Pengamat kritisi wacana uji emisi syarat perpanjangan STNK dan denda

id Pengamat kritisi wacana uji emisi syarat perpanjangan STNK dan denda, polisi, uji emisi

Pengamat kritisi wacana uji emisi syarat perpanjangan STNK dan denda

Dokumentasi - Kabut polusi udara menyelimuti kawasan Jakarta, Selasa (8/10/2019). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/ama.

Jakarta (ANTARA) - Salah satu upaya mengurangi polusi di Ibu Kota Jakarta yang diusulkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya yakni dengan uji emisi kendaraan menjadi syarat perpanjangan STNK dan pemberlakuan denda, dikritisi oleh pakar kebijakan publik Bambang Haryo Soekartono.

"Sejauh ini berdasarkan data BMKG, jumlah titik hotspot kebakaran sudah mencapai diatas 5.000 titik api sampai dengan hari ini. Dan titik kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera terparah lah yang membawa asap kebakaran hutan tersebut ke pesisir pulau Jawa termasuk Jabodetabek akibat angin berhembus dari barat ke timur agak ke selatan sesuai dengan informasi BMKG," kata Bambang Haryo dalam siaran pers yang diterima, Sabtu. 

Anggota DPRRI periode 2014-2019 ini mengaku prihatin dengan wacana itu. Dia berharap Menteri LHK tidak mengambil sikap ibarat "lempar batu sembunyi tangan" dengan mengambinghitamkan emisi gas buang kendaraan masyarakat seluruh Indonesia menjadi penyebab polusi udara di Jakarta dan sekitarnya.

Bambang Haryo berpendapat, pemerintah harus bertanggung jawab penuh atas pencemaran udara di wilayah Jabodetabek. Terbakarnya hutan di Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Tengah, Barat, Selatan, Jawa Barat, Tengah, Timur dan beberapa daerah seluruh Indonesia, termasuk Papua tidak tertangani dan terawat dengan baik sehingga terjadi polusi yang mencapai wilayah Jabodetabek. 

Menurutnya, Kementerian LHK seharusnya sudah sangat paham siklus asap tahunan. Sudah berkali-kali terjadi kebakaran hutan di tahun-tahun sebelumnya yang selalu membawa dampak polusi udara di atas ambang batas di Jabodetabek yang jadi heboh tiap bulan Juli-Agustus. 

Seperti yang terjadi pada 2015, 2017 dan 2019 lalu, hutan selalu terbakar saat di bulan Juli-Agustus akibat kemarau yang dimulai bulan Mei-Juni. Kondisi itu menyebabkan pencemaran udara di Jabodetabek, Semarang dan Surabaya.

Baca juga: Tilang uji emisi dinilai jadi solusi jangka pendek atasi polusi udara

"Ini, bukannya ditangani, melainkan selalu menyalahkan dan menyudutkan masyarakat mulai dari emisi gas buang, asap industri yang berlebihan dan lain lain," katanya. 

Dia juga tidak sependapat dengan munculnya wacana kendaraan listrik untuk digencarkan kepada masyarakat.

Menurut Alumnus ITS Surabaya ini, semua pemegang kebijakan paham, setiap adanya musim hujan setelah musim kemarau panjang, tidak akan ada masalah lagi pencemaran udara. Hutan-hutan yang terbakar mulai padam akibat guyuran hujan dan ini pasti selalu diakhiri asap tersebut di akhir September sehingga problem asap sudah hilang kembali.

Bambang Haryo mengimbau semua pihak berhenti menyalahkan dan membebani masyarakat dengan kebijakan. Kementerian LHK harus bertanggung jawab pada kondisi polusi udara tersebut. 

Dia juga mendorong organisasi pegiat lingkungan seperti WALHI dan masyarakat segera mengaudit kelalaian kinerja dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup tersebut. 

Baca juga: KLHK jatuhkan sanksi pada 11 industri yang cemari udara

Baca juga: Benarkah polusi udara dapat memperpendek usia harapan hidup?

Baca juga: Tiga opsi metode tekan polusi udara di DKI Jakarta