Sampit (ANTARA) - Sejumlah sekolah di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalimantan Tengah terendam dan beberapa bahkan menerapkan belajar dari rumah (BDR) lantaran banjir yang melanda sebagian wilayah setempat selama kurang lebih sepekan terakhir.
“Berdasarkan laporan yang kami terima ada delapan sekolah terdampak banjir dan tiga antaranya terpaksa menerapkan BDR karena kondisi banjirnya cukup parah,” kata Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kotim Muhammad Irfansyah di Sampit, Kamis.
Irfansyah menyebutkan, bahwa dari laporan banjir yang pihaknya terima kondisi di beberapa sekolah cukup mengkhawatirkan.
Contohnya di SDN 1 Tumbang Tilap dengan genangan air yang nyaris masuk ke ruang kelas padahal bangunan sekolah itu dibangun cukup tinggi seperti rumah panggung.
Ia menegaskan keselamatan guru dan peserta didik menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, dalam kondisi seperti ini sekolah diperkenankan untuk langsung mengambil langkah guna menjaga keselamatan guru dan peserta didik, baru kemudian melaporkan ke Disdik.
“Yang kami khawatirkan banjir itu juga akan mengganggu kesehatan dan keselamatan, maka sekolah wajib mengambil tindakan sesuai kondisi masing-masing, lalu melapor ke Disdik,” ujarnya.
Adapun, sejumlah sekolah yang terdampak banjir namun tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar di sekolah adalah SDN 5 Samuda Kota dan SDN 1 Samuda Kecil Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, SDN Kunjung Lampuyang, SDN 3 Lampuyang, dan SMPN Satap 2 Teluk Sampit Kecamatan Teluk Sampit.
Baca juga: Dinkes Kotim: CKG tunjukkan gangguan kesehatan jiwa anak cukup tinggi
Untuk sekolah yang terdampak banjir dan terpaksa menerapkan BDR adalah SDN 1 Tumbang Tilap Kecamatan Bukit Santuai, SDN 1 Kawan Batu K dan SDN 1 Baampah Kecamatan Mentaya Hulu.
Disdik Kotim menginstruksikan agar setiap sekolah terdampak segera menyampaikan laporan disertai dokumentasi berupa foto atau video.
Hal ini penting agar pihaknya bisa melaporkan kondisi ke pimpinan daerah sekaligus menyiapkan langkah penanganan yang diperlukan.
Kepala Sekolah SDN 1 Tumbang Tilap Fitriyani menyebutkan bahwa SDN 1 Tumbang Tilap hampir selalu terdampak banjir ketika musim hujan atau air pasang, bahkan dalam setahun sekolah itu bisa merasakan banjir empat hingga lima kali.
“Kalau musim hujan, pasti banjir. Dalam setahun bisa 4 sampai 5 kali. Tahun ini saja sudah tiga kali sejak Agustus,” sebutnya.
Ia menjelaskan, letak Desa Tumbang Tilap yang menjadi lokasi sekolah tersebut berada di dataran paling rendah di Kecamatan Bukit Santuai.
Setiap kali hujan deras turun di hulu selama dua hingga tiga hari, banjir hampir dipastikan akan datang. Bedanya, bila banjir di hulu hanya bertahan sehari-dua hari, di Tumbang Tilap bisa sampai empat hingga lima hari.
Baca juga: PMI Kotim berikan penghargaan bagi pendonor
Banjir terbaru terjadi sejak 10 September 2025 lalu, awalnya mereka masih melaksanakan kegiatan belajar mengajar di sekolah, meskipun banjir kala itu sudah mencapai lutut orang dewasa dari permukaan jalan. Namun, seiring dengan meningkatnya debit air maka pada 12 - 16 September pihaknya menerapkan BDR.
“Kondisi ini juga berdampak pada sekolah kami, tanaman yang kami tidak pernah awet karena selalu terendam. Tanah halaman sekolah juga cepat rusak terkikis air, begitu pula lantai bangunan sekolah yang terbuat dari kayu cepat lapuk,” ujarnya.
Banjir berdampak besar pada kegiatan belajar mengajar. Orang tua sering melarang anaknya ke sekolah karena khawatir banjir yang rata-rata terjadi hingga sepinggang orang dewasa. Akibatnya, aktivitas belajar tak maksimal.
Kendala bukan hanya dialami siswa, tapi juga guru. Mayoritas tenaga pengajar berasal dari Sampit dan tinggal di Kuala Kuayan, berjarak sekitar 5-6 kilometer dari sekolah. Hanya tiga guru yang benar-benar menetap di desa.
“Kalau banjir, guru-guru harus jalan kaki sekitar 2 km di air untuk sampai ke sekolah,” imbuhnya.
Meski sudah lama menginginkan relokasi ke tempat yang lebih tinggi, namun langkah itu belum bisa diwujudkan karena keberatan dari masyarakat setempat. Tahun 2018 sempat ada wacana relokasi dengan bantuan perusahaan sekitar, tetapi ditolak masyarakat.
“Masyarakat menolak karena tanah yang cukup tinggi lokasinya sekitar 1 km dari kampung. Mereka khawatir anak-anak jadi jauh sekolahnya. Padahal relokasi itu sangat kami harapkan,” demikian Fitriyani.
Baca juga: Bupati Kotim tanggapi rencana kerja sama Agrinas dan BUMD
Baca juga: Pemkab Kotim perkuat sinergi lintas sektor dalam penanggulangan penyakit
Baca juga: KONI Kotim dukung Futsal Fasara Cup V untuk pembinaan olahraga
