Masyarakat dilarang serobot kebun inti perusahaan

id Perkebunan Sawit ,Kalteng ,Palangka Raya ,Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan),Heru Tri Widarto

Masyarakat dilarang serobot kebun inti perusahaan

Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan) Heru Tri Widarto. ANTARA/HO-Dokumentasi

Palangka Raya (ANTARA) - Pelaksanaan kebijakan Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat (FPKM) bisa dilaksanakan dalam berbagai bentuk kemitraan produktif sesuai kesepakatan antara para pihak. Masyarakat tidak dibenarkan mengambil paksa kebun inti tertanam milik perusahaan apabila tidak ada lahan yang akan dimanfaatkan sebagai kebun kemitraan.

“Tidak dibenarkan apabila ada pihak yang memaksa mengambil kebun inti tertanam dalam HGU (hak guna usaha) atau IUP (izin usaha perkebunan) milik perusahaan,” kata Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Perkebunan, Kementerian Pertanian (Kementan) Heru Tri Widarto dalam rilisnya, Kamis.

Heru menjelaskan, FPKM seluas sekitar 20 persen dari kebun yang diusahakan itu merupakan kewajiban perusahaan perkebunan sebagaimana perintah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. 

Selanjutnya Heru menjelaskan bahwa FPKM sebesar 20 persen ini didasari pada regulasi yang mengalami beberapa kali perubahan.

Terakhir, sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja Pasal 29 angka 19 dalam Pasal 58 ayat (1) disebutkan bahwa perusahaan perkebunan yang mendapatkan perizinan berusaha untuk budi daya yang seluruh atau sebagian lahannya, berasal dari area penggunaan lain yang berada di luar HGU atau area yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, seluas 20 persen dari luas lahan tersebut.

Mekanisme FPKM 20 persen dilakukan oleh perusahaan perkebunan kepada masyarakat sekitar melalui beberapa bentuk. Antara lain melalui pola kredit, pola bagi hasil, bentuk pendanaan lain yang disepakati para pihak dan/atau bentuk kemitraan lainnya, serta kegiatan usaha produktif untuk masyarakat sekitar bagi perusahaan dengan kondisi tertentu.

Heru menegaskan bahwa FPKM 20 persen hanya berlaku bagi perusahaan perkebunan yang mendapatkan IUP setelah Februari 2007. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 26 Tahun 2007. 


“Adanya tuntutan masyarakat kepada perusahaan perkebunan atas kewajiban FPKM sebesar 20 persen, didasarkan kepada regulasi bidang perizinan usaha perkebunan sejak tahun 2007, yang sebelumnya jika sudah ada kemitraan dalam usaha produktif atau PIR (Perkebunan Inti Rakyat) maka tidak kena (aturan FPKM 20 persen),” ucap Heru.

Menurut Heru, pengaturan FPKM seluas 20 persen telah beberapa kali mengalami perubahan dan penyesuaian sesuai kondisi yang terjadi di masyarakat.

“Pada intinya dengan dilakukannya FPKM akan berakibat terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kebun yang saling bersinergi dengan perusahaan perkebunan," bebernya.

Heru mengatakan apabila di sekitar kebun milik perusahaan tidak ada lahan yang cukup yakni 20 persen dari kebun yang diusahakan, maka harus dilihat kapan perusahaan tersebut mendapatkan perizinan berusahanya, sesuai dengan regulasi yang berlaku pada saat itu. 

Untuk kondisi tertentu, FPKM 20 persen dapat dilakukan melalui kegiatan usaha produktif.  Dalam Pasal 15 ayat (3) Permentan 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan disebutkan bahwa kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan ketersediaan lahan dan jumlah keluarga masyarakat sekitar yang layak sebagai peserta. 

Setelah lahan dan masyarakat sekitar kebun dinyatakan mencukupi, maka langkah selanjutnya dilakukan kesepakatan. 

Baca juga: Kemitraan petani-perusahaan sawit mampu turunkan emisi karbon

“Kesepakatan antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat sekitar dan diketahui kepala dinas provinsi atau kabupaten/kota yang membidangi perkebunan sesuai kewenangannya,” tutur Heru.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata disebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. 

“Dari pengertian ini, jelas bahwa kesepakatan atau perjanjian menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya," ungkap Heru.

Baca juga: Generasi milenial diminta aktif kampanye positif sawit

Saat ini Ditjen Perkebunan sedang menggodok rancangan peraturan terkait Penentuan Nilai Optimum Produksi Kebun. Aturan ini mengacu pada Pasal 7 ayat (4) Permentan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar. 
Dalam Permentan tersebut dinyatakan bahwa untuk bentuk kemitraan lainnya dilakukan pada kegiatan usaha produktif perkebunan. 

Kegiatan usaha produktif tersebut diberikan pembiayaan minimal setara dengan nilai optimum produksi kebun di lahan seluas 20 persen dari total areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan. 

“Nilai optimum produksi kebun tersebut merupakan hasil produksi neto rata-rata kebun dalam satu tahun yang ditetapkan secara berkala oleh Direktur Jenderal Perkebunan. Saat ini sedang dilakukan penyusunan keputusan Direktur Jenderal dimaksud sesuai ketentuan di atas,” demikian Heru.

Baca juga: Harga CPO anjlok menjadi Rp12.075 per kilogram