Hadapi defisit anggaran, belajar dari negara yang selamatkan anggaran

id defisit anggaran,Dosen FEB-UPN Veteran, Jakarta,kalteng

Hadapi defisit anggaran, belajar dari negara yang selamatkan anggaran

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersama jajarannya dalam konferensi pers APBN KiTa di Jakarta, Kamis (13/3/2025). ANTARA/Imamatul Silfia/am.

Jakarta (ANTARA) - Pada Februari 2025, Indonesia menghadapi defisit anggaran belanja sebesar Rp31,2 triliun, sebuah kondisi yang mempertegas urgensi reformasi manajemen keuangan publik.

Defisit ini muncul di tengah tekanan geopolitik global, pergeseran demografi, dan ketidakpastian ekonomi pasca-pandemi.

Seperti diungkapkan dalam berbagai artikel di media massa, paradigma lama pengelolaan keuangan publik yang hanya berfokus pada pemotongan belanja, peningkatan utang, atau kenaikan pajak telah terbukti tidak memadai.

Indonesia perlu belajar dari kesuksesan negara lain, seperti Singapura dan negara-negara Eropa, yang mengoptimalkan aset publik untuk menciptakan aliran pendapatan baru.

Sebagian besar negara, termasuk Indonesia, masih mengadopsi sistem akuntansi berbasis kas (cash-based accounting), yang hanya mencatat transaksi saat uang fisik berpindah. Sistem ini mengabaikan nilai aset dan kewajiban jangka panjang, seperti properti pemerintah, infrastruktur, atau pensiun pegawai negeri.

Padahal, akuntansi akrual yang mencatat pendapatan dan pengeluaran saat terjadi, bukan saat kas diterima, dapat memberikan gambaran utuh kesehatan fiskal. Contohnya, kota Pittsburgh di AS menemukan nilai aset propertinya 70 kali lebih tinggi dari catatan keuangan resmi. Jika dikelola dengan baik, aset ini bisa menghasilkan pendapatan non-pajak yang signifikan.

Di sisi lain, kegagalan mengelola kewajiban non-utang seperti pensiun pegawai negeri atau liabilitas BUMN juga memperparah defisit. Menurut IMF, rasio kewajiban pensiun pemerintah di Indonesia mencapai 45 persen dari PDB pada 2023, tetapi ini jarang dimasukkan dalam perdebatan fiskal.

Padahal, negara seperti Swedia dan Kanada telah membuktikan bahwa transparansi liabilitas jangka panjang melalui laporan neraca sektor publik mendorong kebijakan yang lebih berkelanjutan.

Pemerintah perlu mempercepat transisi ke akuntansi akrual seperti yang dilakukan Selandia Baru. Membentuk sistem pelaporan aset publik yang transparan, termasuk properti, BUMN, dan infrastruktur strategis. Mengadopsi metrik nilai bersih sektor publik (public-sector net worth) sebagai indikator utama kesehatan fiskal.

Singapura (melalui Temasek Holdings) dan Malaysia (via Khazanah Nasional) telah membuktikan bahwa pengelolaan aset komersial melalui dana kekayaan publik (PWFs) dapat menghasilkan pendapatan besar.

Temasek, misalnya, mengelola portofolio senilai $315 miliar pada 2024, menyumbang sekitar 20 persen belanja pemerintah Singapura melalui hasil investasi. PWFs dirancang untuk memaksimalkan keuntungan bagi pembayar pajak, terlepas dari campur tangan politik.

Selama enam dekade terakhir, Singapura telah membangun salah satu portofolio kekayaan negara terbesar di dunia, dengan aset yang terbagi di antara Temasek dan dua dana kekayaan negara (SWF) yaitu GIC dan Otoritas Moneter Singapura.

Secara kolektif, aset dana-dana ini diperkirakan bernilai tiga hingga empat kali lipat PDB tahunan Singapura melebihi SWF negara-negara kaya hidrokarbon seperti Norwegia dan Arab Saudi.

Tanpa sumber daya alam, bahkan tanpa kemampuan menghasilkan listrik saat merdeka pada 1965, kesuksesan Singapura digerakkan oleh kerja keras, inovasi, dan disiplin finansial. Saat ini, sekitar seperlima belanja pemerintahnya dibiayai dari hasil investasi dana kekayaan negara, yang menyumbang aliran pendapatan rata-rata setara 3,4% PDB per tahun dalam lima tahun terakhir hampir menyamai pendapatan pajak korporasi Singapura.

Secara hukum, separuh dari laba investasi bersih dana tersebut wajib diinvestasikan kembali untuk menjamin stabilitas finansial jangka panjang.

Indonesia memiliki aset serupa yang belum tergarap. Kementerian BUMN mencatat nilai aset BUMN mencapai Rp11.000 triliun (2023), tetapi kontribusinya ke APBN hanya Rp60 triliun/tahun. Bandingkan dengan Malaysia, di mana Khazanah Nasional, PWFs milik pemerintah menyumbang 5% dari PDB melalui pengelolaan aset strategis.

Jika Indonesia membentuk PWFs nasional untuk mengonsolidasi aset BUMN, properti pemerintah, dan lahan militer yang idle, defisit Rp31,2 triliun bisa tertutup hanya dari peningkatan efisiensi 3-5 persen saja.

Indonesia perlu membentuk PWFs di tingkat nasional dan daerah untuk mengelola aset seperti properti pemerintah, BUMN, dan infrastruktur dan juga menjamin independensi PWFs melalui dewan direksi profesional dan target komersial yang jelas.

Namun, pembentukan PWFs harus disertai reformasi hukum dan transparansi. Kasus Birmingham, Inggris, yang bangkrut pada 2023 karena salah urus aset, menjadi peringatan: penjualan aset publik secara terburu-buru hanya akan merugikan negara.

Alih-alih menjual aset, pemerintah harus memaksimalkan pendapatan operasionalnya. Misalnya, Gedung DPR Senayan atau kompleks militer di daerah strategis bisa disewakan untuk kegiatan komersial dengan skema public-private partnership.

Kita ketahui bahwa kebijakan fiskal Trump ditandai oleh pemotongan pajak korporasi (Tax Cuts and Jobs Act 2017) dan pengurangan belanja sosial, yang meningkatkan defisit AS hingga 3.1 triliun dolar AS padaDana kekayaan publik 2020.

Pendekatan ini seperti dikritik dalam beberapa artikel dianggap "ceroboh" karena mengorbankan layanan publik dan mengabaikan pengelolaan aset.

Dampak bagi Indonesia adalah ketidakpastian perdagangan. Kebijakan proteksionis Trump (misalnya perang dagang dengan China) mengganggu ekspor Indonesia, terutama komoditas seperti minyak sawit. Penurunan investasi AS. Iklim kebijakan yang tidak stabil mengurangi minat investor AS di pasar emerging seperti Indonesia.

Kita bandingkan dengan administrasi Biden ysng lebih fokus pada pemulihan ekonomi melalui paket infrastruktur 1.2 triliun dolar AS (Infrastructure Investment and Jobs Act) dan insentif hijau (Inflation Reduction Act). Kebijakan ini menciptakan stabilitas global dan peluang bagi Indonesia berupa peningkatan kerja sama hijau. Stabilitas kebijakan AS di bawah Biden mendorong aliran investasi asing (FDI) ke Indonesia. Program transisi energi Biden membuka peluang pendanaan untuk proyek EBT di Indonesia.

Permintaan AS untuk produk seperti baterai kendaraan listrik dan komponen elektronik meningkat. Namun, tekanan standar lingkungan dari kebijakan hijau Biden juga memaksa Indonesia mempercepat reformasi subsidi energi.

Pada 2024, alokasi subsidi BBM Indonesia mencapai Rp350 triliun, dana yang bisa dialihkan ke sektor produktif jika defisit ingin dikendalikan.


Implikasi Kebijakan

Pertama, reformasi akuntansi dan transparansi. Kementerian Keuangan perlu memperkuat kapasitas SDM dan sistem IT untuk transisi ini. Pelatihan akuntansi sektor publik harus menjadi prioritas. Portal data harus terbuka dengan membuat platform digital yang memetakan nilai aset pemerintah secara real-time, mirip dengan sistem land registry di Singapura.

Kedua, optimalisasi aset melalui PWFs untuk tingkat nasional dapat dilakukan dengan membentuk badan mirip Temasek untuk mengelola BUMN strategis (misalnya Pertamina, PLN) dengan prinsip komersial. Ini sudah dilakukan dengan dibentuknya badan pengelola investasi Danantara namun untuk tingkat daerah, kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya dapat membentuk PWFs untuk mengembangkan properti pemerintah menjadi pusat bisnis atau perumahan terjangkau.

Ketiga, mitigasi risiko defisit dengan menghindari penjualan aset likuid. Alih-alih menjual aset untuk menutup defisit (seperti kasus TfL di London), pemerintah harus meningkatkan pendapatan operasional aset tersebut. Perlu dilakukan negosiasi ulang suku bunga utang luar negeri dan diversifikasi sumber pendanaan.

Keempat, sinergi dengan kebijakan global dapat dilakukan dengan memanfaatkan pendanaan iklim. Program seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai 20 miliar dolar AS bisa digunakan untuk mengurangi defisit energi. Penting juga untuk memperkuat kerja sama dengan IMF dan World Bank untuk memperoleh asistensi teknis dalam reformasi akuntansi.

Defisit Rp31,2 triliun bukanlah akhir dari cerita, melainkan panggilan untuk transformasi. Indonesia harus belajar dari kegagalan Eropa dan AS yang mengabaikan nilai aset publik, serta mencontoh kesuksesan Singapura dalam mengelola kekayaan negara. Dengan mengadopsi akrual akuntansi, membentuk PWFs, dan memanfaatkan momentum kerja sama global di era Biden, Indonesia dapat mengubah defisit menjadi peluang pertumbuhan.

Indonesia perlu membangun budget culture yang menghargai transparansi, akuntabilitas, dan inovasi. Jika tidak, kita hanya akan terus mengulangi kesalahan yang sama yaitu mengelola anggaran dengan kalkulator, tetapi mengabaikan neraca.

Langkah ini tidak hanya adil bagi generasi mendatang, tetapi juga memperkuat ketahanan ekonomi dalam menghadapi gejolak geopolitik. Kelangsungan hidup bergantung pada tindakan kini dan waktu Indonesia untuk bertindak semakin sempit.

*) Dr.Aswin Rivai,SE.,MM adalah Pemerhati Ekonomi, Dosen FEB-UPN Veteran, Jakarta