Regulasi penggunaan obat untuk kondisi darurat

id BPOM,Regulasi penggunaan obat untuk kondisi darurat,Kepala BPOM Penny K Lukito

Regulasi penggunaan obat untuk kondisi darurat

Tangkapan layar Kepala BPOM RI Penny K Lukito saat menyampaikan penasaran pada konferensi pers Vaksin GX-19 N secara virtual yang dipantau dari Jakarta, Jumat (9/7/2021). (ANTARA/Andi Firdaus)

Jakarta (ANTARA) - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan regulasi terkait penggunaan obat melalui skema perluasan penggunaan khusus atau Expanded Access Programs (EAP) pada kondisi darurat.

"Persetujuan penggunaan obat melalui EAP bukan merupakan izin edar atau EUA yang ditujukan kepada industri farmasi, namun berupa persetujuan penggunaan kepada Kementerian/Lembaga penyelenggara urusan pemerintahan di bidang kesehatan, institusi kesehatan atau fasilitas pelayanan kesehatan," kata Kepala BPOM Penny K Lukito melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.

Regulasi tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Kepala BPOM Nomor HK.02.02.1.2.07.21.288 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Prinsip Penggunaan Obat Melalui Skema EAP Pada Kondisi Darurat.

Baca juga: Lima saksi diperiksa terkait kebakaran di Gedung BPOM

Dalam kondisi kedaruratan mengatasi penyakit yang mengancam jiwa, kata Penny, maka diperlukan suatu terobosan skema perluasan penggunaan khusus obat yang masih dalam tahap penelitian.

Dikatakan Penny, skema EAP telah diberlakukan oleh regulator obat di beberapa negara, seperti The United States Food and Drug Administration (US FDA) dan European Medicines Agency (EMA).

Menurut Penny EAP merupakan skema yang memungkinkan perluasan penggunaan obat yang masih dalam tahap uji klinik untuk dapat digunakan di luar uji klinik yang berjalan jika diperlukan dalam kondisi darurat.

Baca juga: Dukung pengembangan vaksin COVID-19 GX-19N

Namun penggunaan obat yang digunakan melalui skema EAP harus dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit atau puskesmas yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan, serta menggunakan dosis dan aturan pakai yang sama dengan yang digunakan dalam uji klinik, kata Penny.

"Salah satu obat yang diduga memiliki potensi dalam penanganan COVID-19 dan masih memerlukan pembuktian melalui uji klinik adalah Ivermectin," katanya.

Penny mengatakan Ivermectin sedang pada tahap uji klinik yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan untuk memperoleh data khasiat dan keamanan dalam menyembuhkan COVID-19.

"Apabila dibutuhkan penggunaan Ivermectin yang lebih luas oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan, maka Kementerian Kesehatan dapat mengajukan permohonan penggunaan Ivermectin dengan skema EAP, mengingat Ivermectin adalah obat keras," ujarnya.

Baca juga: Penggunaan Ivermectin harus sesuai resep dokter

Penny menegaskan bahwa persetujuan EAP bukan merupakan persetujuan izin edar, maka ditekankan kepada industri farmasi yang memproduksi obat tersebut dan pihak manapun untuk tidak mempromosikan Ivermectin, baik kepada petugas kesehatan maupun kepada masyarakat.

"Dengan pertimbangan bahwa obat EAP merupakan obat yang masih digunakan dalam kerangka penelitian dan berpotensi untuk disalahgunakan, maka BPOM perlu melakukan pengawasan untuk mengawal distribusi obat EAP hanya dilakukan oleh fasilitas pelayanan kesehatan yang disetujui," katanya.

Penny menambahkan pemilik persetujuan dan penyedia obat EAP wajib melakukan pemantauan farmakovigilans dan pelaporan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) maupun Efek Samping Obat (ESO), serta melakukan pencatatan dan pelaporan setiap bulan terkait pengadaan, penyaluran, dan penggunaan obat EAP kepada BPOM.

Baca juga: BPOM terbitkan izin penggunaan darurat vaksin Sinopharm buatan China

Baca juga: BPOM izinkan penggunaan darurat vaksin Pfizer di Indonesia