Petinggi PT Musim Mas dituntut 11 tahun penjara terait kasus korupsi kelangkaan migor
Selain itu, Pierre sebagai salah satu terdakwa dalam kasus korupsi tersebut yang dituntut 11 tahun penjara ditambah uang pengganti senilai Rp4,544 triliun menegaskan dirinya merupakan korban dari kebijakan pemerintah yang diduga keliru.
Jakarta (ANTARA) - General Manager Bagian General Affair PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang membantah pelaku industri yang menjadi terdakwa kasus korupsi terkait persetujuan ekspor minyak sawit mentah dan turunannya merupakan pihak yang menciptakan kelangkaan minyak goreng.
"Yang para pelaku industri lakukan, hanya untuk mencari solusi terhadap terjadinya kelangkaan minyak goreng, bukan untuk menciptakan kelangkaan minyak goreng seperti yang dituduhkan,” kata Pierre, saat membacakan nota pembelaan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu, sebagaimana dikutip dari siaran tertulisnya.
Selain itu, Pierre sebagai salah satu terdakwa dalam kasus korupsi tersebut yang dituntut 11 tahun penjara ditambah uang pengganti senilai Rp4,544 triliun menegaskan dirinya merupakan korban dari kebijakan pemerintah yang diduga keliru.
Sejak awal, lanjut dia, para pelaku usaha industri kelapa sawit Indonesia sudah menyampaikan keberatan terhadap rencana pemberlakuan kebijakan domestic market obligation dan domestic price obligation yang dirilis pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Pierre memaparkan beberapa alasan kemunculan keberatan dari para pelaku industri minyak goreng atas kebijakan pemerintah tersebut.
“Di antaranya, disparitas harga terlalu besar antara domestic market obligation terhadap harga pasar. Hal ini berpotensi menimbulkan penyeludupan, baik ekspor maupun ke industri yang diharuskan membeli dengan harga keekonomian tadi,” ucap dia.
Di samping itu, tambahnya, kebijakan tersebut juga selalu dikaitkan dengan ekspor, padahal struktur pasar minyak goreng di Indonesia beragam.
"Di dalamnya, ada yang 90 persen bertujuan ekspor dan ada yang 90 untuk lokal. Jadi, bagaimana kedua kelompok produsen ini bisa menjalankannya karena ada yang tidak paham pasar domestik, sementara diharuskan menjual ke pasar domestik sebelum melakukan ekspor," ucap Pierre.
Pierre menyampaikan keberadaan regulasi tersebut membuat beberapa pabrik lebih memilih berhenti melakukan produksi daripada mengalami kerugian besar.
Dalam nota pembelaannya, Pierre menyoroti perihal Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) terkait dengan upaya mengatasi kelangkaan minyak goreng yang dinilai berubah dengan sangat cepat.
"Industri belum sempat mempersiapkan diri untuk satu Permendag, ternyata sudah muncul Permendag lain. Dengan demikian, waktu yang terpakai untuk mempersiapkan segala sesuatu dan menjalankan regulasi sebelumnya terbuang percuma dan industri dituduh lamban bergerak," ujar dia.
Selain pidana penjara 11 tahun dan uang pengganti Rp4,544 triliun, jaksa penuntut umum menuntut Pierre membayar denda sebanyak Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Dalam kasus korupsi tersebut, Pierre didakwa berdasarkan dakwaan primer dari Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
"Yang para pelaku industri lakukan, hanya untuk mencari solusi terhadap terjadinya kelangkaan minyak goreng, bukan untuk menciptakan kelangkaan minyak goreng seperti yang dituduhkan,” kata Pierre, saat membacakan nota pembelaan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu, sebagaimana dikutip dari siaran tertulisnya.
Selain itu, Pierre sebagai salah satu terdakwa dalam kasus korupsi tersebut yang dituntut 11 tahun penjara ditambah uang pengganti senilai Rp4,544 triliun menegaskan dirinya merupakan korban dari kebijakan pemerintah yang diduga keliru.
Sejak awal, lanjut dia, para pelaku usaha industri kelapa sawit Indonesia sudah menyampaikan keberatan terhadap rencana pemberlakuan kebijakan domestic market obligation dan domestic price obligation yang dirilis pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Pierre memaparkan beberapa alasan kemunculan keberatan dari para pelaku industri minyak goreng atas kebijakan pemerintah tersebut.
“Di antaranya, disparitas harga terlalu besar antara domestic market obligation terhadap harga pasar. Hal ini berpotensi menimbulkan penyeludupan, baik ekspor maupun ke industri yang diharuskan membeli dengan harga keekonomian tadi,” ucap dia.
Di samping itu, tambahnya, kebijakan tersebut juga selalu dikaitkan dengan ekspor, padahal struktur pasar minyak goreng di Indonesia beragam.
"Di dalamnya, ada yang 90 persen bertujuan ekspor dan ada yang 90 untuk lokal. Jadi, bagaimana kedua kelompok produsen ini bisa menjalankannya karena ada yang tidak paham pasar domestik, sementara diharuskan menjual ke pasar domestik sebelum melakukan ekspor," ucap Pierre.
Pierre menyampaikan keberadaan regulasi tersebut membuat beberapa pabrik lebih memilih berhenti melakukan produksi daripada mengalami kerugian besar.
Dalam nota pembelaannya, Pierre menyoroti perihal Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) terkait dengan upaya mengatasi kelangkaan minyak goreng yang dinilai berubah dengan sangat cepat.
"Industri belum sempat mempersiapkan diri untuk satu Permendag, ternyata sudah muncul Permendag lain. Dengan demikian, waktu yang terpakai untuk mempersiapkan segala sesuatu dan menjalankan regulasi sebelumnya terbuang percuma dan industri dituduh lamban bergerak," ujar dia.
Selain pidana penjara 11 tahun dan uang pengganti Rp4,544 triliun, jaksa penuntut umum menuntut Pierre membayar denda sebanyak Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Dalam kasus korupsi tersebut, Pierre didakwa berdasarkan dakwaan primer dari Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.