BNN RI tak setuju legalisasi ganja untuk Kesehatan atau medis
Padang (ANTARA) - Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Marthinus Hukom kembali menegaskan lembaga yang dipimpinnya tidak setuju dengan legalisasi ganja yang ditujukan untuk kepentingan kesehatan atau medis.
"Saya ingin bertanya kepada pihak yang ingin melegalkan ganja, apakah tidak ada cara pengobatan lain selain menggunakan ganja," kata Kepala BNN RI Komjen Polisi Marthinus Hukom di Padang, Jumat.
Pihaknya khawatir adanya pihak yang berniat memanfaatkan upaya legalisasi ganja untuk kepentingan pribadi, sehingga mendorong penggunaan narkotika golongan satu tersebut dengan dalih sisi kesehatan atau pengobatan.
Jenderal bintang tiga tersebut menyebutkan setidaknya terdapat 12 dampak buruk yang dialami seseorang jika mengonsumsi ganja di antaranya gangguan pernapasan, menurunnya daya ingat, gangguan kesehatan mental dan syaraf dan lain sebagainya.
Eks Kepala Detasemen Khusus 88 itu mengatakan apabila ganja dilegalkan sebagai pengobatan untuk penyakit tertentu, maka bisa membuka peluang kerusakan yang lebih besar terhadap masyarakat di Indonesia.
"Yang harus kita hormati adalah benar tidak tujuan (legalisasi ganja)untuk kemanusiaan atau hanya untuk kepentingan sekelompok orang," ujarnya.
BNN justru mendorong banyak pihak untuk mencari cara lain untuk mengobati suatu penyakit tanpa harus mengonsumsi atau menggunakan ganja sebagai pilihan utama.
Untuk diketahui Mahkamah Konstitusi menolak dalil permohonan yang diajukan Pipit Sri Hartanti dan Supardji atas pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1976 tentang pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya. Pipit dan Supardji merupakan orang tua dari Shita Aske Paramitha yang mengidap cerebral palsy sejak kecil.
"Saya ingin bertanya kepada pihak yang ingin melegalkan ganja, apakah tidak ada cara pengobatan lain selain menggunakan ganja," kata Kepala BNN RI Komjen Polisi Marthinus Hukom di Padang, Jumat.
Pihaknya khawatir adanya pihak yang berniat memanfaatkan upaya legalisasi ganja untuk kepentingan pribadi, sehingga mendorong penggunaan narkotika golongan satu tersebut dengan dalih sisi kesehatan atau pengobatan.
Jenderal bintang tiga tersebut menyebutkan setidaknya terdapat 12 dampak buruk yang dialami seseorang jika mengonsumsi ganja di antaranya gangguan pernapasan, menurunnya daya ingat, gangguan kesehatan mental dan syaraf dan lain sebagainya.
Eks Kepala Detasemen Khusus 88 itu mengatakan apabila ganja dilegalkan sebagai pengobatan untuk penyakit tertentu, maka bisa membuka peluang kerusakan yang lebih besar terhadap masyarakat di Indonesia.
"Yang harus kita hormati adalah benar tidak tujuan (legalisasi ganja)untuk kemanusiaan atau hanya untuk kepentingan sekelompok orang," ujarnya.
BNN justru mendorong banyak pihak untuk mencari cara lain untuk mengobati suatu penyakit tanpa harus mengonsumsi atau menggunakan ganja sebagai pilihan utama.
Untuk diketahui Mahkamah Konstitusi menolak dalil permohonan yang diajukan Pipit Sri Hartanti dan Supardji atas pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1976 tentang pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya. Pipit dan Supardji merupakan orang tua dari Shita Aske Paramitha yang mengidap cerebral palsy sejak kecil.