Jakarta (ANTARA) - Babak semifinal cabang sepak bola putra Olimpiade Paris 2024 bakal menyajikan pertandingan perburuan medali emas yang dibalut nuansa sejarah dan politik.
Terdapat empat negara yang sudah memastikan berlaga pada semifinal Olimpiade Paris 2024 yaitu tuan rumah Prancis, Spanyol sebagai perwakilan benua Eropa dan dua wakil Afrika Mesir serta Maroko.
Prancis dijadwalkan menghadapi Mesir pada babak semifinal di Stadion Decines-Charpieu, Lyon, Selasa (6/8) pukul 02.00 WIB, sementara Maroko berjumpa Spanyol di Stadion Velodrome, Marseille, Senin (7/8) pukul 23.00 WIB.
Berikut pembahasan singkat dari babak semifinal Olimpiade Paris 2024 cabang sepak bola putra.
Pertempuran wakil Eropa kontra Afrika
Pada babak semifinal Olimpiade Paris 2024 seolah-olah menjadi medan pertempuran antara wakil benua Eropa kontra Afrika karena tiap perwakilan akan bertemu satu sama lain.
Prancis berjumpa Mesir, sementara Maroko kontra Spanyol, bagan semifinal ini dapat membuat partai final nanti jadi pertemuan wakil Eropa kontra Afrika, atau laga perebutan tempat pertama dari satu benua.
Secara prestasi wakil Eropa menjadi yang terdepan karena baik Prancis dan Spanyol dengan masing-masing perolehan satu medali emas. Les Blues pada edisi Los Angeles 1984 dan La Roja pada edisi Barcelona 1992.
Sementara itu, Mesir hanya pernah mencapai peringkat keempat Olimpiade pada edisi Amsterdam 1928 dan 1964, sedangkan semifinal Paris 2024 merupakan pencapaian terjauh dari Maroko setelah sebelumnya hanya mampu menembus babak kedua Olimpiade Muenchen 1972 dan tentu Achraf Hakimi serta kolega enggan berhenti di sini.
Secara pencapaian selama keikutsertaan Olimpiade, tentu wakil-wakil Eropa diunggulkan, namun perwakilan Afrika memiliki potensi untuk menciptakan kejutan.
Pada gelaran Olimpiade Paris 2024, Maroko sempat menciptakan kejutan di babak fase grup dengan mengalahkan Argentina 2-1, sedangkan Mesir mengandaskan Spanyol 2-1.
Puncak penampilan wakil-wakil Afrika terjadi pada akhir 90an dan awal 2000an, yaitu Nigeria mengamankan medali emas pada edisi Atlanta 1996 dan Kamerun pada edisi Sydney 2000.
Patutu dinantikan negara mana yang akan bertarung untuk medali emas dan siapakah yang harus tersakiti karena 'hanya' untuk memperebutkan medali perunggu.
Dibalut nuansa sejarah dan politik
Pertemuan wakil Eropa dan Afrika ini bisa dibilang dibalut oleh nuansa sejarah dan politik yang terjadi pada masa lampau.
Keterkaitan sejarah dan politik dari keempat negara ini tidak terlepas dari letak geografis Prancis, Spanyol, Maroko dan Mesir yang berada di kawasan laut Mediterania.
Kita mulai terlebih dahulu dari hubungan Les Blues dengan The Pharaohs yang bertarung karena pada tahun 1800-an, tanah Mesir sempat diduduki oleh masa pemerintah kolonial kekaisaran Prancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte.
Pada rentang tahun 1798 hingga 1801, Napoleon Bonaparte melakukan kampanye untuk menduduki Mesir karena kondisi politik tidak stabil di dalam negeri negara Piramida tersebut.
Selain itu, Prancis yang terlibat perang Eropa Raya juga berambisi memutus jalur dagang Inggris ke India dan sekaligus mengukuhkan pengaruhnya di Timur Tengah.
Pada 1799, imbas lengsernya Napoleon dari kepemimpinan kekaisaran Prancis, kondisi politik Mesir terbagi menjadi dua kubu yaitu pro kemerdekaan dan pro keberadaan Prancis di Mesir. Akhirnya masa kolonial Prancis di Mesir usai pada tahun 1801.
Selain itu, Kanal Suez juga dapat diprakarsai oleh Prancis, namun pembangunan ini akhirnya dirampungkan oleh Inggris karena kondisi sosial politik yang terjadi di Mesir.
Prancis juga meninggalkan beberapa jejak budaya dan pendidikan di Mesir seperti Institut Français d’Égypte, Université Française d’Égypte hingga pekan kebudayaan Prancis-Mesir yang dimulai pada 2019 lalu.
Selanjutnya ada hubungan antara Maroko dan Spanyol yang dimulai pada abad pertengahan dan saat itu ketika tanah Matador dikuasai oleh kesultanan Muslim yang berakhir pada 1492.
Penaklukan yang dilakukan oleh Monarki persatuan Castille dan Aragon memaksa kesultanan Muslim mengakhiri kekuasaan mereka di Andalusia dan memaksa sebagian masyarakat dan petinggi angkat kaki ke Afrika Utara, salah satunya Maroko kini.
Hubungan antara Maroko dan Spanyol tak terhenti pada abad pertengahan karena pada abad 19, kesultanan Maroko sempat menjadi daerah prektorat dari Prancis serta Spanyol.
Maroko akhirnya resmi sebagai negara merdeka pada 7 April 1956 dengan sistem pemerintahan monarki parlementer.
Hanya dibatasi oleh laut Mediterania, Spanyol dan Maroko sempat beberapa kali terlibat pertikaian kecil mengenai klaim beberapa daerah di antara kedua negara.
Selain itu, ada perkara Sahara Barat yang merupakan daerah kolonial Spanyol dan terpaksa mereka tinggalkan pada 1975. Kini daerah tersebut sebagian besar telah di bawah kendali administratif Maroko.
Pengaruh pendudukan pada lahirnya pemain keturunan
Kolonialisasi yang dilakukan oleh Prancis dan Spanyol di Afrika Utara juga turut memberikan pengaruh kepada kelahiran pemain-pemain sepak bola berbakat dengan garis keturunan dari Afrika.
Mengenai pesepakbola dengan latar belakang Mesir-Prancis dapat dibilang sedikit karena Prancis hanya bercokol di Mesir relatif sebentar, berbeda dengan Aljazair dan Tunisia. Dua pemain paling terkenal adalah Zinedine Zidane dan Karim Benzema yang memiliki darah Aljazair dan membela Timnas Prancis.
Sementara itu, kita akan melihat banyak contoh pemain Maroko-Spanyol seperti Achraf Hakimi yang lahir di Spanyol dan memutuskan membela tanah kelahiran leluhurnya Maroko.
Selain itu, ada beberapa pemain juga yang memiliki darah Maroko dan memutuskan membela Spanyol seperti Brahim Diaz dan terbaru adalah Lamine Yamal.