Opini - 'Benarkah Tidak Ada Tanah Adat Di Kinipan?'

id Palangka Raya,Laman Kinipan,Lamandau,Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan

Opini - 'Benarkah Tidak Ada Tanah Adat Di Kinipan?'

Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Tomy Alfarizy (tengah).

Palangka Raya (ANTARA) - Secara Konstitusional dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indenesia Tahun 1945 pasal 18B (2), Indonesia sebagai sebuah Negara dengan konsisten dan berhikmat untuk senantiasa mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat.

Dengan syarat masyarakat hukum adat yang dimaksud adalah benar-benar ada dan hidup berdasarkan adat dan hak-haknya seperti hak ulayat, bukan dipaksa-paksa untuk ada serta tidak pula di hidup-hidupkan.

Menyingung tentang hak ulayat sebagai salah satu hak yang ditekankan dalam Pasal 18B (2) UUD NRI 1945, perlu dibedakan antara tanah ulayat dan hak ulayat. Tanah ulayat merupakan tanah bersama para warga Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan, sedangkan hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu Masyarakat Hukum Adat, yang berhubungan dengan tanah yang teletak dalam lingkungan wilayahnya.

Inilah menjadi salah satu corak yang dimuat di dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), jika dilihat dari pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui dengan catatan “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”, kata “masih ada” dalam pasal ini memiliki konsekuensi terhadap peralihan hak dari status tanah ulayat tersebut.

Konsekuensi tersebut adalah tanah ulayat tidak dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah ulayat tersebut menurut kenyataannya masih ada, hal ini dibuktikan dengan Masyarakat Hukum Adat bersangkutan atau Kepala Adat bersangkutan.

Namun sebaliknya, tanah ulayat dapat dialihkan menjadi tanah hak milik apabila tanah tersebut menurut kenyataannya tidak ada atau statusnya berubah menjadi bekas tanah ulayat dan dalam UUPA tanah bekas ulayat secara otomatis dikuasai oleh Negara, sehingga dalam praktenya sering disebut dengan tanah Negara.

Memang kita harus mengakui bahwa Negara melalui corong eksekutif maupun legislatif belum mampu secara serius memberikan pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat di Indonesia, hal ini bisa dilihat dari perjalanan panjang yang belum menemukan ujung dari Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, RUU yang telah lama dinanti oleh masyarakat dan organisasi pegiat Masyarakat Adat sejak tahun 2009 hingga juli 2020 belum juga ada kemajuan.

Pada tahun 2012 melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012, Pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang memutuskan untuk lebih melindungi keberadaan Masyarakat Hukum Adat khususnya yang berada dalam kawasan Hutan Adat.

Akan tetapi, Putusan MK tersebut nyatanya belum mampu mengatasi permasalahan hukum atas pelanggaran hak-hak Masyarakat Hukum Adat, akibatnya tidak ada jaminan apapun terhadap hak Masyarakat Hukum Adat sebagai bagian dai Warga Negara Indonesia.

Inilah pula yang terjadi di Kalimantan Tengah saat ini, konflik agraria antara Masyarakat Hukum Adat dengan Korporasi bak seperti film kartun Tom & Jery, setiap saat bersinggungan, akibatnya banyak Masyarakat Hukum Adat yang di Kriminalisasi hanya karena hasrat ingin mempertahankan wilayah adat leluhur yang telah diyakini sejak lama, contoh konkrit sebagaimana yang terjadi saat ini di Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, konflik antara Masyarat Hukum Adat Laman Kinipan dengan PT. Sawit Mandiri Lestari (SML).

Konflik yang terjadi bukan barang tanpa alasan, penolakan Masyarakat Hukum Adat Laman kinipan terhadap kehadiran PT. SML diwilayahnya didasarkan pada kesadaran masyarakat akan dampak buruk dari keberadaan perusahaan terhadap keberlangsungan hutan rimba di wilayah adat mereka, bagi Masyarat Hukum Adat Laman Kinipan, hutan merupakan sumber kehidupan satu-satunya, disana mereka berburu, mendapakat kayu bakar, terdapat tanaman obat-obatan, rotan, pohon ulin dan tidak terkecuali buah-buahan yang semuanya lebih mahal dari sekedar ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak perusahaan.


Lalu benarkah di Kalimantan Tengah khususnya di wilayah Laman Kinipan tidak
terdapat hutan adat?

Sebelum membahas lebih jauh tentang Hutan Adat, perlu diketahui bersama apa yang dimaksud dengan Masyarakat Hukum Adat itu sendiri, Taqwaddin dalam Desertasinya dengan judul 'Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat' (Mukim) di Provinsi Aceh (2010) mengatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, yang bertingkah laku sebagai kesatuan, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, memiliki hukum adat masing-masing dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang berwujud ataupun tidak berwujud serta menguasai sumber daya alam dalam jangkauannya.

Wanaha Lingkungan Hidup Kalimantan Tengah (2018) menyebutkan bahwa di Desa Kinipan telah secara turun temurun tinggal Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan. Masyarakat

yang terdiri dari 239 keluarga atau sekitar 938 jiwa ini menggantungkan hidup dari hutan. Dari luasan wilayah mencapai 16.169,942 hektar, 30% nya menjadi lahan garapan dan pemukiman masyarakat di bagian hilir, sedangkan 70% sisanya di bagian hulu adalah hutan rimba.

Di tahun 2016, secara resmi telah dirilis pemetaan wilayah adat Laman Kinipan yang dihadiri secara langsung oleh Asisten III Kabupaten Lamandau, anggota DPRD Kabupaten Lamandau, Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Kalteng, Badan Pemuda Adat Kalimantan Tengah.

Tidak sampai disitu, di tahun 2018 Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan juga mengajukan pencadangan Hutan Adat kepada KLHK dalam rapat koordinasi Nasional Hutan.

Ini artinya keberadaan Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan harus diakui sebagai
kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang masih hidup dan padanya melekat hak-hak
tradisional salah satunya adalah hak ulayat itu sediri sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 18B (2) UUD NRI Tahun 1945, maupun Pasal 3 UUPA.


Jalan Terjal Pengakuan Negara atas Eksistenti Masyarakat Hukum Adat dan Hak-
Haknya

Ada ungkapan bahwa Masyarakat Hukum Adat telah jauh ada sebelum Negara Kesatuan
Republik Indonesia terbentuk, bahkan embrio terbentuknya NKRI berawal dari bersatunya Masyarakat Hukum Adat yang ada di seluruh wilayah Nusantara, ungkapan ini sering kali terucap sebagai pengingat ketika Negara melalui institusinya baik Pusat dan Daerah secara 'pengecut' meniadakan keberadaan Masyarakat Hukum Adat dan hak-hak yg melekat kepadanya hanya sebab syarat administrasi yang tak kunjung dipenuhi.

Seperti contoh dalam hal pengakuan Hutan Adat, secara teknis permohonan penetapan hutan adat dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal, diantarnya adalah Peraturan Daerah untuk Hutan Adat yang berada didalam kawasan hutan, sebaliknya, untuk Hutan Adat yang berada di luar Kawasan Hutan Negara maka penetapan Hutan Adat harus memperhatikan Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah.

Selain itu terdapat peta wilayah adat sebagai lampiran dari Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah serta adanya surat pernyataan yang memuat hal-hal yang menegaskan bahwa areal yang diusulkan merupakan wilayah adat dan persetujuan ditetapkan sebagai hutan adat dengan fungsi lindung, konservasi atau prosuksi, hal ini sesuai dengan pasal 5 ayat 2 Peraturan Menteri Lingkunga

Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.21/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019 Tentang Hutan
Adat dan Hutan Hak.

Dalam konteks Kalimantan Tengah, dimasa kepemimpinan Gubernur Teras Narang lahir satu Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun 2009 tentang Adat dan Hak-Hak Adat diatas Tanah yang memberikan tugas kepada para Fungsionaris Lembaga Kedemangan untuk membantu masyarakat Dayak dalam hal menginventarisir Tanah Adat dan hak-hak adat di atas tanah diwilayahnya masing-masing, agar menjadi produktif dan memberi nilai tambah demi peningkatan kesejahteraan bersama.

Akan tetapi harus diketahui bahwa aturan ini belum mampu dijadikan landasan kuat diakuinya ruang-ruang dan pengakuan wilayah adat dalam rencana tata ruang wilayah di Kalimantan Tengah, terlebih sampai dengan hari ini belum ada Peraturan Daerah yang mengatur tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Kalimantan Tengah.

Sehingga hal ini berakibat pada kerancuan yuridis kelompok mana yang disebut
sebagai Masyarakat Hukum Adat di Kalimantan Tengah. Ditambah lagi RUU Pengakuan dan Perlindunga Masyarakat Adat sesuai dengan amanat yang termaktub dalam Pasal 18B (2) UUD NRI 1945 juga tak kunjung disahkan sebagai Undang-Undang.

Namun tepatkan jika ada yang menyebutkan bahwa Hutan Adat Masyarakat Hukum Adat
Laman Kinipan itu tidak ada? Pertanyaan ini harus kita jawab tidak hanya dilihat dalam prespektif kepastian hukum semata, akan tetapi harus kita analisa dalam prespektif keadilan dan kemanfaatan hukum itu sendiri.

Sebagai Negara yang mendeklarasikan diri sebagai Negara Hukum, ada 5 macam sumber hukum formal yang diakui di Indonesia, diantaranya adalah Undang-Undang, Kebiasaan, Yurisprudensi, Traktat dan Doktrin.

Kekosongan produk hukum berupa Undang-undang maupun Peraturan Daerah yang
mengatur tentang Pengakuan dan Perlindungan Hukum di Indonesia khususnya Kalimantan Tengah tidaklah lantas meniadakan peran Negara dalam melindungi hak-hak Masyarakat Hukum Adat, sebab kekosongan produk hukum tersebut hanya persoalan administratif semata bukan tentang keberadaan Masyarakat Hukum Adat itu sendiri, sepanjang Masyarakat Hukum Adat itu ada dan telah mendiami satu wilayah yang mereka sepakati sebagai wilayah adat secara turun-temurun, maka Negara tidak boleh berdalih bahwa tidak ada hutan atau wilayah adat yang hanya berdasarkan pada prespektif kepastian hukum semata.

Adanya konflik antara Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan dengan PT. SML adalah bukti nyata kegagalan Negara dalam menghadirkan rasa keadilan bagi Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan.

Pada tahun 2018 pemukiman dan tanah pertanian Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan digusur oleh PT. SML menggunakan alat berat untuk digantikan sebagai ladang sawit. PT.SML berdalih bahwa penggusuran dan perambahan hutan tersebut dilakukan secara sah karena telah mengantongi izin pelepasan hutan seluas 19.091 hektare dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui surat 1/I/PKH/PNBN/2015 pada 19 Maret 2015.

Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Agraria Dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertananan Nasional (ATR/BPN) Nomor 82/HGU/KEM-ATR/BPN/2017 tentang Pemberian Hak Guna Usaha Atas Nama PT Sawit Mandiri Lestari seluas 9.435,214 hektare.

Akan tetapi, terbitnya pelepasan hutan dan HGU sebagaimana disebutkan diatas cacat hukum, hal ini disebabkan tanpa persetujuan Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan sebagai pemilik wilayah adat, selain penerbitan surat yang dianggap cacat hukum, sedikitnya hingga saat ini terdapat 6 (enam) anggota Masyarakat Hukum Adat telah dikriminalisasi oleh perusahaan bersama dengan aparat Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah.

Selain persoalan ketidakadilan yang terjadi pada Masyarakat Hukum Adat Laman Kinipan, problem kemanfaatan atas hadirnya PT. SML di wilayah Kinipan pun harusnya menjadi perhatian pemerintah, betapa tidak, semenjak dilakukannya pembabatan Kawasan Hutan Adat Laman Kinipan, pada tahun 2019 dan 2020 ini secara berturut-turut telah terjadi banjir besar di wilayah Desa Kinipan, Kecamatan Batang Kawa, Kabupaten Lamandau.

Sebagai dampak ekologi akibat deforestasi dan alih fungsi kawasan hutan di
sekitar wilayah Desa Kinipan itu sendiri.


Negara Tidak Boleh Tunduk Kepada Korporasi

Tentu kita sangat mendukung Negara untuk tidak tunduk terhadap korporasi, lebih selektif memberikan izin dan senantiasa memberikan kontrol ketat terhadap korporasi-korporasi besar di Kalimantan Tengah, apalagi jika kehadiran korporasi tersebut sangat berdampak besar terhadap kerusakan lingkungan dan ekologi, sebab pemenuhan hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapakat lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah salah satu Hak Asasi Manusia yang harus dijamin oleh Negara.


Penulis: Tomy Alfarizy
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Pelita Harapan, Jakarta