Telaah - Misi damai Presiden Jokowi di Ukraina dan Rusia
Jakarta (ANTARA) - Mulai hari ini, Rabu 29 Juni, sampai esok Kamis, Presiden Joko Widodo mengunjungi Ukraina dan Rusia, dalam misi mengajak kedua negara mengakhiri perang di antara mereka yang akan memasuki bulan kelima.
Ini adalah lawatan simultan Presiden Jokowi setelah mengunjungi Jerman dalam rangka menghadiri KTT kelompok tujuh negara industri maju atau G7.
Sebelum bertolak ke Jerman pada Minggu 26 Juni, Jokowi menyatakan kehadirannya dalam KTT G7 adalah karena Indonesia negara mitra untuk G7 dan kapasitas Indonesia sebagai Ketua G20.
Tujuh pemimpin negara-negara G7 sendiri sudah mengakhiri KTT yang berlangsung selama tiga hari dengan menghasilkan komunike yang salah satunya tekad membuat Rusia menanggung dampak ekonomi dan politik akibat aksinya di Ukraina.
Dibacakan oleh Kanselir Jerman Olaf Scholz, komunike G7 menegaskan blok ini bersatu tak bisa diceraikan dan menyatakan "akan terus mendukung Ukraina dengan memberikan dukungan keuangan, kemanusiaan, militer, dan diplomatik yang dibutuhkan dalam upaya berani negara ini dalam mempertahankan kedaulatan dan integritas wilayahnya."
KTT G7 biasanya membahas krisis iklim, ketahanan pangan, utang dan pandemi, namun kali ini semua itu tak lagi menjadi prioritas.
Meski begitu,dalam komunike setebal 28 halaman, G7 memasang target netralitas iklim sampai 2050 dan komitmen bantuan 4,5 miliar dolar AS untuk Program Pangan Dunia (WFP) demi ketahanan pangan global.
Sebagian besar yang disampaikan G7 adalah juga subjek-subjek yang menjadi keprihatinan Indonesia, khususnya perang di Ukraina yang disebut Rusia "operasi militer khusus" walau faktanya adalah operasi ekstra-teritorial yang lebih tepat disebut agresi.
"Saya akan mengunjungi Ukraina dan akan bertemu dengan Presiden (Ukraina Volodymyr) Zelenskyy," kata Jokowi sebelum bertolak ke Jerman.
Misi Jokowi di Ukraina adalah mengajak Zelenskyy guna "membuka ruang dialog dalam rangka perdamaian, untuk membangun perdamaian, karena perang memang harus dihentikan dan juga berkaitan dengan rantai pasokan pangan" yang harus dipulihkan.
Sehari kemudian, esok Kamis, Jokowi bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dengan membawa misi serupa.
"Saya akan mengajak Presiden Putin untuk membuka ruang dialog dan sesegera mungkin melakukan gencatan senjata dan menghentikan perang," tandas Jokowi.
Presiden juga menegaskan lawatannya tak hanya penting bagi Indonesia, namun lebih penting lagi bagi negara-negara berkembang yang di ambang masuk jurang kemiskinan dan kelaparan.
Tak seperti pemimpin-pemimpin dunia lainnya yang sudah berusaha menjembatani Rusia-Ukraina, Jokowi datang ke Kiev dan Moskow tidak untuk menaikkan popularitas di dalam negeri demi kepentingan elektoral karena dia tengah berada dalam periode terakhir masa jabatannya.
Ini nilai plus Jokowi dan menjadi semakin plus karena Jokowi membawa pesan dari negara-negara berkembang yang tak kalah menderitanya dari Ukraina karena harus menanggung dampak buruk perang yang membuat mereka tak mampu membeli pangan dan bahan bakar.
Tatanan global terancam
15 Maret lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) mengungkapkan bahwa harga energi dan pangan melonjak drastis begitu Rusia menginvasi Ukraina.
Memang ada faktor-faktor lain seperti pandemi COVID-19, namun perang di Ukraina membuat mereka yang menggantungkan ekonominya kepada perdagangan, pariwisata, dan eksposur keuangan, menjadi semakin tertekan dan kemudian digulung krisis.
Bagi negara-negara yang menggantungkan diri kepada impor minyak, perang itu membuat mereka mengalami defisit fiskal dan perdagangan yang semakin menganga.
Tidak itu saja, inflasi juga menjadi semakin tinggi kendati sejumlah eksportir di Timur Tengah dan Afrika diuntungkan oleh lonjakan harga pangan dan energi.
Namun di sebagian besar kawasan, kenaikan drastis harga pangan dan bahan bakar telah memicu instabilitas dan kerusuhan.
Negara-negara di Afrika Sub-Sahara, Amerika Latin, Kaukasus dan Asia Selatan, menghadapi situasi seperti ini, bahkan Sri Lanka dan Pakistan sudah dibelit krisis ekonomi yang demikian hebat.
Perang di Ukraina juga membuat banyak negara di Afrika dan Timur Tengah menjadi semakin rawan pangan.
Sementara untuk jangka panjang, meminjam analisis IMF itu, perang di Ukraina secara fundamental merusak tatanan ekonomi dan geopolitik global.
Ini karena orientasi perdagangan bebas bisa bergeser dari tempatnya sekarang, rantai pasokan juga terancam mengalami rekonfigurasi yang di masa depan bisa semakin merongrong stabilitas harga, jejaring pembayaran global bisa terfragmentasi yang akhirnya menimbulkan kekacauan finansial, dan negara-negara akan dipaksa memikirkan lagi rezim mata uangnya.
Di luar itu, ketegangan geopolitik yang kian tinggi akan semakin meningkatkan risiko perekonomian yang fragmentasi, khususnya perdagangan global.
Asumsi IMF ini sejalan dengan taksiran Konferensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) yang dalam laporannya pada 28 Juni menyebutkan perang di Ukraina menghambat perdagangan dan logistik global.
Situasi itu meningkatkan permintaan kapal global sehingga biaya pengiriman ke seluruh dunia naik drastis.
UNCTAD mengatakan mitra-mitra dagang Ukraina kini terpaksa beralih ke negara-negara lain dalam mendapatkan komoditas impor karena menghadapi rintangan pengiriman dan transportasi di Laut Hitam.
Itu semua terjadi setelah perang membuat logistik kawasan terganggu, operasi pelabuhan-pelabuhan Ukraina berhenti, infrastruktur penting hancur, asuransi menjadi meninggi dan demikian pula dengan pengeluaran untuk bahan bakar.
Jarak pengiriman produk impor pun menjadi menjauh yang akibatnya menaikkan waktu tempuh dan ongkos pengiriman.
Diterima kedua belah pihak
Tak heran begitu perang di Ukraina meletus, risiko krisis pangan global dan kemiskinan pun meningkat karena perang itu membuat harga pangan dan energi menjadi semakin tinggi, apalagi Rusia dan Ukraina adalah pemasok global utama komoditas pangan penting seperti gandum dan sebangsanya.
Bagi negara-negara miskin dan negara-negara yang menggantungkan kebutuhan pangan dan energi mereka kepada impor, maka keadaan ini sungguh mimpi buruk karena menciptakan situasi lebih dari sekadar krisis yang tak saja membuat rezim bertumbangan tapi juga menyengsarakan rakyatnya.
Ini yang menjadi keprihatinan sejumlah kalangan di dunia, termasuk Indonesia dan Presiden Jokowi.
Indonesia sendiri tak kebal dari dampak perang di Ukraina yang salah satunya terlihat dari inflasi yang merangkak naik mengikuti tren dunia, walau tak seburuk rata-rata global.
Dalam konteks ini, Presiden Jokowi berusaha meyakinkan Ukraina dan Rusia agar mengakhiri perang dan kembali ke meja perundingan.
Jokowi kemungkinan besar tak akan memasuki isu-isu sensitif di luar fakta bahwa perang itu telah merusak ekspektasi manusia sejagat untuk bangkit setelah hampir dua tahun dilumpuhkan oleh pandemi COVID-19.
Jokowi dan Indonesia juga tak memiliki kepentingan geopolitik dan ekonomi khusus di sana, selain ingin memastikan perang berhenti agar ekonomi dunia pasca-pandemi berdenyut kembali dan menyelamatkan mereka yang paling rentan, khususnya di negara-negara berkembang dan negara miskin.
Seharusnya dengan baju netral seperti ini Jokowi bisa didengarkan oleh kedua belah pihak.
Memang tak akan mudah meyakinkan negara yang kedaulatannya dicaplok negara lain, yang sama tak mudahnya meyakinkan negara besar yang tengah diisolasi dunia namun ternyata terus bertahan walau dijatuhi berbagai macam sanksi.
Sebaliknya tantangan bagi Presiden Jokowi untuk menghindarkan kesan bahwa kehadirannya di Moskow bisa melegitimasi aksi Putin di Ukraina.
Juga akan menarik melihat bagaimana sikap Presiden Jokowi seandainya Putin tidak mundur sedikit pun dari sikapnya di Ukraina atau malah mungkin mempresentasikan gagasan memperluas BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) yang semakin digaungkan oleh Rusia belakangan ini guna menandingi Barat.
Yang pasti, Jokowi tak saja berusaha memaksimalkan peran Indonesia sebagai ketua G20 yang diinginkan China tetap mengurusi perdagangan dan ekonomi walau perkara-perkara di luar itu juga mempengaruhi perdagangan dan ekonomi global.
Pun bukan semata demi mewujudkan amanat UUD 1945 bahwa Indonesia mesti berusaha "melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial."
Lebih dari itu, Jokowi berusaha menghentikan perang yang dampak buruknya nyata sekali kepada kemanusiaan dan kesejahteraan global. Ini kemungkinan satu-satunya sikap yang ditekankan Jokowi.
Sebelum lawatan Presiden Jokowi ini sendiri, sejumlah pemimpin dunia mulai dari Eropa, Turki, sampai Sekjen PBB Antonio Guterres sudah mengupayakan perdamaian di Ukraina, tetapi gagal.
Kalaupun misi Jokowi akan berakhir seperti Antonio Guterres dan lainnya itu, maka itu tak membuat Jokowi disebut tidak berhasil.
Sebaliknya, citra negatif lebih tersemat kepada pihak-pihak yang bertikai di sana, khususnya Presiden Vladimir Putin, jika enggan mempertimbangkan ajakan berunding yang bahkan disampaikan seorang presiden dari sebuah negara yang berusaha tetap netral.
Ini adalah lawatan simultan Presiden Jokowi setelah mengunjungi Jerman dalam rangka menghadiri KTT kelompok tujuh negara industri maju atau G7.
Sebelum bertolak ke Jerman pada Minggu 26 Juni, Jokowi menyatakan kehadirannya dalam KTT G7 adalah karena Indonesia negara mitra untuk G7 dan kapasitas Indonesia sebagai Ketua G20.
Tujuh pemimpin negara-negara G7 sendiri sudah mengakhiri KTT yang berlangsung selama tiga hari dengan menghasilkan komunike yang salah satunya tekad membuat Rusia menanggung dampak ekonomi dan politik akibat aksinya di Ukraina.
Dibacakan oleh Kanselir Jerman Olaf Scholz, komunike G7 menegaskan blok ini bersatu tak bisa diceraikan dan menyatakan "akan terus mendukung Ukraina dengan memberikan dukungan keuangan, kemanusiaan, militer, dan diplomatik yang dibutuhkan dalam upaya berani negara ini dalam mempertahankan kedaulatan dan integritas wilayahnya."
KTT G7 biasanya membahas krisis iklim, ketahanan pangan, utang dan pandemi, namun kali ini semua itu tak lagi menjadi prioritas.
Meski begitu,dalam komunike setebal 28 halaman, G7 memasang target netralitas iklim sampai 2050 dan komitmen bantuan 4,5 miliar dolar AS untuk Program Pangan Dunia (WFP) demi ketahanan pangan global.
Sebagian besar yang disampaikan G7 adalah juga subjek-subjek yang menjadi keprihatinan Indonesia, khususnya perang di Ukraina yang disebut Rusia "operasi militer khusus" walau faktanya adalah operasi ekstra-teritorial yang lebih tepat disebut agresi.
"Saya akan mengunjungi Ukraina dan akan bertemu dengan Presiden (Ukraina Volodymyr) Zelenskyy," kata Jokowi sebelum bertolak ke Jerman.
Misi Jokowi di Ukraina adalah mengajak Zelenskyy guna "membuka ruang dialog dalam rangka perdamaian, untuk membangun perdamaian, karena perang memang harus dihentikan dan juga berkaitan dengan rantai pasokan pangan" yang harus dipulihkan.
Sehari kemudian, esok Kamis, Jokowi bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dengan membawa misi serupa.
"Saya akan mengajak Presiden Putin untuk membuka ruang dialog dan sesegera mungkin melakukan gencatan senjata dan menghentikan perang," tandas Jokowi.
Presiden juga menegaskan lawatannya tak hanya penting bagi Indonesia, namun lebih penting lagi bagi negara-negara berkembang yang di ambang masuk jurang kemiskinan dan kelaparan.
Tak seperti pemimpin-pemimpin dunia lainnya yang sudah berusaha menjembatani Rusia-Ukraina, Jokowi datang ke Kiev dan Moskow tidak untuk menaikkan popularitas di dalam negeri demi kepentingan elektoral karena dia tengah berada dalam periode terakhir masa jabatannya.
Ini nilai plus Jokowi dan menjadi semakin plus karena Jokowi membawa pesan dari negara-negara berkembang yang tak kalah menderitanya dari Ukraina karena harus menanggung dampak buruk perang yang membuat mereka tak mampu membeli pangan dan bahan bakar.
Tatanan global terancam
15 Maret lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) mengungkapkan bahwa harga energi dan pangan melonjak drastis begitu Rusia menginvasi Ukraina.
Memang ada faktor-faktor lain seperti pandemi COVID-19, namun perang di Ukraina membuat mereka yang menggantungkan ekonominya kepada perdagangan, pariwisata, dan eksposur keuangan, menjadi semakin tertekan dan kemudian digulung krisis.
Bagi negara-negara yang menggantungkan diri kepada impor minyak, perang itu membuat mereka mengalami defisit fiskal dan perdagangan yang semakin menganga.
Tidak itu saja, inflasi juga menjadi semakin tinggi kendati sejumlah eksportir di Timur Tengah dan Afrika diuntungkan oleh lonjakan harga pangan dan energi.
Namun di sebagian besar kawasan, kenaikan drastis harga pangan dan bahan bakar telah memicu instabilitas dan kerusuhan.
Negara-negara di Afrika Sub-Sahara, Amerika Latin, Kaukasus dan Asia Selatan, menghadapi situasi seperti ini, bahkan Sri Lanka dan Pakistan sudah dibelit krisis ekonomi yang demikian hebat.
Perang di Ukraina juga membuat banyak negara di Afrika dan Timur Tengah menjadi semakin rawan pangan.
Sementara untuk jangka panjang, meminjam analisis IMF itu, perang di Ukraina secara fundamental merusak tatanan ekonomi dan geopolitik global.
Ini karena orientasi perdagangan bebas bisa bergeser dari tempatnya sekarang, rantai pasokan juga terancam mengalami rekonfigurasi yang di masa depan bisa semakin merongrong stabilitas harga, jejaring pembayaran global bisa terfragmentasi yang akhirnya menimbulkan kekacauan finansial, dan negara-negara akan dipaksa memikirkan lagi rezim mata uangnya.
Di luar itu, ketegangan geopolitik yang kian tinggi akan semakin meningkatkan risiko perekonomian yang fragmentasi, khususnya perdagangan global.
Asumsi IMF ini sejalan dengan taksiran Konferensi PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) yang dalam laporannya pada 28 Juni menyebutkan perang di Ukraina menghambat perdagangan dan logistik global.
Situasi itu meningkatkan permintaan kapal global sehingga biaya pengiriman ke seluruh dunia naik drastis.
UNCTAD mengatakan mitra-mitra dagang Ukraina kini terpaksa beralih ke negara-negara lain dalam mendapatkan komoditas impor karena menghadapi rintangan pengiriman dan transportasi di Laut Hitam.
Itu semua terjadi setelah perang membuat logistik kawasan terganggu, operasi pelabuhan-pelabuhan Ukraina berhenti, infrastruktur penting hancur, asuransi menjadi meninggi dan demikian pula dengan pengeluaran untuk bahan bakar.
Jarak pengiriman produk impor pun menjadi menjauh yang akibatnya menaikkan waktu tempuh dan ongkos pengiriman.
Diterima kedua belah pihak
Tak heran begitu perang di Ukraina meletus, risiko krisis pangan global dan kemiskinan pun meningkat karena perang itu membuat harga pangan dan energi menjadi semakin tinggi, apalagi Rusia dan Ukraina adalah pemasok global utama komoditas pangan penting seperti gandum dan sebangsanya.
Bagi negara-negara miskin dan negara-negara yang menggantungkan kebutuhan pangan dan energi mereka kepada impor, maka keadaan ini sungguh mimpi buruk karena menciptakan situasi lebih dari sekadar krisis yang tak saja membuat rezim bertumbangan tapi juga menyengsarakan rakyatnya.
Ini yang menjadi keprihatinan sejumlah kalangan di dunia, termasuk Indonesia dan Presiden Jokowi.
Indonesia sendiri tak kebal dari dampak perang di Ukraina yang salah satunya terlihat dari inflasi yang merangkak naik mengikuti tren dunia, walau tak seburuk rata-rata global.
Dalam konteks ini, Presiden Jokowi berusaha meyakinkan Ukraina dan Rusia agar mengakhiri perang dan kembali ke meja perundingan.
Jokowi kemungkinan besar tak akan memasuki isu-isu sensitif di luar fakta bahwa perang itu telah merusak ekspektasi manusia sejagat untuk bangkit setelah hampir dua tahun dilumpuhkan oleh pandemi COVID-19.
Jokowi dan Indonesia juga tak memiliki kepentingan geopolitik dan ekonomi khusus di sana, selain ingin memastikan perang berhenti agar ekonomi dunia pasca-pandemi berdenyut kembali dan menyelamatkan mereka yang paling rentan, khususnya di negara-negara berkembang dan negara miskin.
Seharusnya dengan baju netral seperti ini Jokowi bisa didengarkan oleh kedua belah pihak.
Memang tak akan mudah meyakinkan negara yang kedaulatannya dicaplok negara lain, yang sama tak mudahnya meyakinkan negara besar yang tengah diisolasi dunia namun ternyata terus bertahan walau dijatuhi berbagai macam sanksi.
Sebaliknya tantangan bagi Presiden Jokowi untuk menghindarkan kesan bahwa kehadirannya di Moskow bisa melegitimasi aksi Putin di Ukraina.
Juga akan menarik melihat bagaimana sikap Presiden Jokowi seandainya Putin tidak mundur sedikit pun dari sikapnya di Ukraina atau malah mungkin mempresentasikan gagasan memperluas BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) yang semakin digaungkan oleh Rusia belakangan ini guna menandingi Barat.
Yang pasti, Jokowi tak saja berusaha memaksimalkan peran Indonesia sebagai ketua G20 yang diinginkan China tetap mengurusi perdagangan dan ekonomi walau perkara-perkara di luar itu juga mempengaruhi perdagangan dan ekonomi global.
Pun bukan semata demi mewujudkan amanat UUD 1945 bahwa Indonesia mesti berusaha "melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial."
Lebih dari itu, Jokowi berusaha menghentikan perang yang dampak buruknya nyata sekali kepada kemanusiaan dan kesejahteraan global. Ini kemungkinan satu-satunya sikap yang ditekankan Jokowi.
Sebelum lawatan Presiden Jokowi ini sendiri, sejumlah pemimpin dunia mulai dari Eropa, Turki, sampai Sekjen PBB Antonio Guterres sudah mengupayakan perdamaian di Ukraina, tetapi gagal.
Kalaupun misi Jokowi akan berakhir seperti Antonio Guterres dan lainnya itu, maka itu tak membuat Jokowi disebut tidak berhasil.
Sebaliknya, citra negatif lebih tersemat kepada pihak-pihak yang bertikai di sana, khususnya Presiden Vladimir Putin, jika enggan mempertimbangkan ajakan berunding yang bahkan disampaikan seorang presiden dari sebuah negara yang berusaha tetap netral.