Martapura (ANTARA) - Senyum sumringah Saifudin (40) terlihat dari kejauhan. Sikap ramah Saifudin seakan menyambut kerabat, seketika melecut semangat rombongan jurnalis yang baru tiba di Dermaga Bukit Batu Desa Tiwingan Kecamatan Aranio Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan.
Maklum, puluhan peserta lomba fotografi, videografi dan karya jurnalistik Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) XIV yang berasal dari berbagai provinsi ini baru saja melewati perjalanan darat dari titik Km 0 Banjarmasin menuju Dermaga Bukit Batu. Lebih dari dua jam waktu dibutuhkan hingga bus yang membawa mereka menuntaskan jarak sekitar 68 kilometer mencapai dermaga tersebut.
“Capek ya di perjalanan? Berangkat jam berapa tadi? Mudah-mudahan tetap semangat karena setelah ini kita akan menikmati indahnya pemandangan situs-situs Geopark Meratus dan suasana perjalanan yang akan dilalui,” ujar Saifudin dengan ramah, Rabu.
Benar saja, belum jauh perahu motor atau disebut kelotok yang dikemudikan Saifudin meninggalkan Dermaga Bukit Batu, peserta Porwanas mulai disuguhi pemandangan indah dan unik, seperti keindahan pemandangan danau, batang pohon besar yang menjulang dari dalam danau, serta merdunya kicauan burung di alam bebas.
“Indah ya,” kata Ati, peserta dari Jawa Barat mengomentari pemandangan Danau Riam Kanan.
Tujuan rute rombongan peserta Porwanas ini adalah Desa Belangian. Untuk mencapai desa ini, diperlukan waktu tempuh sekitar satu jam dari Dermaga Bukit Batu menuju Dermaga Belangian dengan menumpang kelotok. Peserta dibawa melintasi Danau Riam Kanan yang luasnya sekitar 9.000 hektare.
Di sepanjang perjalanan, hamparan puncak Pegunungan Meratus tampak menjadi pagar alam yang begitu menakjubkan. Kabut tipis di sekitar puncak terlihat bak hamparan kapas putih, membuat keindahan pemandangan alam di kawasan ini seakan tidak bisa lagi digambarkan dengan kata-kata.
Gemercik ombak yang dihantam kelotok, menyuguhkan harmoni yang selaras dengan arus danau buatan yang dulunya merupakan perkampungan, terdiri dari delapan desa yang kemudian tenggelam karena desa-desa tersebut dijadikan Waduk Riam Kanan untuk keperluan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) pada 1965. Desa-desa tersebut yaitu Kalaan, Benua Riam atau Rantau Halayung, Minunggul, Tiwingan, Akuai, Rantau Bujur, Rantau Balai dan Bunglai.
Asik menikmati pemandangan barisan pemandangan Pegunungan Meratus, sesekali mata disuguhi atraksi burung besar atau sering disebut burung haruei yang terbang memutar-mutar di atas pepohonan di pinggir danau.
Rutinitas nelayan yang sedang memberi makan ikan nila dan patin yang mereka budidayakan di keramba, ditambah riuh anak-anak bermain di pinggir danau, menjadi pemandangan yang tidak kalah menarik. Sejatinya interaksi saling melengkapi antara indahnya alam dan makhluk Sang Pencipta.
Sesampainya di Desa Belangian, panitia sudah menyiapkan rangkaian rute dan kegiatan menarik untuk peserta yaitu liputan di Selter Kembar, pohon Binuang, Sungai Lua Dibatu dan bersilaturahim dengan masyarakat. Perjalanan yang dilalui ada yang menaiki sepeda motor dan ada pula berjalan kaki.
Peserta diajak ke objek wisata Lembah Kahung Desa Belangian. Beberapa suguhan menarik di antaranya pemandangan alam dengan menelusuri jalan setapak menggunakan sepeda motor. Selain melintasi jalan yang diapit pepohonan besar di kiri dan kanan jalan, peserta disuguhi keberadaan batu-batu besar sepanjang jalan, serta jembatan yang melintasi sungai.
Pemerintah daerah sudah menyiapkan selter atau tempat singgah yang representatif demi kenyamanan pengunjung. Selanjutnya ada pemandangan pohon Binuang Laki yang berukuran besar dengan ketinggian 50 meter dan diameter lebih dari dua meter dengan usia sekitar 70 tahun. Di lokasi lain, masih ada pohon yang lebih besar lagi yang berusia sekitar 80 tahun.
“Pohon binuang laki ini cirinya ada akar gantung. Cirinya pohonnya kuat berdiri karena akar tunjangnya lebih dalam sehingga tidak mudah tumbang. Kayunya ini biasanya untuk mebel, tapi karena ini kawasan konservasi maka tidak boleh ditebang. Ini dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, edukasi dan pariwisata,” kata Bambang Susilo dari Seksi Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan Dinas Provinsi Kalimantan Selatan.
Puas menggali informasi tentang pohon “raksasa” Binuang Laki, peserta dibawa menuju Luwa Dibatu. Sungai berbatu di Muara Kahung yang berada di 1,76 kilometer dari permukaan laut ini memiliki keunikan yakni terdapat bebatuan yang diperkirakan berusia jutaan tahun. Bebatuan yang lebih keras dibanding batu biasa ini diyakini menjadi bukti bahwa kawasan Geopark Meratus terbentuk dari kemunculan patahan dari dalam bumi ke permukaan di masa lalu.
Kekayaan alam inilah yang menjadi pendorong bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan bersama masyarakat untuk melestarikan keragaman di Pegunungan Meratus melalui pengelolaan Geopark Meratus.
Lomba jurnalistik ini merupakan salah satu upaya Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan untuk lebih mengenalkan Geopark Meratus. Porwanas XIV menjadi momen yang tepat untuk membawa Geopark Meratus semakin dikenal, bahkan mendunia dengan melibatkan sumbangsih para jurnalis negeri ini.
Geopark Meratus yang dijuluki “The Soul of Borneo” atau Jiwanya Borneo, memiliki luas wilayah 3,645.01 Km2. Kawasannya mencakup enam kabupaten/kota, yaitu Kota Banjarbaru, Kota Banjarmasin, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Tapin, Batola, dan Banjar.
Geopark Meratus terdiri empat rute perjalanan, yakni rute Utara, Timur, Selatan dan Barat. Rute-rute tersebut dirancang dengan penamaan yang merepresentasikan karakteristik wilayah dan keanekaragaman Situs Geopark Meratus dengan total 54 situs.
Rute Barat mempunyai panjang rute sekitar 85 km dan sembilan situs. Rute Utara mempunyai panjang rute sekitar 188,15 kilometer dan memiliki 14 situs. Rute Selatan mempunyai panjang rute sekitar 67,44 km dan 14 situs.
Sementara itu, Desa Belangian dipilih menjadi lokasi peliputan kegiatan Porwanas ini karena desa ini termasuk salah satu situs pada rute Timur Geopark Meratus. Desa ini mempunyai banyak potensi, mulai dari keindahan alamnya, sejarahnya, hingga kebudayaan masyarakat setempat yang hingga kini memegang teguh komitmen untuk menjaga alam, khususnya Hutan Hujan Tropis Kahung yang masih asri dan memiliki pohon besar, air yang jernih serta air terjun.
Kepala Bidang Geologi Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Selatan sekaligus Badan Pengelola Geopark Meratus, Ali Mustofa yang menyapa peserta melalui virtual saat pertemuan teknis Senin (19/8) malam, menjelaskan, rute Timur memiliki panjang rute sekitar 68,68 km dan memiliki 17 situs. Perjalanan pada rute ini mengusung tema pelayaran mengesankan menembus sejarah bumi dan manusia.
Situs di rute ini yaitu Batu Sekis Sei Kambang, Matang Kaladan Panoramic, Bendungan Riam Kanan, jejak longsoran Bukit Tiwingan, perikanan Danau Riam Kanan, rumah panggung Tebing Danau, Pulau Ulin. Selain itu ada Gunung Api Purba Bawah Laut, Pulau Bekantan, Pulau Pinus, situs arkeologi Pulau Sirang, pohon saksi Bisu Ba’ah, Desa Belangian, Hutan Hujan Tropis Kahung, Makam Keramat Tenggelam, permukiman yang ditenggelamkan, serta Batupasir Pembawa Intan.
“Desa Belangian kini menjadi desa wisata. Sebelumnya masyarakat desa ini menempati sebuah kampung yang kemudian kampung tersebut ditenggelamkan untuk keperluan pembangunan waduk Riam Kanan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Kini masyarakat bangkit dan tumbuh dalam upaya mencapai kesejahteraan,” ujar Ali Mustofa.
Diusulkan Masuk UGGp
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan sangat serius dalam melakukan konservasi melalui Geopark Meratus. Pemerintah daerah bahkan tidak berhenti pada geopark nasional yang disandang Geopark Meratus saat ini, tetapi sedang berjuang agar Geopark Meratus masuk dalam geopark internasional UNESCO Global Geoparks (UGGp).
Penetapan UGGp harus melalui penilaian dan sertifikasi oleh UNESCO Global Geoparks Council sebagai penegasan sebuah taman yang memenuhi semua persyaratan untuk menjadi anggota Global Geoparks Network. Pengelolaan UGGp nantinya mengusung tiga pilar utama yaitu konservasi, edukasi, dan pengembangan ekonomi lokal.
“Geopark bukan semata tempat konservasi, melainkan juga bisa dikembangkan untuk edukasi pengembangan ekonomi masyarakat sekitar. Geopark menjadi tempat untuk belajar tentang warisan bangsa bahkan dunia, belajar tentang keragaman geologi, belajar tentang keragaman etnik serta belajar tentang potensi ekonomi,” kata Ali Mustofa.
Ali menyebutkan, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pengembangan Taman Bumi atau Geopark jadi rujukan dalam pengembangan Geopark Meratus. Warisan alam yang sangat indah ini merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang perlu dijaga, dilindungi dan dimanfaatkan sebaik-baiknya demi konservasi dan kesejahteraan masyarakat.
Untuk itu diperlukan upaya bersama untuk menjaga kawasan geologi, geoheritage atau warisan ekologi serta nilai-nilai yang ada di dalamnya, baik itu ekologi sejarah maupun budayanya. Upaya ini perlu melibatkan semua pihak, tidak terkecuali masyarakat desa yang merupakan bagian dari geopark itu sendiri.
Menurut Ali, saat ini sudah cukup banyak geopark internasional yaitu 213 UGGp yang tersebar di 48 negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri sudah ada 20 geopark, yang 10 di antaranya sudah ditetapkan sebagai UGGp. Dia berharap Geopark Meratus akan menjadi menjadi UGGp ke-11 yang dimiliki Indonesia.
Salah satu syarat sebuah kawasan bisa ditetapkan sebagai geopark adalah memiliki warisan geologi. Warisan keragaman ini dimanfaatkan dan dikelola oleh masyarakat untuk konservasi, pendidikan dan pembangunan ekonomi berkelanjutan.
Geopark Meratus diajukan menjadi anggota UGGp karena apa yang ada di dalam Geopark Meratus memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri yang berbeda dengan geopark lain. Ini merupakan bagian dari upaya melestarikan dan menyelamatkan lingkungan, serta membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Identifikasi objek geologi Meratus sudah dilakukan sejak 2017 bekerja sama dengan ahli geologi dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta. Hasilnya diperoleh data-data scientific yang menyatakan bahwa warisan geologi di Meratus ini cukup menarik dan berskala internasional. Meski demikian, bagi UNESCO, mereka akan mengkaji lebih mendalam terhadap hasil tersebut.
“Untuk skala internasional akan dimulai oleh ilmuwan profesional dari IGGI. Alhamdulillah pada 12-13 Juli 2024 telah dikirim asesor atau penilai internasional dari UNESCO ke Geopark Meratus. Mereka melakukan penilaian signifikansi terhadap kesiapan Geopark Meratus menjadi UGGp,” sambung Ali Mustofa.
Geopark memiliki ciri khas yaitu memiliki badan pengelola. Anggotanya adalah kolaborasi antara PNS dan non PNS atau profesional yang membantu dalam badan pengelola. Masing-masing situs juga memiliki pengelola seperti Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis), Kelompok Masyarakat (Pokmas), BUMDes, UPT dan masyarakat sendiri.
Geopark harus memiliki visibilitas. Saat ini setiap situs di Meratus sudah dikelola dengan baik. Antar satu situs dengan situs yang lain telah terhubung dengan baik melalui infrastrukturnya yang cukup baik, ditambah fasilitas-fasilitas lain seperti toilet tempat sampah dan lainnya.
Geopark Meratus dimanfaatkan seoptimal mungkin agar membawa manfaat bagi masyarakat, mulai dari kepentingan konservasi, edukasi, penelitian, bahkan ekonomi masyarakat sekitar dengan ramah lingkungan. Geopark Meratus juga menjaga kesinambungan flora dan fauna sehingga juga membawa dampak positif bagi kehidupan masyarakat.
“Kunci utama yang menentukan keberhasilan geopark adalah tata pengelolaan yang harus terus ditingkatkan agar semakin baik dengan melibatkan pegiat, akademisi, masyarakat sekitar serta pemangku kepentingan lain. Sesuai dengan motto Global Geopark Network adalah memuliakan kawasan bumi dan menyejahterakan masyarakat setempat,” demikian Ali Mustofa.
Diperkuat Kearifan Lokal
Geopark Meratus tidak saja menyuguhkan keeksotisan alamnya, tetapi juga diperkuat kearifan lokal masyarakatnya. Hingga kini, warga setempat yang dikenal religius, terus memegang nilai-nilai positif yang dititipkan pendahulu mereka, mulai dari tanggung jawab menjaga lingkungan hingga memuliakan para tamu yang datang.
Ketika rombongan peserta lomba jurnalistik Porwanas XIV tiba di Dermaga Belangian, antusias ditunjukkan warga desa setempat. Para orang tua, remaja dan anak-anak datang ke dermaga menyambut kedatangan rombongan dengan senyum ramah dan tulus.
Pembakal atau Kepala Desa Belangian, Aunul Khoir bersama tokoh masyarakat setempat pun mengalungkan bunga kepada perwakilan tamu yang hadir. Mereka juga dengan ramah menyambut dan memandu peserta yang datang untuk menjajal keunikan alam Desa Belangian.
Tidak hanya itu, para ibu-ibu di desa yang berpenduduk 105 kepala keluarga dengan 350 jiwa ini sengaja menggelar tradisi “Gawi Sabumi”. Tradisi ini yaitu memasak makanan secara bersama-sama dalam jumlah besar yang kemudian dihidangkan kepada para tamu yang datang.
Bagi warga desa yang sebagian besar berprofesi sebagai petani dan nelayan ini, tradisi tersebut jauh dari kata terpaksa. Gawi Sabumi menjadi perwujudan rasa senang dan bangga mereka karena kedatangan tamu sehingga mereka perlakukan seperti keluarga dekat sendiri.
“Ayo tambah lagi makannya. Jangan sungkan. Kalau mau nambah ikannya juga masih banyak. Anggap saja di rumah sendiri, jadi tidak perlu malu. Kami malah sangat senang kalau hidangan kami dimakan sampai habis,” Rusmilawati, salah seorang ibu, sembari mengaduk beras yang sedang ditanak menggunakan “kawah” atau wajan besar untuk dijadikan nasi.
Keramahan dan ketulusan masyarakat menyambut para tamu, membuat hidangan yang disajikan berasa sangat nikmat. Menu sayur humbut, nangka dan labu dengan lauk ikan nila itu pun disantap dengan lahap puluhan peserta.
Kearifan lokal juga dibuktikan masyarakat Desa Belangian dalam melestarikan alam. Di halaman beberapa rumah warga terlihat drum besi yang ditanam ke dalam tanah. Ternyata drum bekas itu menjadi tempat warga membakar sampah dengan tujuan agar tidak memicu kebakaran lahan. Selain bersih, abu hasil pembakaran sampah itu juga bisa digunakan untuk campuran pupuk alami.
Begitu pula saat menyusuri jalan menuju Lembah Kahung, wisatawan akan menemukan beberapa pohon yang dibiarkan berdiri tegak di tengah jalan dan tidak dirusak meski jalan setapak itu dipasangi bata atau paving block. Warga desa setempat memang sangat menjaga kelestarian alam sehingga jika pohon itu masih tidak terlalu mengganggu maka tidak akan ditebang.
Pembakal Desa Belangian, Aunul Khoir mengatakan, warga desanya sejak lama bersepakat untuk menjaga kelestarian lingkungan. Seperti halnya dalam mencegah kebakaran hutan dan lahan, masyarakat sudah membentuk komunitas Masyarakat Peduli Api (MPA) yang bersama-sama mencegah dan menanggulangi jika terjadi kebakaran lahan di musim kemarau.
“Setiap pohon yang ada di hutan Lembah Kahung itu juga ada yang menjaganya. Masing-masing warga kita bagi tuas untuk menjaganya. Misalnya pohon binuang laki itu hilang atau rusak, maka warga yang diberi amanat menjaga pohon itu harus bertanggung jawab,” tegas Aunul.
Aunul menambahkan, masyarakat Desa Belangian menyadari bahwa Geopark Meratus bertujuan untuk kelestarian alam. Namun di sisi lain, kawasan ini juga memberi manfaat besar bagi kehidupan masyarakat, termasuk dalam hal ekonomi sehingga masyarakat juga wajib mendukung keberlangsungan Geopark Meratus.
Ekonomi Lembah Kahung
Masyarakat Desa Belangian sudah mengenal betul tentang Geopark Meratus sehingga mereka sangat menjaganya agar tetap lestari dan membawa manfaat bagi masyarakat. Di bagian hulu desa ini terdapat hutan hujan tropis yang masih betul-betul terjaga secara alami. Bahkan di dalam hutan itu terdapat Sungai Kahung yang airnya sangat jernih, sehingga tidak sedikit warga yang berani meminumnya.
Masyarakat juga terbuka dengan budaya luar yang positif sehingga desa ini semakin maju. Masyarakat menyadari bahwa menjaga kelestarian lingkungan bisa dilakukan bersamaan dengan upaya meningkatkan perekonomian.
Potensi ekonomi muncul dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada di Geopark Meratus. Potensi lain yang kini sedang digalakkan adalah mengembangkan Geopark Meratus dari sisi ekowisata atau wisata berbasis lingkungan.
Saifudin (40), seorang motoris kapal wisata setempat mengaku merasakan dampak ekonomi keberadaan Geopark Meratus, khususnya dari sektor pariwisata. Setahun terakhir ayah tiga anak ini menjadi motoris kapal wisata karena hasilnya cukup untuk membantunya memenuhi kebutuhan keluarganya.
“Saya dulu bekerja di luar daerah sebagai pendulang emas, Alhamdulillah sekarang kembali ke kampung halaman bekerja sebagai motoris kapal wisata. Saya menerima upah dari pemilik kapal setiap ada wisatawan yang menyewa kelotok kami ini,” kata Saifudin.
Hampir setiap pekan ada saja wisatawan yang datang menyewa kapal wisata mereka untuk berwisata di Danau Riam Kanan Desa Belangian. Ada yang berwisata untuk bersantai di pinggir danau, ada yang memancing di tengah danau dan ada pula yang menggunakan jasa kelotok mereka untuk akomodasi penelitian atau edukasi.
Tarif sewa kapal wisata tersebut berkisar Rp1 juta per hari, tergantung rute yang akan dilalui. Kapal wisata atau kelotok yang dikemudikan Saifudin berkapasitas sekitar 50 penumpang, namun untuk kepentingan keselamatan maka muatannya dibatasi hanya untuk maksimal 20 penumpang.
“Selain itu, kebijakan ini juga supaya kapal wisata lainnya juga cepat mendapat giliran mengangkut penumpang. Dengan begitu semua kapal bisa bertahan dan beroperasi dengan baik,” kata Saifudin.
Manfaat keberadaan Geopark Meratus juga dirasakan puluhan warga Desa Belangian yang menjadi ojek wisata Lembah Kahung, salah satunya Rony Supian. Rony mengaku senang bisa menjadi bagian dari ojek wisata karena dia bisa mendapatkan penghasilan tambahan, selain profesinya menjadi petani yang mengandalkan hasil panen kacang dan padi.
“Alhamdulillah hampir tiap bulan ada saja wisatawan yang datang sehingga kami bisa mendapat penghasilan tambahan. Ini biasanya borongan (melalui BUMDes), kemudian hasilnya dibagi untuk semua ojek wisata yang bertugas. Kemarin saat ada kegiatan pemerintah daerah, ada 42 orang warga yang bergabung menjadi ojek wisata. Kami tentu sangat senang,” ujar Rony.
Pembakal Desa Belangian, Aunul Khoir mengatakan, desa mereka telah ditetapkan sebagai Desa Wisata oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjar pada 2019 lalu. Penetapan desa wisata ini juga berkaitan dengan keberadaan Geopark Meratus, khususnya objek wisata Lembah Kahung yang menyimpan beraneka ragam potensi wisata.
Sejak saat itu pemerintah desa bersama warga semakin serius menggerakkan ekowisata di daerah ini. Berbagai upaya dilakukan, mulai membenahi dan meningkatkan fasilitas pendukung objek wisata, pelatihan ekonomi seperti kerajinan kain sasirangan, ekoprint memanfaatkan bahan alami, kuliner, wisata pertanian manugal atau menanam padi digunung dan kerajinan pangan.
Hasilnya kini dirasakan oleh masyarakat, mulai dari menjadi pemandu wisata, motoris kapal wisata, pedagang, ojek wisata,dan lainnya. Masyarakat juga semakin antusias karena mempunyai pemahaman yang sama bahwa potensi ini diyakini akan semakin menjanjikan jika dikelola dengan baik.
Hal itu tergambar dari antusiasme dan keramahan warga dalam menerima setiap tamu yang datang ke desa mereka. Selain menjadi sarana silaturahim, mereka meyakini hubungan yang baik ini akan membuat wisatawan akan senang untuk datang kembali berwisata ke Desa Belangian sehingga membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat.
“Belum lama ini desa kami menjadi tempat kegiatan nasional yaitu pendakian Merah Putih dengan peserta sebanyak 87 orang. Hal seperti ini tentu saja membawa dampak ekonomi bagi warga di desa kami. Semoga saja Goepark Meratus bisa terus dikembangkan sehingga berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat,” demikian Aunul Khoir.
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Belangian, Hasriandi mengatakan, banyak potensi wisata yang bisa dimiliki desa mereka. Untuk itu Pokdarwis menggugah kesadaran masyarakat untuk bersama-sama menggali dan mengoptimalkan potensi yang ada.
“Di hutan Kahung ada empat air terjun, bahkan ada yang tingginya lebih dari 24 meter. Tapi memang akses jalannya yang belum bagus sehingga ada yang belum terjamah.Ini juga potensi yang nantinya kita harapkan bisa digarap optimal demi membantu meningkatkan perekonomian masyarakat,” harap Hasriandi.
Partisipasi pihak swasta maupun korporasi juga mulai terlihat. Seperti di kawasan hutan hujan tropis Kahung, sejumlah perusahaan terlibat dalam program rehabilitasi dengan menanam berbagai jenis pohon seperti karet, mahoni, petai, kemiri dan lainnya. Selama tiga tahun, tanaman tersebut dirawat oleh pihak perusahaan. Selanjutnya jika hasil evaluasi Dinas Kehutanan sudah menyatakan laik dipanen, maka hasil panen akan diberikan kepada masyarakat desa.
Kepala Bidang Geologi Dinas Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Kalimantan Selatan sekaligus Badan Pengelola Geopark Meratus, Ali Mustofa mengatakan, Badan Pengelola Geopark Meratus juga menginisiasi kerja sama dengan Bank Indonesia dan Bank Kalsel untuk membangun perekonomian masyarakat, salah satunya membangun home stay atau penginapan dengan memberdayakan masyarakat setempat.
“Bahkan sudah ada relawan yang mengajari warga bahasa asing. Warga juga diajari membuat kain sasirangan dan ekoprint dengan pewarna alami. Ini tidak ada di tempat lain. Ini tentu diharapkan bisa membawa dampak ekonomi bagi masyarakat,” kata Ali Mustofa.
Badan Pengelola Geopark Meratus berharap semua pemangku kepentingan terkait dan masyarakat bisa bersama-sama melestarikan warisan bumi ini. Tidak hanya untuk kepentingan keseimbangan alam dan mencegah bencana, tetapi juga untuk kemanfaatan sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Baca juga: Melalui foto pertajam Geopark Meratus lebih dikenal dunia
Baca juga: Ayo kunjungi wisata tak biasa di Pegunungan Meratus
Baca juga: Pegunungan Meratus diharapkan menjadi bagian Geopark UNESCO