Keterbukaan data bisa jadi strategi gertak lawan
Jakarta (ANTARA) - Analis intelijen, pertahanan, dan keamanan Ngasiman Djoyonegoro mengungkapkan bahwa di dalam dunia pertahanan keterbukaan data bukan sesuatu yang tabu dan justru dapat dijadikan sebagai strategi untuk memberi gertakan kepada lawan.
"Dalam dunia pertahanan keterbukaan data bukan hal tabu. Bahkan, transparansi dapat dijadikan strategi untuk menimbulkan detterence effect kepada lawan," kata Ngasiman dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin.
Menurutnya, dengan membuka data pertahanan, negara lain atau negara yang dikategorikan sebagai lawan akan berpikir dua kali jika mengetahui senjata yang dimiliki.
Bahkan, negara-negara adidaya yang memiliki senjata pemusnah massal seperti nuklir, secara terbuka mengumumkan di mana lokasi hulu ledak mereka berada.
"Lawan pasti berpikir dua kali jika mengetahui senjata apa yang kita miliki. Seperti negara pemilik nuklir, bahkan mengumumkan hulu ledak mereka," kata analis yang akrab disapa Simon tersebut.
Sementara dari sudut pandang masyarakat, kata dia, transparansi data pertahanan negara akan menimbulkan kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah dan dapat mencegah terjadinya korupsi.
Simon yang juga Rektor Institute Saind and Technologi Al Kamal itu mengatakan bahwa jika merujuk Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2028 tentang Keterbukaan Informasi Publik, telah dijelaskan bahwa semua informasi publik dinyatakan terbuka dan dapat diakses.
Informasi yang dikecualikan hanya yang bersifat ketat dan terbatas serta melalui mekanisme uji konsekuensi.
"Penentuan informasi dikecualikan harus dilandasi analisis perlindungan kepentingan publik atau kepentingan nasional dan berdasarkan undang-undang," katanya.
Lebih lanjut Simon menjelaskan, di negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia, data pertahanan tidak dapat dinyatakan rahasia secara sembarangan sehingga publik tidak bisa mengakses.
Menurutnya, ada data-data tertentu yang di dalam terkandung kepentingan publik yang besar, maka data tersebut harus disampaikan kepada masyarakat.
Dengan demikian, permintaan dari pasangan calon presiden dalam debat Pilpres 2024 untuk membuka data pertahanan dinilainya bukan sesuatu yang berlebihan dan melanggar UU KIP.
"Saya kira, permintaan pembukaan data terkait capaian Minimum Essential Force bukanlah hal yang berlebihan dan melanggar UU KIP. Termasuk, data anggaran dan alutsista yang kita miliki. Toh, lembaga-lembaga pemeringkat internasional bisa dengan mudah memperoleh data-data tersebut seperti dua lembaga pengindeks yang saya sebut di atas,” ujarnya.
ia pun memaparkan bahwa data yang masuk dalam kategori rahasia adalah data dan informasi terkait strategi, operasi, strategi peperangan, penempatan senjata strategis, dan hal teknis lain yang jika diketahui oleh musuh akan memudahkan untuk melakukan penyerangan dan pelemahan.
"Kenegarawanan capres-capres kita diuji dengan sikap proporsional dalam menerapkan undang-undang, tidak bisa kerahasiaan ditetapkan secara subjektif," ujarnya.
"Dalam dunia pertahanan keterbukaan data bukan hal tabu. Bahkan, transparansi dapat dijadikan strategi untuk menimbulkan detterence effect kepada lawan," kata Ngasiman dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Senin.
Menurutnya, dengan membuka data pertahanan, negara lain atau negara yang dikategorikan sebagai lawan akan berpikir dua kali jika mengetahui senjata yang dimiliki.
Bahkan, negara-negara adidaya yang memiliki senjata pemusnah massal seperti nuklir, secara terbuka mengumumkan di mana lokasi hulu ledak mereka berada.
"Lawan pasti berpikir dua kali jika mengetahui senjata apa yang kita miliki. Seperti negara pemilik nuklir, bahkan mengumumkan hulu ledak mereka," kata analis yang akrab disapa Simon tersebut.
Sementara dari sudut pandang masyarakat, kata dia, transparansi data pertahanan negara akan menimbulkan kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah dan dapat mencegah terjadinya korupsi.
Simon yang juga Rektor Institute Saind and Technologi Al Kamal itu mengatakan bahwa jika merujuk Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2028 tentang Keterbukaan Informasi Publik, telah dijelaskan bahwa semua informasi publik dinyatakan terbuka dan dapat diakses.
Informasi yang dikecualikan hanya yang bersifat ketat dan terbatas serta melalui mekanisme uji konsekuensi.
"Penentuan informasi dikecualikan harus dilandasi analisis perlindungan kepentingan publik atau kepentingan nasional dan berdasarkan undang-undang," katanya.
Lebih lanjut Simon menjelaskan, di negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia, data pertahanan tidak dapat dinyatakan rahasia secara sembarangan sehingga publik tidak bisa mengakses.
Menurutnya, ada data-data tertentu yang di dalam terkandung kepentingan publik yang besar, maka data tersebut harus disampaikan kepada masyarakat.
Dengan demikian, permintaan dari pasangan calon presiden dalam debat Pilpres 2024 untuk membuka data pertahanan dinilainya bukan sesuatu yang berlebihan dan melanggar UU KIP.
"Saya kira, permintaan pembukaan data terkait capaian Minimum Essential Force bukanlah hal yang berlebihan dan melanggar UU KIP. Termasuk, data anggaran dan alutsista yang kita miliki. Toh, lembaga-lembaga pemeringkat internasional bisa dengan mudah memperoleh data-data tersebut seperti dua lembaga pengindeks yang saya sebut di atas,” ujarnya.
ia pun memaparkan bahwa data yang masuk dalam kategori rahasia adalah data dan informasi terkait strategi, operasi, strategi peperangan, penempatan senjata strategis, dan hal teknis lain yang jika diketahui oleh musuh akan memudahkan untuk melakukan penyerangan dan pelemahan.
"Kenegarawanan capres-capres kita diuji dengan sikap proporsional dalam menerapkan undang-undang, tidak bisa kerahasiaan ditetapkan secara subjektif," ujarnya.