Kuala Kapuas (Antara Kalteng) - Peringatan Bupati Kapuas agar PT IFP di wilayah Humbang Raya Kecamatan Mantangai untuk menghentikan aktivitas HTI-nya beberapa waktu lalu, ternyata dianggap angin lalu oleh pihak perusahaan, pasalnya hingga kini aktivitas IFP terus berjalan.
Belum lama ini justru terjadi gesekan horisontal di masyarakat antara warga yang pro perusahaan dengan warga yang menolak keberadaan perusahaan itu. Warga menolak karena keberadaan IFP dianggap hanya merugikan dan berdampak hilangnya mata pencaharian warga dengan penebangan hutan primer secara besar besaran oleh perusahaan.
Menindaklanjuti persoalan tersebut Bupati Kapuas Ir Ben Brahim S Bahat bersama Kajari Kapuas, Kasdim 1011/Klk, Kabag Ops Polres Kapuas, sejumlah SOPD, camat setempat, kepala desa dan tokoh adat kembali mendatangi tempat tersebut dan bertemu dengan masyarakat pada Rabu (23/08/17).
"Kenapa saya datang lagi, karena ada laporan camat bahwa di sini suasana memanas dan terjadi gesekan di masyarakat. Saya tidak mau terjadi apa apa, masyarakat terbelah karena kepentingan pihak tertentu," kata Ben.
Menurut Ben, ada masyarakat yang lahannya diberdayakan perusahaan, namun banyak juga masyarakat yang menolaknya. "Saya tidak mau terjadi perselisihan antar saudara, intinya jangan sampai ada anarkis di wilayah ini. Kunjungan saya hari ini agar ke depan kita tidak disalahkan," terangnya.
Dikatakannya lagi, dampak penebangan hutan primer yang dilakukan oleh PT IFP sudah sangat membahayakan bagi kelangsungan hidup warga masyarakat setempat dan satwa terlindungi disana.
"Seratus ribu hektare lebih hutan yang ada jika semua dibabat habis, maka akan tinggal kenangan. Tak ada penyangga, sehingga rawan memunculkan bencana," ucapnya.
Surat permohonan pencabutan izin perusahaan itu, lanjut Ben, sudah disampaikan ke Gubernur Kalimantan Tengah dan sudah diproses. "Kesimpulannya Gubernur menyatakan siap dan sepakat untuk membuat surat permohonan pencabutan dan penghentian aktivitas perusahaan yang bersangkutan," bebernya.
Sementara itu Yan Marto Camat Mantangai menambahkan bahwa permasalahan utama adalah mengenai ruang hidup, dimana masyarakat banyak masih memungut hasil hutan.
"Dulu saat belum operasional, masyarakat tidak ada gangguan, kini jadi ada gangguan. Pola pengelolaan belum sesuai dengan tanggung jawab, misal terkait kompensasi atau ganti rugi yang tidak ada, dimana pihak perusahaan merasa tak perlu melakukan karena itu hutan produksi," ungkapnya.