Wartawan istana tulis buku kisah liputan sejak Presiden Soeharto hingga Jokowi
Jakarta (ANTARA) - Sebanyak 49 wartawan yang meliput kegiatan Presiden RI mulai sejak Presiden Soeharto hingga Presiden Joko Widodo menulis buku berisi pengalaman dan kisah-kisah liputan yang banyak tidak terungkap dalam laporan jurnalistik mereka.
Untuk memperkenalkan kepada publik dan mengulas buku berjudul "79 Kisah di Balik Liputan Istana", Pusat Kajian Hang Lekir menyelenggarakan acara bedah buku di Jakarta, Kamis.
Buku tersebut berisi berbagai kisah ringan, tegang, dramatis, dan juga lucu yang memberi perspektif lain tentang "Istana".
Di era Presiden Soeharto, misalnya, seleksi bagi wartawan untuk mendapat izin meliput kegiatan kepresidenan sangat ketat, mulai menjalani penelitian khusus, latar belakang wartawan, hingga aturan berpakaian yang ketat.
Sementara di era Presiden Abdurrahman Wahid, peliputan di Istana nyaris tanpa aturan protokoler. Namun wartawan harus selalu siap siaga agar tidak kehilangan berita karena sering ada agenda dadakan.
Latar belakang wartawan yang berbeda membuat tulisan memiliki gaya bahasa dan bertutur yang juga berbeda.
Mengenai penulisan buku, penyusun buku Tingka Adiati mengatakan, "Mengumpulkan 79 cerita dari para wartawan ternyata tidak mudah, sampai menit terakhir masih ada yang baru setor.
Penyusun lainnya, Elvi Yusanti mengatakan banyak pula wartawan yang harus mengingat-ingat kembali cerita-cerita mereka karena tidak ada catatannya. "Ini menjadi tantangan tersendiri," katanya.
Untuk memperkenalkan kepada publik dan mengulas buku berjudul "79 Kisah di Balik Liputan Istana", Pusat Kajian Hang Lekir menyelenggarakan acara bedah buku di Jakarta, Kamis.
Buku tersebut berisi berbagai kisah ringan, tegang, dramatis, dan juga lucu yang memberi perspektif lain tentang "Istana".
Di era Presiden Soeharto, misalnya, seleksi bagi wartawan untuk mendapat izin meliput kegiatan kepresidenan sangat ketat, mulai menjalani penelitian khusus, latar belakang wartawan, hingga aturan berpakaian yang ketat.
Sementara di era Presiden Abdurrahman Wahid, peliputan di Istana nyaris tanpa aturan protokoler. Namun wartawan harus selalu siap siaga agar tidak kehilangan berita karena sering ada agenda dadakan.
Latar belakang wartawan yang berbeda membuat tulisan memiliki gaya bahasa dan bertutur yang juga berbeda.
Mengenai penulisan buku, penyusun buku Tingka Adiati mengatakan, "Mengumpulkan 79 cerita dari para wartawan ternyata tidak mudah, sampai menit terakhir masih ada yang baru setor.
Penyusun lainnya, Elvi Yusanti mengatakan banyak pula wartawan yang harus mengingat-ingat kembali cerita-cerita mereka karena tidak ada catatannya. "Ini menjadi tantangan tersendiri," katanya.