Jakarta (ANTARA) - Psikolog klinis Phoebe Ramadina membagikan kiat yang bisa dilakukan dalam membantu pertolongan pertama psikologis (PFA).
“Pertolongan pertama psikologis (PFA) dapat dilakukan oleh siapa pun dan bertujuan membantu individu merasa lebih tenang, aman, serta mampu mengambil keputusan dasar,” kata Phoebe, ketika dihubungi ANTARA dari Jakarta, Selasa.
Psikolog lulusan Universitas Indonesia itu menjelaskan langkah awal pertolongan psikologis yang bisa dilakukan dengan memastikan keamanan fisik, seperti berpindah ke tempat yang lebih aman atau memenuhi kebutuhan dasar, seperti air, makanan, tempat istirahat.
Validasi emosi, lanjut Phobe, sebagai langkah penting yang dilakukan dengan memberikan kesempatan individu bercerita tanpa memaksanya untuk membuka semua detail, dan dengarkan dengan penuh perhatian, gunakan nada suara yang menenangkan, dan hindari meremehkan perasaannya.
Kemudian, bisa membantu dalam mendorong agar fokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan, seperti membuat rencana sederhana untuk beberapa jam ke depan, serta melakukan teknik grounding atau pernapasan perlahan juga dapat membantu menurunkan ketegangan.
“Jika memungkinkan, bantu menghubungkan mereka dengan dukungan sosial terdekat, seperti keluarga, tetangga, atau relawan. Masyarakat juga dapat mengakses layanan mental health,” imbuh dia.
Phoebe juga menyampaikan sejumlah tanda berupa bentuk perubahan fisik, emosi, dan perilaku saat mengalami stres dan cemas termasuk sangat mungkin muncul di saat terjadi bencana.
Menurut dia, tanda secara fisik mengalami stres seseorang mungkin mengalami tegang otot, sakit kepala, sulit tidur, jantung berdebar, atau mudah lelah.
Sementara itu, secara emosional seseorang mungkin merasa gelisah, takut berlebihan, mudah tersinggung, atau merasa kewalahan dan perilaku sehari-hari juga dapat berubah, misalnya menjadi lebih menarik diri, sulit berkonsentrasi, sulit mengambil keputusan atau mengecek berita dan informasi tentang bencana yang terjadi secara terus-menerus
“Jika tanda-tanda ini bertahan lama, semakin mengganggu aktivitas, atau memicu perilaku berisiko, ini merupakan sinyal bahwa individu membutuhkan bantuan lebih lanjut,” tutur Psikolog klinis di Personal Growth itu.
Phobe menambahkan bahwa ketika seseorang terpapar secara berlebih terhadap berita bencana dapat memicu disaster-related stress. Oleh karena itu, penting untuk memilah sumber informasi dengan bijak.
Apabila tubuh mulai menunjukkan gejala cemas, napas cepat, dada sesak, pikiran berputar, lanjut Phoebe, bisa dengan melakukan teknik regulasi emosi seperti pernapasan diafragma, grounding 5-4-3-2-1, atau istirahat sejenak dari layar.
Dalam hal ini juga perlu dilakukan membatasi waktu melihat berita, misalnya hanya dua hingga tiga kali sehari pada jam tertentu dan memilih sumber informasi resmi agar tidak terjebak pada konten spekulatif atau dramatis.
Kemudian bisa membangun rutinitas yang menyeimbangkan paparan berita dengan aktivitas yang menenangkan, seperti berjalan kaki, journaling, atau berbicara dengan orang yang dapat memberikan rasa aman.
“Ingatkan diri bahwa menjaga kesehatan mental bukan berarti mengabaikan situasi, tetapi memastikan kita tetap mampu berpikir jernih dan mengambil keputusan yang tepat,” jelas Phoebe.
