Jokowi berharap universitas hasilkan lebih banyak dokter spesialis
Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengharapkan universitas maupun rumah sakit bisa menghasilkan lebih banyak dokter dan dokter spesialis, untuk mengatasi isu kekurangan dokter di Indonesia.
“Karena saya lihat di lapangan banyak rumah sakit yang tidak memiliki spesialis-spesialis tertentu yang berkaitan dengan, misalnya, MRI, cath lab, mammogram. (Dokter) spesialisnya belum ada tetapi sudah didorong untuk ke sana,” kata Jokowi usai menghadiri Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) 2024 di Tangerang, Banten, pada Rabu.
Ketika menyampaikan pidato dalam acara tersebut, Presiden menyoroti kurangnya dokter dan dokter spesialis yang menjadi masalah terbesar sektor kesehatan di Indonesia.
Merujuk data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019, Jokowi memaparkan bahwa Indonesia hanya memiliki 0,47 dokter per 1.000 penduduk, atau berada di bawah standar WHO yang minimum standarnya 1 dokter per 1.000 penduduk.
Oleh karena itu, ujar dia, Indonesia pada 2023 merevisi UU Kesehatan yang antara lain dapat mempermudah sistem pendidikan calon-calon dokter spesialis.
“(Agar) membuka seluas-luasnya universitas-universitas (bagi pendidikan dokter spesialis), tetapi tentu saja dengan tetap memperhatikan kualifikasi dan screening yang baik,” tutur Presiden Jokowi.
Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menegaskan pentingnya distribusi tenaga medis dan kesehatan yang merata di Tanah Air dalam menyediakan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Oleh karena itu, kata Nadia, ada sejumlah upaya yang dilakukan, seperti pemberian 3.000 beasiswa bagi SDM kesehatan. Beasiswa tersebut, ujarnya, diberikan oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) serta Kementerian Kesehatan.
Menurutnya, beasiswa itu dimaksudkan agar para dokter umum berminat menjadi dokter spesialis. Dia menjelaskan, sebanyak 30 dari 38 provinsi di Indonesia masih kekurangan tenaga spesialis.
Selain pemberian beasiswa, katanya, mereka juga mencanangkan pendidikan berbasis rumah sakit guna memproduksi lebih banyak tenaga medis, agar distribusi semakin merata.
"Kita berharap lebih banyak lagi rumah sakit yang mengampu. bukan hanya rumah sakit vertikal di bawah Kementerian Kesehatan, tapi ada rumah sakit BUMN, rumah sakit swasta, rumah sakit umum daerah dapat mengembangkan proses pendidikan berbasis rumah sakit tadi," kata dia.
Upaya-upaya lainnya, kata dia, adalah penyederhanaan registrasi untuk Surat Izin Praktik (SIP) serta Surat Tanda Registrasi (STR).
"Kemudian yang lain adalah kemudahan untuk diaspora untuk kembali ke Indonesia, ya. Proses adaptasi, kemudian bagaimana untuk diaspora bekerja kembali ke Indonesia," katanya.
“Karena saya lihat di lapangan banyak rumah sakit yang tidak memiliki spesialis-spesialis tertentu yang berkaitan dengan, misalnya, MRI, cath lab, mammogram. (Dokter) spesialisnya belum ada tetapi sudah didorong untuk ke sana,” kata Jokowi usai menghadiri Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) 2024 di Tangerang, Banten, pada Rabu.
Ketika menyampaikan pidato dalam acara tersebut, Presiden menyoroti kurangnya dokter dan dokter spesialis yang menjadi masalah terbesar sektor kesehatan di Indonesia.
Merujuk data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019, Jokowi memaparkan bahwa Indonesia hanya memiliki 0,47 dokter per 1.000 penduduk, atau berada di bawah standar WHO yang minimum standarnya 1 dokter per 1.000 penduduk.
Oleh karena itu, ujar dia, Indonesia pada 2023 merevisi UU Kesehatan yang antara lain dapat mempermudah sistem pendidikan calon-calon dokter spesialis.
“(Agar) membuka seluas-luasnya universitas-universitas (bagi pendidikan dokter spesialis), tetapi tentu saja dengan tetap memperhatikan kualifikasi dan screening yang baik,” tutur Presiden Jokowi.
Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menegaskan pentingnya distribusi tenaga medis dan kesehatan yang merata di Tanah Air dalam menyediakan akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Oleh karena itu, kata Nadia, ada sejumlah upaya yang dilakukan, seperti pemberian 3.000 beasiswa bagi SDM kesehatan. Beasiswa tersebut, ujarnya, diberikan oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) serta Kementerian Kesehatan.
Menurutnya, beasiswa itu dimaksudkan agar para dokter umum berminat menjadi dokter spesialis. Dia menjelaskan, sebanyak 30 dari 38 provinsi di Indonesia masih kekurangan tenaga spesialis.
Selain pemberian beasiswa, katanya, mereka juga mencanangkan pendidikan berbasis rumah sakit guna memproduksi lebih banyak tenaga medis, agar distribusi semakin merata.
"Kita berharap lebih banyak lagi rumah sakit yang mengampu. bukan hanya rumah sakit vertikal di bawah Kementerian Kesehatan, tapi ada rumah sakit BUMN, rumah sakit swasta, rumah sakit umum daerah dapat mengembangkan proses pendidikan berbasis rumah sakit tadi," kata dia.
Upaya-upaya lainnya, kata dia, adalah penyederhanaan registrasi untuk Surat Izin Praktik (SIP) serta Surat Tanda Registrasi (STR).
"Kemudian yang lain adalah kemudahan untuk diaspora untuk kembali ke Indonesia, ya. Proses adaptasi, kemudian bagaimana untuk diaspora bekerja kembali ke Indonesia," katanya.