Celah hukum harus dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat banyak
Palangka Raya (ANTARA) - Hadir dalam fokus grup diskusi Komunitas Portal Jalanan di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Anggota DPD RI Agustin Teras Narang menegaskan selalu ada celah hukum yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat, termasuk dalam hal mengelola masalah agraria maupun masyarakat adat.
"Memanfaatkan celah hukum tersebut pernah saya ambil ketika dipercaya menjadi Gubernur Kalimantan Tengah periode 2005-2010 dan 2010-2015," kata Teras Narang saat FGD LPJ bertema membedah tabir konflik agraria demi terwujudnya kondusifitas dan stabilitas di Kalteng, Rabu.
Dia bercerita, pada pasal 18B ayat 2 Undang-undang Dasar (UUD) secara jelas mengatur pengakuan masyarakat hukum adat. Merujuk pasal itulah, dituangkan Peraturan Daerah nomor 16 tahun 2008, dan kemudian diubah lewat Perda nomor 1 tahun 2010 yang mengatur soal kelembagaan adat. Lebih jauh lagi, lewat Peraturan Gubernur Kalteng nomor 13 tahun 2009 yang kemudian diubah Pergub nomor 4 tahun 2012 diatur soal tanah adat dan hak-hak atas tanah adat di Kalteng, Termasuk Pergub nomor 42 tahun 2014 tentang Penanganan dan Penyelesaian Konflik Usaha Perkebunan di Kalteng.
Beberapa Pergub yang dibuat rentang waktu 2005 hingga 2015 itu, menjadi langkah besar Pemprov Kalteng sekaligus melampaui apa yang belum dilakukan oleh Pemerintah Pusat pada saat itu, bahkan hingga saat ini dalam menyelesaikan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat.
"Ini satu contoh saja dari berbagai terobosan hukum tingkat daerah yang kami ambil kala itu. Langkah yang mesti diambil karena kepentingan perlindungan masyarakat adat, juga masyarakat pada umumnya, agar terhindar dari konflik agraria," kata Teras Narang.
Baca juga: Program KEK perlu dievaluasi secara menyeluruh
Senator asal Kalteng mengakui, dalam praktiknya Perda dan Pergub itu tak bisa mengatasi semua masalah secara penuh. Hanya, setidaknya kehadiran peraturan-peraturan itu mampu dan bisa mencegah ketidakadilan dan konflik yang lebih besar di provinsi berjuluk Bumi Tambun Bungai/Bumi Pancasila ini.
Dia mengatakan, konflik agraria, termasuk di sektor perkebunan sejatinya bisa dicegah kalau kebijakan dan proses administrasi pertanahannya jelas. Sayangnya di Kalteng, prosesnya tidak mudah. Sekalipun dari daerah sudah berupaya lewat terobosan hukum, termasuk lewat Perda Rencana Tata Ruang Wilayah, tetap saja akhirnya belum dapat menyelesaikan permasalahan sengketa pertanahan secara komprehensif.
Kepentingan Pemerintah provinsi kala itu dalam memberi kepastian, keadilan hukum, dan kemanfaatan serta kesejahteraan bagi semua pemangku kepentingan agraria, termasuk rakyat, mengalami kendala akibat belum ada itikad politik kuat dari kementerian terkait.
"Daerah kita terbelenggu dalam status kawasan hutan, meski secara de facto banyak yang bukan lagi kawasan hutan. Akhirnya, ini berdampak pada pembangunan daerah," beber Teras Narang.
Baca juga: Dipercaya Jadi Ketua Yayasan Kesehatan PGI, Teras minta dukungan stakeholder
Dalam FGD KPJ tersebut, dirinya pun memberikan catatan bahwa kegiatan tersebut menjadi pengingat kesejarahan masalah agraria di Kalteng. Termasuk soal bagaimana kepemimpinan politik mesti menggunakan hukum dan komitmen yang kuat dan berkelanjutan dalam menghadirkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, serta kesejahteraan bagi semua.
Dia mengatakan, seluruh lapisan masyarakat di Kalteng tentunya tak ingin provinsi ini terus terjebak dalam status kawasan hutan yang tak berlandaskan keadaan sebenarnya di lapangan. Semua pasti menginginkan agar status tanah masyarakat, perkebunan, pertambangan hingga sektor lainnya diatur segera dari peta kawasan hutan dalam administrasi negara. Sehingga dengan begitu, berbagai ancaman konflik agraria, bisa dicegah secara lebih baik lagi ke depannya.
"Mari bersama bergotong royong dalam semangat huma betang, kita perjuangkan keadilan, kepastian, kemanfaatan, dan kesejahteraan dalam sektor agraria bagi masyarakat daerah di Kalimantan Tengah dan demi kemajuan bangsa serta negara," demikian Teras Narang.
Baca juga: Optimalkan peran YPTKES GKE menjawab tantangan memajukan SDM di Kalteng
Baca juga: Teras Narang ajak mahasiswa IAHN Palangka Raya siap terlibat memajukan Indonesia
Baca juga: Pemerintah harus antisipatif dan hadir saat terjadi konflik
"Memanfaatkan celah hukum tersebut pernah saya ambil ketika dipercaya menjadi Gubernur Kalimantan Tengah periode 2005-2010 dan 2010-2015," kata Teras Narang saat FGD LPJ bertema membedah tabir konflik agraria demi terwujudnya kondusifitas dan stabilitas di Kalteng, Rabu.
Dia bercerita, pada pasal 18B ayat 2 Undang-undang Dasar (UUD) secara jelas mengatur pengakuan masyarakat hukum adat. Merujuk pasal itulah, dituangkan Peraturan Daerah nomor 16 tahun 2008, dan kemudian diubah lewat Perda nomor 1 tahun 2010 yang mengatur soal kelembagaan adat. Lebih jauh lagi, lewat Peraturan Gubernur Kalteng nomor 13 tahun 2009 yang kemudian diubah Pergub nomor 4 tahun 2012 diatur soal tanah adat dan hak-hak atas tanah adat di Kalteng, Termasuk Pergub nomor 42 tahun 2014 tentang Penanganan dan Penyelesaian Konflik Usaha Perkebunan di Kalteng.
Beberapa Pergub yang dibuat rentang waktu 2005 hingga 2015 itu, menjadi langkah besar Pemprov Kalteng sekaligus melampaui apa yang belum dilakukan oleh Pemerintah Pusat pada saat itu, bahkan hingga saat ini dalam menyelesaikan Undang-undang Masyarakat Hukum Adat.
"Ini satu contoh saja dari berbagai terobosan hukum tingkat daerah yang kami ambil kala itu. Langkah yang mesti diambil karena kepentingan perlindungan masyarakat adat, juga masyarakat pada umumnya, agar terhindar dari konflik agraria," kata Teras Narang.
Baca juga: Program KEK perlu dievaluasi secara menyeluruh
Senator asal Kalteng mengakui, dalam praktiknya Perda dan Pergub itu tak bisa mengatasi semua masalah secara penuh. Hanya, setidaknya kehadiran peraturan-peraturan itu mampu dan bisa mencegah ketidakadilan dan konflik yang lebih besar di provinsi berjuluk Bumi Tambun Bungai/Bumi Pancasila ini.
Dia mengatakan, konflik agraria, termasuk di sektor perkebunan sejatinya bisa dicegah kalau kebijakan dan proses administrasi pertanahannya jelas. Sayangnya di Kalteng, prosesnya tidak mudah. Sekalipun dari daerah sudah berupaya lewat terobosan hukum, termasuk lewat Perda Rencana Tata Ruang Wilayah, tetap saja akhirnya belum dapat menyelesaikan permasalahan sengketa pertanahan secara komprehensif.
Kepentingan Pemerintah provinsi kala itu dalam memberi kepastian, keadilan hukum, dan kemanfaatan serta kesejahteraan bagi semua pemangku kepentingan agraria, termasuk rakyat, mengalami kendala akibat belum ada itikad politik kuat dari kementerian terkait.
"Daerah kita terbelenggu dalam status kawasan hutan, meski secara de facto banyak yang bukan lagi kawasan hutan. Akhirnya, ini berdampak pada pembangunan daerah," beber Teras Narang.
Baca juga: Dipercaya Jadi Ketua Yayasan Kesehatan PGI, Teras minta dukungan stakeholder
Dalam FGD KPJ tersebut, dirinya pun memberikan catatan bahwa kegiatan tersebut menjadi pengingat kesejarahan masalah agraria di Kalteng. Termasuk soal bagaimana kepemimpinan politik mesti menggunakan hukum dan komitmen yang kuat dan berkelanjutan dalam menghadirkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, serta kesejahteraan bagi semua.
Dia mengatakan, seluruh lapisan masyarakat di Kalteng tentunya tak ingin provinsi ini terus terjebak dalam status kawasan hutan yang tak berlandaskan keadaan sebenarnya di lapangan. Semua pasti menginginkan agar status tanah masyarakat, perkebunan, pertambangan hingga sektor lainnya diatur segera dari peta kawasan hutan dalam administrasi negara. Sehingga dengan begitu, berbagai ancaman konflik agraria, bisa dicegah secara lebih baik lagi ke depannya.
"Mari bersama bergotong royong dalam semangat huma betang, kita perjuangkan keadilan, kepastian, kemanfaatan, dan kesejahteraan dalam sektor agraria bagi masyarakat daerah di Kalimantan Tengah dan demi kemajuan bangsa serta negara," demikian Teras Narang.
Baca juga: Optimalkan peran YPTKES GKE menjawab tantangan memajukan SDM di Kalteng
Baca juga: Teras Narang ajak mahasiswa IAHN Palangka Raya siap terlibat memajukan Indonesia
Baca juga: Pemerintah harus antisipatif dan hadir saat terjadi konflik