Peraturan mobil listrik segera hadir di penghujung Juli
Jakarta (ANTARA) - Belum lama ini, di sela-sela seminar otomotif pada ajang Gaikindo Indonesia Internasional Auto Show (GIIAS), tiba-tiba Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengunjungi booth Toyota dan menjajal duduk di kursi kemudi sedan Toyota Prius Plug in Hybrid (PHE) seri Gazooo Racing yang sporty.
Sontak seluruh kamera wartawan yang mengikuti Sri Mulyani mengarah pada mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu yang ternyata pernah memilki Toyota Prius saat enam tahun tinggal di Amerika Serikat.
Setelah bertanya-tanya tentang mobil itu dan melihat interior di balik kemudi, Sri Mulyani bilang "Saya ingin (pakai) mobil ini, kalau sudah pensiun jadi menteri," katanya.
Entah maksudnya apa, adakah isyarat di dalam salah satu perempuan yang menjadi menteri pada Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)?
Selama ini salah satu penyebab tertundanya penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Pemerintah (Pp) terkait mobil listrik atau mobil rendah emisi itu, ditengarai karena dari beberapa kementerian terkait pengembangan mobil itu, kementerian keuangan yang masih "berat" paraf.
Namun "keberatan" itu nampaknya sudah berakhir, setidaknya ketika awal pekan ini (23/7) Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan di lingkungan Istana Kepresidenan mengatakan bahwa Perpres Mobil Listrik akan segera ditandatangani Presiden Jokowi, apalagi Menkeu Sri Mulyani, katanya, juga sudah paraf.
"Dari kami sudah selesai paraf, Bu Sri Mulyani juga sudah. Kemarin saya teleponan dengan bu Sri Mulyani (dia) mengatakan 'saya sudah paraf Pak Luhut," kata Luhut mengutip Sri Mulyani.
Sri Mulyani pun kemudian usai bertemu dengan Presiden Jokowi menegaskan bahwa kemungkinan peraturan tentang mobil listrik itu akan keluar di penghujung Juli 2019.
"Satu tentang peraturan presiden mengenai ekosistem industri listriknya. Peraturan pemerintahnya berbagai macam 'treatment' atau perlakuan insentif, seperti PPnBM kemudian jenis kendaraan mendapatkan insentif berdasarkan emisi ada di sana," kata Sri Mulyani di Istana Merdeka, Jakarta (25/7).
Sri Mulyani pun pada kesempatan itu menyampaikan target dan tujuan peraturan mobil listrik yang akan dikeluarkan pemerintah.
"Diharapkan bisa memposisikan Indonesia sebagai pusat, tidak hanya memproduksi untuk dalam negeri, tetapi juga sebagai center untuk produksi ekspor," ujarnya.
Sri Mulyani mengatakan tren penggunaan kendaraan berbasis tenaga listrik sedang meningkat di sejumlah negara di dunia, terutama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa.
Oleh karena itulah Indonesia, tidak hanya ingin ikut menjadi pasar tapi juga menjadi pemasok mobil listrik dunia, termasuk komponen utamanya yaitu lain baterai sehingga kini ada investasi pabrik bahan baku baterai di Morowali.
Publik pun kemudian menunggu dan memperkirakan dari sinyal-sinyal pernyataan beberapa menteri itu, Presiden Jokowi bakal mengumumkan peraturan pemerintah itu pada saat penutupan GIIAS 2019, di mana para pelaku, konsumen, dan pihak terkait otomotif lainnya ada di situ.
Sayangnya hingga GIIAS berakhir, Presiden Jokowi yang masih sibuk dengan rekonsiliasi politik tak kunjung hadir di GIIAS atau mengumumkan kebijakan mobil listrik yang ditunggu investor dan publik.
Ada apa?
Pertanyaan publik setidaknya sedikit terjawab ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan di sela-sela kampanye Gerakan Sejuta Surya Atap di Monumen Nasional, Jakarta, Minggu (28/7) mengungkap kendala penerbitan peraturan pemerintah itu.
"Peraturan Presiden ditunggu hampir 1,5 tahun, debat antar menteri enggak selesai-selesai. Ada yang pro mobil listrik, ada yang melawan," kata Ignasius Jonan.
Proses perdebatan panjang antar menteri itu disinyalir terkait pembahasan komponen lokal yang kelak akan membantu produsen dalam memproduksi kendaraan listrik nasional.
"Kalau menunggu komponen lokal dibangun 100 persen, saya kira (orang-orang) yang bikin peraturan sudah pensiun juga enggak jadi," sindir Jonan.
Entahlah apa yang terjadi sesungguhnya terkait belum terbitnya peraturan pemerintah soal mobil listrik tersebut.
Yang pasti kita terus berpacu dengan waktu, mengingat pemerintah sendiri melalui Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto telah mencanangkan bahwa pada 2025 sebanyak 20 persen produksi kendaraan di Indonesia adalah mobil berbasis tenaga listrik, baik hibrid, plug in hybrid, maupun mobil baterai listrik (BEV).
Airlangga bahkan pada pembukaan GIIAS 2019 lalu (18/7) menyatakan ada industri otomotif besar dan industri komponen yang siap mendukung pengembangan mobil listrik, dengan "iming-iming" investasi hingga Rp50 triliun.
Pemain otomotif besar yang pernah disebut Airlangga adalah Toyota Motor Corp dan Hyundai Motors yang sudah memiliki basis produksi mobil di Indonesia.
Bahkan Toyota menjadikan Indonesia tidak hanya menjadi basis produksi untuk pasar dalam negeri, tapi juga ekspor dengan kontribusi sekitar 70 persen dari total kendaraan utuh (CBU) nasional.
Airlangga nampak menaruh harapan besar pada pemain otomotif dunia itu untuk mengambil porsi dukungan tinggi pada pengembangan kendaraan berbasis listrik di Tanah Air.
Apalagi seiring dengan ditandatanganinya Kemitraan Ekonomi Komprehensif dengan Australia, mobil listrik dari Indonesia dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) 40 persen berpeluang bisa diekspor ke "Negeri Kangguru" itu.
Kini publik, khususnya investor dan pemain otomotif maupun konsumen yang mulai peduli mobil rendah emisi, menunggu kepastian kebijakan pemerintah itu.
Jangan sampai niat yang sudah kuat kehilangan momentum, loyo, atau kabur, meskipun bocoran halus draft peraturan pemerintah dan peraturan presiden sudah menyebar.
Akhir Juli tinggal beberapa hari lagi.
Sontak seluruh kamera wartawan yang mengikuti Sri Mulyani mengarah pada mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu yang ternyata pernah memilki Toyota Prius saat enam tahun tinggal di Amerika Serikat.
Setelah bertanya-tanya tentang mobil itu dan melihat interior di balik kemudi, Sri Mulyani bilang "Saya ingin (pakai) mobil ini, kalau sudah pensiun jadi menteri," katanya.
Entah maksudnya apa, adakah isyarat di dalam salah satu perempuan yang menjadi menteri pada Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)?
Selama ini salah satu penyebab tertundanya penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Pemerintah (Pp) terkait mobil listrik atau mobil rendah emisi itu, ditengarai karena dari beberapa kementerian terkait pengembangan mobil itu, kementerian keuangan yang masih "berat" paraf.
Namun "keberatan" itu nampaknya sudah berakhir, setidaknya ketika awal pekan ini (23/7) Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan di lingkungan Istana Kepresidenan mengatakan bahwa Perpres Mobil Listrik akan segera ditandatangani Presiden Jokowi, apalagi Menkeu Sri Mulyani, katanya, juga sudah paraf.
"Dari kami sudah selesai paraf, Bu Sri Mulyani juga sudah. Kemarin saya teleponan dengan bu Sri Mulyani (dia) mengatakan 'saya sudah paraf Pak Luhut," kata Luhut mengutip Sri Mulyani.
Sri Mulyani pun kemudian usai bertemu dengan Presiden Jokowi menegaskan bahwa kemungkinan peraturan tentang mobil listrik itu akan keluar di penghujung Juli 2019.
"Satu tentang peraturan presiden mengenai ekosistem industri listriknya. Peraturan pemerintahnya berbagai macam 'treatment' atau perlakuan insentif, seperti PPnBM kemudian jenis kendaraan mendapatkan insentif berdasarkan emisi ada di sana," kata Sri Mulyani di Istana Merdeka, Jakarta (25/7).
Sri Mulyani pun pada kesempatan itu menyampaikan target dan tujuan peraturan mobil listrik yang akan dikeluarkan pemerintah.
"Diharapkan bisa memposisikan Indonesia sebagai pusat, tidak hanya memproduksi untuk dalam negeri, tetapi juga sebagai center untuk produksi ekspor," ujarnya.
Sri Mulyani mengatakan tren penggunaan kendaraan berbasis tenaga listrik sedang meningkat di sejumlah negara di dunia, terutama di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa.
Oleh karena itulah Indonesia, tidak hanya ingin ikut menjadi pasar tapi juga menjadi pemasok mobil listrik dunia, termasuk komponen utamanya yaitu lain baterai sehingga kini ada investasi pabrik bahan baku baterai di Morowali.
Publik pun kemudian menunggu dan memperkirakan dari sinyal-sinyal pernyataan beberapa menteri itu, Presiden Jokowi bakal mengumumkan peraturan pemerintah itu pada saat penutupan GIIAS 2019, di mana para pelaku, konsumen, dan pihak terkait otomotif lainnya ada di situ.
Sayangnya hingga GIIAS berakhir, Presiden Jokowi yang masih sibuk dengan rekonsiliasi politik tak kunjung hadir di GIIAS atau mengumumkan kebijakan mobil listrik yang ditunggu investor dan publik.
Ada apa?
Pertanyaan publik setidaknya sedikit terjawab ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan di sela-sela kampanye Gerakan Sejuta Surya Atap di Monumen Nasional, Jakarta, Minggu (28/7) mengungkap kendala penerbitan peraturan pemerintah itu.
"Peraturan Presiden ditunggu hampir 1,5 tahun, debat antar menteri enggak selesai-selesai. Ada yang pro mobil listrik, ada yang melawan," kata Ignasius Jonan.
Proses perdebatan panjang antar menteri itu disinyalir terkait pembahasan komponen lokal yang kelak akan membantu produsen dalam memproduksi kendaraan listrik nasional.
"Kalau menunggu komponen lokal dibangun 100 persen, saya kira (orang-orang) yang bikin peraturan sudah pensiun juga enggak jadi," sindir Jonan.
Entahlah apa yang terjadi sesungguhnya terkait belum terbitnya peraturan pemerintah soal mobil listrik tersebut.
Yang pasti kita terus berpacu dengan waktu, mengingat pemerintah sendiri melalui Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto telah mencanangkan bahwa pada 2025 sebanyak 20 persen produksi kendaraan di Indonesia adalah mobil berbasis tenaga listrik, baik hibrid, plug in hybrid, maupun mobil baterai listrik (BEV).
Airlangga bahkan pada pembukaan GIIAS 2019 lalu (18/7) menyatakan ada industri otomotif besar dan industri komponen yang siap mendukung pengembangan mobil listrik, dengan "iming-iming" investasi hingga Rp50 triliun.
Pemain otomotif besar yang pernah disebut Airlangga adalah Toyota Motor Corp dan Hyundai Motors yang sudah memiliki basis produksi mobil di Indonesia.
Bahkan Toyota menjadikan Indonesia tidak hanya menjadi basis produksi untuk pasar dalam negeri, tapi juga ekspor dengan kontribusi sekitar 70 persen dari total kendaraan utuh (CBU) nasional.
Airlangga nampak menaruh harapan besar pada pemain otomotif dunia itu untuk mengambil porsi dukungan tinggi pada pengembangan kendaraan berbasis listrik di Tanah Air.
Apalagi seiring dengan ditandatanganinya Kemitraan Ekonomi Komprehensif dengan Australia, mobil listrik dari Indonesia dengan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) 40 persen berpeluang bisa diekspor ke "Negeri Kangguru" itu.
Kini publik, khususnya investor dan pemain otomotif maupun konsumen yang mulai peduli mobil rendah emisi, menunggu kepastian kebijakan pemerintah itu.
Jangan sampai niat yang sudah kuat kehilangan momentum, loyo, atau kabur, meskipun bocoran halus draft peraturan pemerintah dan peraturan presiden sudah menyebar.
Akhir Juli tinggal beberapa hari lagi.