Hal ini, menurut Prijadi, adalah sebuah upaya agar anak dan orang tua bisa mengimbangi informasi dari internet yang serba cepat, yang tak jarang juga bisa mempengaruhi pola pikir secara negatif akibat narasi atau pemahaman tertentu.
"Ini adalah tantangan berat. Kami masih kalah, dalam arti kalah cepat di masa kekinian ini. Ada pandangan-pandangan negatif, dan harus diluruskan," kata Prijadi dalam diskusi daring, ditulis pada Kamis.
Lebih lanjut, narasi dan pemahaman tertentu yang memiliki dampak negatif menurut dia juga bisa berdampak kepada hal-hal seperti kekerasan kepada perempuan dan anak.
Baca juga: DPRD Kalteng ajak masyarakat tetap jaga keberagaman dan toleransi
Menurut riset bertajuk "Narasi-Narasi Pengasuhan untuk Mempromosikan Toleransi dalam Keluarga di Indonesia" dari KULTURA, terdapat beberapa narasi yang akhirnya malah menjadi ekslusif, diskriminatif, dan melanggengkan kekerasan.
"Ini menutup ruang-ruang dialog antar umat beragama dan golongan di Indonesia, dan mengingkari praktik-praktik keagamaan yang dianggap menyimpang. Dampaknya pada kekerasan terhadap anak antara lain anak yang hanya dianggap sebagai objek pengasuhan, dan praktik pengasuhan bersifat indoktrinasi alih-alih dialog," tulis laporan tersebut.
"Sementara dampaknya terhadap perempuan adalah di dalam keluarga, laki-laki menjadi lebih superior terhadap perempuan. Lalu, peran perempuan terbatas hanya di ranah domestik," lanjutnya.
Menanggapi hal tersebut, Prijaji mengatakan pemerintah telah melakukan berbagai upaya akan perlindungan anak dan perempuan serta kesetaraan gender, lewat berbagai regulasi.
Beberapa di antaranya yaitu Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Pengarusutaman Gender Dalam Pembangunan Nasional, UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, dan lainnya.
Lebih lanjut, Prijadi mengatakan kesadaran akan perlindungan perempuan dan anak serta pengasuhan anak juga terus digeliatkan melalui media sosial. "Kami juga hadir di media sosial, mengadakan Festival Keluarga untuk menggandeng kaum milenial," kata dia.
Aktivis perempuan Islam dari lembaga penelitian yang digagas para santri dan tokoh pesantren Cirebon Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), Lies Marcoes, mengatakan cara mengenalkan dan mengajarkan keberagaman dan toleransi kepada anak bisa dimulai dari lingkungan terdekatnya.
Ia menutup, "Khazanah kita belajar ada di Indonesia; negara yang begitu kaya akan keberagamannya, dan itu adalah tempat kita membangun dan mengajarkan toleransi kepada anak."
Baca juga: Peringati Hari Lahir Pancasila, Ketua DPRD Seruyan sampaikan pesan tentang toleransi
Baca juga: Sivitas akademika diminta promosikan toleransi cegah radikalisme
Baca juga: TMMD mampu memperkokoh toleransi masyarakat Kobar