatakan Satgas BLBI hanya mengurus aset properti dan aset kredit dengan nilai Rp25 miliar ke atas.
"Hasil Satgas sampai 31 Maret 2022 adalah Rp19,16 triliun dengan luas tanah 19.988.942 meter persegi," katanya dalam diskusi daring di Jakarta, Jumat.
Secara rinci, jumlah tersebut meliputi dalam bentuk uang atau pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang masuk ke kas negara sebesar Rp371,29 miliar atau 1,94 persen dari Rp19,16 triliun.
Kemudian, dalam bentuk sita barang jaminan atau harta kekayaan lain sebesar Rp12,25 triliun dengan luas tanah 19.129.823 meter persegi atau 63,97 persen dari total yang berhasil dikumpulkan.
Selanjutnya, dalam bentuk penguasaan aset properti dengan nilai Rp5,38 triliun dengan luas tanah 530.140 meter persegi atau 28,11 persen.
Terakhir, yaitu dalam bentuk penetapan status penggunaan (PSP) dan hibah kepada kementerian/lembaga serta pemerintah daerah sebesar Rp1,14 triliun dengan luas tanah 328.970 meter persegi atau 5,98 persen.
Hasil Rp19,16 triliun ini didapat dari 46 obligor atau debitur tahap pertama dengan profil tujuh orang berusia 50-60 tahun, 12 orang berusia 61-70 tahun, 22 orang berusia lebih dari 71 tahun dan lima orang yang telah meninggal sehingga menjadi tanggung jawab ahli warisnya.
Dari 46 orang debitur atau obligor BLBI tersebut 35 orang di antaranya tinggal di dalam negeri sedangkan 11 orang sisanya berada di luar negeri seperti Singapura.
"Akan ada tahap dua dan tiga yang menyusul karena masih ada ratusan debitur dengan nilai di atas Rp25 miliar," ujar Purnama.
Sementara itu, Purnama menuturkan hak negara yang harus dikumpulkan dari seluruh obligor dan debitur BLBI mencapai Rp110,45 triliun jika dilihat berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020.
Jumlah itu meliputi aset kredit Rp101,8 triliun, aset properti Rp8,06 triliun, aset saham Rp77,9 miliar, aset inventaris Rp8,47 miliar, aset nostro Rp5,2 miliar dan aset surat berharga Rp489,4 miliar.
Untuk aset kredit Rp101,8 triliun terdiri atas eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Rp82,94 triliun, eks kelolaan PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) Rp8,83 triliun serta eks bank dalam likuidasi (BDL) Rp10,03 triliun.
"Saat ini, aset eks BLBI yang ada di LKPP Rp110,45 triliun, ini yang harus diselesaikan Kemenkeu. Sebagian dari ini yaitu aset properti dan kredit ditangani Satgas BLBI, tapi itu untuk aset yang nilainya Rp25 miliar ke atas," jelas Purnama.
Ketua Harian Satgas BLBI Rionald Silaban menambahkan pihaknya bertugas untuk menagih hak negara dari para obligor dan debitur hanya sampai 2023.
"Masa kerja kita sampai Desember 2023, jadi kita menentukan prioritas. Artinya kita fokus pada jumlah yang menurut kita cukup materiil," tegas Rio.