Jokowi peringatkan menteri agar hati-hati dalam memberi informasi
Jakarta (ANTARA) - Presiden Joko Widodo memperingatkan para menteri kabinet Indonesia Maju untuk berhati-hati dalam memberi informasi khususnya terkait pernyataan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengenai keberadaan politikus PDI Perjuangan Harun Masiku.
"Saya hanya ingin, saya hanya pesan, titip kepada semua menteri, semua pejabat kalau membuat statement itu hati-hati, terutama yang berkaitan dengan angka-angka, terutama yang berkaitan dengan data, terutama yang berkaitan dengan informasi, hati-hati," kata Presiden Jokowi di Istana Negara Jakarta, Jumat.
Presiden Jokowi pun meminta para bawahannya agar tidak menerima informasi tanpa mengecek ulang lebih dulu.
"Hati-hati, jangan sampai informasi dari bawah langsung diterima tanpa cross check terlebih dulu, yang jelas untuk semuanya harus hati-hati dalam membuat pernyataan. Apalagi yang berkaitan dengan hukum, hati-hati," ucap Presiden menambahkan.
Sebelumnya Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi melaporkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan obstruction of justice atau merintangi penyidikan terkait kasus yang menjerat kader PDI Perjuangan Harun Masiku.
Hal itu terkait pernyataan Yasonna Laoly yang menyatakan Harun berada di luar negeri sejak 6 Januari 2020 dan belum kembali ke Tanah Air.
"Pokoknya belum di Indonesia, ke Singapura. Jadi tanggal 8 kan OTT, tanggal 6 dia sudah di luar. Apa tujuannya di luar, kita tidak tahu, barangkali dia juga tidak tahu akan di-OTT. Dia memang sudah keluar dari republik ini," kata Yasonna pada 6 Januari 2020.
Baru pada 21 Januari 2020, berdasarkan pernyataan istri Harun, Hildawati Jamrin dan rekaman kamera pengawas di Bandara Soekarno-Hatta menunjukkan Harus telah berada di Jakarta pada Selasa (7/1).
Selanjutnya Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Ronny F Sompie membenarkan bahwa Harun Masiku telah berada di Jakarta sejak 7 Januari 2020 menggunakan pesawat Batik Air.
"Sudah masuk rupanya, setelah kita dalami, sistem itu sudah masuk, memang ada delay time karena di (Terminal) 2F itu perangkat IT kita baru pasang di sana, jadi ada delay time setelah kita dalami dan kita tahu sudah masuk tanggal 7 Januari 2020 yang lalu," ungkap Ronny pada 22 Januari 2020.
KPK pun sejak Senin (13/1) juga telah mengirimkan surat permintaan pencegahan ke luar negeri untuk tersangka Harun kepada imigrasi dan sudah ditindaklanjuti.
Di samping itu, juga dilanjutkan pula dengan permintaan bantuan penangkapan kepada Polri dan ditindaklanjuti dengan permintaan untuk memasukkan Harun dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Pada saat OTT, tim KPK mengejar Harun tapi ia menghilang di kawasan kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta Selatan. KPK hanya menangkap Wahyu dan tujuh orang lainnya.
KPK pada hari Kamis (9/1) lalu mengumumkan empat tersangka terkait dengan tindak pidana korupsi suap penetapan calon terpilih anggota DPR RI periode 20192024.
Sebagai penerima, yakni anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan (WSE) dan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu atau orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina (ATF).
Sebagai pemberi Harun Masiku dan Saeful (SAE) dari unsur swasta atau staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Diketahui, Wahyu meminta dana operasional Rp900 juta untuk membantu Harun menjadi anggota DPR RI dari Dapil Sumatera Selatan I menggantikan calon terpilih anggota DPR PDIP asal Dapil Sumatera Selatan I Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Dari jumlah tersebut, Wahyu menerima Rp600 juta.
"Saya hanya ingin, saya hanya pesan, titip kepada semua menteri, semua pejabat kalau membuat statement itu hati-hati, terutama yang berkaitan dengan angka-angka, terutama yang berkaitan dengan data, terutama yang berkaitan dengan informasi, hati-hati," kata Presiden Jokowi di Istana Negara Jakarta, Jumat.
Presiden Jokowi pun meminta para bawahannya agar tidak menerima informasi tanpa mengecek ulang lebih dulu.
"Hati-hati, jangan sampai informasi dari bawah langsung diterima tanpa cross check terlebih dulu, yang jelas untuk semuanya harus hati-hati dalam membuat pernyataan. Apalagi yang berkaitan dengan hukum, hati-hati," ucap Presiden menambahkan.
Sebelumnya Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi melaporkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan obstruction of justice atau merintangi penyidikan terkait kasus yang menjerat kader PDI Perjuangan Harun Masiku.
Hal itu terkait pernyataan Yasonna Laoly yang menyatakan Harun berada di luar negeri sejak 6 Januari 2020 dan belum kembali ke Tanah Air.
"Pokoknya belum di Indonesia, ke Singapura. Jadi tanggal 8 kan OTT, tanggal 6 dia sudah di luar. Apa tujuannya di luar, kita tidak tahu, barangkali dia juga tidak tahu akan di-OTT. Dia memang sudah keluar dari republik ini," kata Yasonna pada 6 Januari 2020.
Baru pada 21 Januari 2020, berdasarkan pernyataan istri Harun, Hildawati Jamrin dan rekaman kamera pengawas di Bandara Soekarno-Hatta menunjukkan Harus telah berada di Jakarta pada Selasa (7/1).
Selanjutnya Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Ronny F Sompie membenarkan bahwa Harun Masiku telah berada di Jakarta sejak 7 Januari 2020 menggunakan pesawat Batik Air.
"Sudah masuk rupanya, setelah kita dalami, sistem itu sudah masuk, memang ada delay time karena di (Terminal) 2F itu perangkat IT kita baru pasang di sana, jadi ada delay time setelah kita dalami dan kita tahu sudah masuk tanggal 7 Januari 2020 yang lalu," ungkap Ronny pada 22 Januari 2020.
KPK pun sejak Senin (13/1) juga telah mengirimkan surat permintaan pencegahan ke luar negeri untuk tersangka Harun kepada imigrasi dan sudah ditindaklanjuti.
Di samping itu, juga dilanjutkan pula dengan permintaan bantuan penangkapan kepada Polri dan ditindaklanjuti dengan permintaan untuk memasukkan Harun dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Pada saat OTT, tim KPK mengejar Harun tapi ia menghilang di kawasan kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta Selatan. KPK hanya menangkap Wahyu dan tujuh orang lainnya.
KPK pada hari Kamis (9/1) lalu mengumumkan empat tersangka terkait dengan tindak pidana korupsi suap penetapan calon terpilih anggota DPR RI periode 20192024.
Sebagai penerima, yakni anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan (WSE) dan mantan anggota Badan Pengawas Pemilu atau orang kepercayaan Wahyu, Agustiani Tio Fridelina (ATF).
Sebagai pemberi Harun Masiku dan Saeful (SAE) dari unsur swasta atau staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Diketahui, Wahyu meminta dana operasional Rp900 juta untuk membantu Harun menjadi anggota DPR RI dari Dapil Sumatera Selatan I menggantikan calon terpilih anggota DPR PDIP asal Dapil Sumatera Selatan I Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. Dari jumlah tersebut, Wahyu menerima Rp600 juta.