Pemerintah Mesti Atasi Konflik Pertanahan Pebisnis dan Masyarakat Adat

id Konflik Pertanahan Pebisnis dan Masyarakat Adat

Jakarta (Antara Kalteng) - Pemerintah mesti dapat mengatasi konflik pertanahan yang terjadi antara pebisnis dan masyarakat adat di berbagai daerah guna meningkatkan tata kelola perlindungan hutan dan hak-hak masyarakat adat di Tanah Air.

"Tercatat 384 konflik tenurial yang melibatkan sektor bisnis berbasis lahan dan Negara berhadapan dengan komunitas lokal dan adat," kata Direktur Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat (Huma) Dahniar Andriani dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

Menurut Dahniar, konflik itu terjadi karena buruknya kebijakan perizinan yang tumpang tindih dan berpotensi melanggar hak-hak masyarakat adat dan lokal.

Untuk itu, ujar dia, perpanjangan moratorium dalam rangka perlindungan hutan semestinya diringi upaya perubahan kebijakan terutama kebijakan perizinan.

"Dalam hal ini, Sekretariat Kabinet semestinya berperan aktif dalam upaya perubahan kebijakan tersebut yang lintas sektor," katanya.

Ia menilai bahwa pemerintah masih belum mampu untuk menyelesaikan permasalahan mendasar dari tata kelola hutan sebagaimana dimandatkan oleh kebijakan moratorium.  
   
Sementara itu, Deputi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mina Susana Setra mengatakan, selama ini kebijakan moratorium belum bisa menghentikan ekspansi perusahaan ke dalam wilayah adat.

Keterlanjuran izin dijadikan alasan untuk merebut hutan adat, padahal menurut dia, seharusnya dilakukan kaji ulang secara utuh terhadap semua izin yang pernah diterbitkan, karena hal tersebut dinilai adalah bagian tidak terpisahkan dari sebuah kebijakan moratorium yang hakiki.

Sebelumnya, AMAN juga menginginkan pembahasan atas Rancangan Undang-Undang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat yang sedang digodok di DPR RI  dapat dipercepat demi pemberdayaan masyarakat adat di Tanah Air.

"Alasan untuk mempercepat pembahasan RUU ini adalah sudah terlalu banyak persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat," kata Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan.

Menurut dia, negara tidak cukup hanya mengakui keberadaan masyarakat adat sehingga pada saat ini dinilai sangat diperlukan adanya upaya lebih dalam pemulihan hak masyarakat adat.

Ia juga menyebutkan bahwa perjuangan yang dilakukan AMAN beserta masyarakat adat terhadap RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat tersebut sudah sangat lama.

Sekjen AMAN menambahkan bahwa perjuangan RUU ini sudah 10 tahun dan sudah selama itu pula AMAN mengadakan pertemuan bersama Badan Legislatif DPR.

AMAN juga sempat berdialog dengan beberapa pimpinan fraksi meminta agar RUU tersebut dapat dimasukkan 2015 antara lain karena persoalan di lapangan yang dihadapi masyarakat adat semakin kompleks seperti tanah masyarakat adat yang sudah banyak diklaim oleh perusahaan.