Putusan sidang adat DAD Kotim diklaim sudah sesuai aturan

id Putusan sidang adat DAD Kotim diklaim sudah sesuai aturan, kalteng, sampit, kotim, kotawaringin Timur, dad kotim

Putusan sidang adat DAD Kotim diklaim sudah sesuai aturan

Majelis hakim Kerapatan Mantir Basara Hai DAD Kotim mendengarkan keterangan sejumlah saksi, sebelum membuat putusan terhadap perkara yang ditangani, Senin (29/8/2022). ANTARA/Norjani

Sampit (ANTARA) - Sidang adat yang dilaksanakan di Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, untuk membantu penyelesaian sengketa lahan sawit dua pihak yang masih ada ikatan keluarga, diklaim sudah sesuai aturan adat. 

"Kalau di adat, ini sudah mentok (putusan final). Tidak ada istilah peninjauan kembali. Tapi kalau dia bawa ke hukum positif, boleh. Terserah mereka. Yang pasti, berdasarkan konvensi Damang pada September 1928 dan diperkuat putusan pada April 1953 itu di Kuala Kapuas ke diktum ketiga yaitu Damang dapat melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan surat keterangan Damang," kata Juru Bicara Kerapatan Mantir Basara Hai atau Majelis Hakim Sidang Adat, Kardinal Tarung di Sampit, Senin. 

Kerapatan Mantir Basara Hai menggelar sidang adat di kantor DAD Kotawaringin Timur. Sidang adat terkait sengketa lahan kebun sawit seluas 620,28 hektare itu diajukan oleh Alpin Laurence, Wahju Daeny, Candra Salim dan Soejatmiko Lieputra selaku penggugat. 

Sidang dipimpin dipimpin tujuh damang yang berasal dari Kabupaten Kotawaringin Timur, Katingan, Seruyan dan Kota Palangka Raya. Sidang sempat menghadirkan sejumlah saksi. 

Sidang kedua yang diakhiri dengan pembacaan putusan ini kembali tidak dihadiri pihak tergugat yaitu Hok Kim alias Acen Suwartono. Meski begitu, majelis hakim tetap melanjutkan sidang hingga pembacaan putusan. 

"Tergugat kehilangan hak untuk membela diri, sementara yang bersangkutan sudah dipanggil dengan cara yang patut dan waktu yang cukup. Artinya kita mempertimbangkan untuk memperlakukan yang bersangkutan seperti pada hukum positif, ada asas praduga tidak bersalah," jelas Kardinal. 

Menurut Kardinal, putusan ini merupakan putusan adat, bukan putusan perdamaian adat. Hal ini karena sejak awal kedua belah pihak tidak bisa membingkai persoalan ini dengan menyelesaikan secara damai. Ini dianggap keadaan sudah luar biasa sehingga dibentuk Basara Hai atau gelar perkara untuk penyelesaiannya secara adat. 

Majelis Kerapatan Mantir Basara Hai memutuskan, putusan sidang adat (Damang Cempaga Hulu) nomor : 03/HKMPAD-KCH/PTS/XII/2021, tanggal 8 Desember 2021 dinyatakan gugur dan tidak berlaku lagi. Mengembalikan kedudukan penggugat sebagai pemilik sah atas objek sengketa lahan perkebunan kelapa sawit. 

Memerintahkan tergugat mengembalikan sebagian harta yang menjadi hak penggunaan yaitu haknya sebagai pemilik dan sekaligus sebagai pemimpin perusahaan PT Winson Putra Anugerah.

Memerintahkan tergugat membayar uang hasil penjualan tandan buah segar yang tidak dibayar sejak Oktober 2021 sampai sekarang kepada penggugat. 

Baca juga: Dana patungan perbaikan lingkar selatan Sampit belum sampai separuh

Majelis juga memberikan ruang kepada penggugat untuk mengambil sikap membawa perkara ini ke ranah hukum positif sepanjang penggugat merasa perlu untuk itu. 

Selain itu, tergugat diwajibkan membayar sejumlah denda kepada penggugat dengan total Rp165 juta. Sementara itu, penggugat dan tergugat dibebani biaya untuk menggelar pesta adat untuk tolak bala menetralisir aspek kesialan dan menciptakan ketenteraman magis. 

"Banyak pertimbangan kami sehingga kami berkesimpulan bahwa yang bersangkutan diberi putusan itu. Aspek yang meringankan karena hubungan keluarga," ujar Kardinal. 

Sementara itu terkait putusan menggugurkan hasil sidang adat Damang Cempaga Hulu, merupakan tindakan tidak sah, Kardinal enggan berkomentar banyak. Dia hanya menegaskan bahwa majelis tidak ingin membiarkan putusan yang dinilai cacat kewenangan lantaran diambil oleh seorang yang saat itu masih berstatus sebagai Pelaksana Tugas Damang. 

"Putusan kami tidak menyebut membatalkan karena itu juga produk. Tetapi itu cacat hukum. Tidak boleh diabaikan," demikian Kardinal Tarung. 

Wahyu Deany, mewakili tiga rekannya yang menjadi penggugat, juga tidak berkomentar banyak terkait hasil itu meski putusan sidang adat menguntungkan pihaknya. 

"Saya tidak bisa berkomentar banyak, kecuali hanya ucapan terima kasih kepada Dewan Adat Dayak yang telah menyelesaikan permasalahan kami," ujarnya. 

Sementara itu, Hok Kim alias Acen Suwartono selalu pihak tergugat tidak hadir dalam sidang putusan tersebut. Saat sidang sebelumnya, Acen juga tidak hadir namun mengirim surat sebagai penjelasan alasannya kepada majelis. 

Melalui suratnya, Acen menjelaskan kepada majelis hakim Kerapatan Mantir Basara Hai DAD Kotawaringin Timur bahwa dia yang membeli langsung lahan kelompok tani tanggal 17 September 2007 dan didaftarkan di notaris. 

Dia mengaku sejak awal saya yang mengelola lahan itu yang ditanami kelapa sawit, mulai pembersihan lahan, merawat hingga menghasilkan buah. 

Dia menegaskan bahwa dirinya bukan manajer kebun dan kebun itu bukan perkebunan keluarga seperti yang disebutkan dalam surat panggilan, melainkan dirinyalah pemilik kebun yang disengketakan dalam sidang adat ini. Juga berdasarkan keputusan sidang adat Cempaga Hulu bahwa dirinya disebutkan sebagai pemilik yang sah. 

Baca juga: Pemkab Kotim perkuat komitmen penanganan stunting

Baca juga: Bupati Kotim berharap pengembangan bandara membuat tiket pesawat lebih murah

Baca juga: Pekan Raya Sampit bantu percepatan pemulihan ekonomi