Buaya Mengganas Warga Sampit Was-Was

id Buaya Mengganas Warga Sampit Was-Was

Buaya Mengganas Warga Sampit Was-Was

Ilustrasi, Seekor buaya sungai Mentaya berhasil ditangkap oleh Bahtiar nelayan Desa Jaya Kelapa, Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kalteng Minggu (24/2).(FOTO ANTARA Kalteng/Untung Setiawan)

Puluhan warga sudah menjadi korban, tidak hanya korban luka, tetapi beberapa di antaranya tewas akibat dimangsa buaya.
Sampit, Kalteng, 26/5 (Antara) - Beberapa tahun terakhir buaya muara yang tinggal di aliran Sungai Mentaya Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, mengganas dan kondisi itu membuat warga semakin was-was.

Keganasan ratusan buaya muara itu membuat ribuan warga yang tinggal di beberapa desa di tepian sungai Mentaya ketakutan.

Puluhan warga sudah menjadi korban, tidak hanya korban luka, tetapi beberapa di antaranya tewas akibat dimangsa buaya.

Belum diketahui dengan jelas mengapa buaya-buaya muara itu menjadi ganas dan beringas memangsa manusia. Yang jelas, manusia tidak mau disalahkan karena mereka sudah lama tinggal di daerah itu.

Sedikitnya ada lima desa di tepian sungai Mentaya yang warganya sering menjadi sasaran mangsa buaya.

Kelima desa itu adalah Desa Bagendang, Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Desa Jaya Karet, Basirih Hulu, Jaya Kelapa dan Desa Basirih Hilir, Kecamatan Mentaya Hilir Selatan.

Sebagian besar warga di lima desa itu menggantungkan hidupnya di sungai, mulai dari melakukan aktivitas seperti mencari ikan, mandi, cuci, kakus (MCK).

Warga desa juga menolak jika aktivitasnya tersebut telah mengganggu habitat buaya, sehingga memancing kemarahan buaya-buaya itu.

Ada serentetan peristiwa yang menarik antara buaya memangsa manusia dan buaya ditangkap manusia.

Pada Jumat (9/9) 2011 seekor anak buaya muara berhasil diamankan oleh Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sampit. Anak buaya tersebut disita dari warga Kecamatan Mentaya Baru Ketapang, Kabupaten Kotim.

Kemudian pada Kamis (31/5) 2012 warga Desa Parebok, Kecamatan Mentaya Hilir Selatan menangkap dan menyembelih seekor buaya muara jantan seberat 105 kilogram dan panjang 2,75 meter.

Buaya itu ditangkap oleh warga di sebuah parit yang tidak jauh dari permukiman penduduk, daging buaya tersebut dibagikan kepada warga yang mau memakannya dan kulitnya rencananya akan dijual, namun keburu disita oleh pihak BKSDA.

Setelah peristiwa disembelihnya buaya jantan itu, pada Selasa (8/1) 2013, Agus Riyadi (12) warga Desa Jaya Karet ditemukan meninggal setelah dimangsa buaya.

Selanjutnya pada Kamis (14/2) 2013, Galuh (40) mengalami luka parah di bagian kaki kanan dengan 18 jahitan akibat digigit buaya. Korban pada saat itu sedang mengambil air wuduk di tepian sungai Sampit.

Tak lama berselang dari kejadian Galuh, seekor buaya betina berhadil ditangkap warga Jaya Kelapa, dan oleh warga diserahkan kepada pihak BKSDA untuk dipindahkan ke suaka marga satwa Lamandau.

Setelah peristiwa tertangkapnya buaya di Desa Jaya Karet, pada Sabtu (25/5) 2013, seorang nenek bernama Atikah (63) warga Desa Jaya Karet, Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, kembali dimangsa buaya bahkan meski telah dilakukan pencarian selama dua jasad korban belum ditemukan.

Sementara seorang pawang buaya asal Kota Sampit, Burhan mengatakan, `insiden` yang selama ini terjadi tidak ada kaitannya dengan dendam atau buaya membalas dendam karena ada buaya lain ditangkap dan di bunuh oleh manusia, namun semua itu terjadi karena takdir.

Buaya tidak sembarangan memangsa manusia, tetapi hanya manusia yang telah memiliki tanda khusus di bagian tubuhnya saja yang akan dimangsanya. Tanda khusus itu hampir menyerupai gambar cicak atau lebih mirip buaya.

"Tanda khusus pada seseorang itu hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu saja, yakni orang yang memiliki kemampuan lebih dan bagi orang yang telah memiliki tanda khusus di bagian tubuhnya itu bisa dihapus agar tidak lagi menjadi incaran sang buaya," katanya.

Tanda pada seseorang yang akan dimangsa buaya itu biasanya akan berjalan atau berpindah, misalnya semula berada di bagian belakang seperti punggung, tanda itu nantinya akan berpindah ke tengkuk, selanjut pipi dan kemudian ke mulut.

Jika tanda itu telah masuk hingga ke dalam mulut maka seseorang itu diyakini akan dimangsa buaya dan tanda yang telah masuk ke mulut biasanya tidak akan dapat dihilangkan.

"Mengenai tanda itu sebetulnya sangat sulit dipercaya, namun dari sekian kejadian pada umumnya korban mangsa buaya adalah mereka orang-orang yang telah memiliki tanda, untuk itu tanda tersebut harus dihilangkan atau dihapus dan yang mampu menghapus tanda itu hanya orang tertentu saja," katanya.

Ia mengaku selama puluhan tahun menjadi pawang buaya dirinya belum bisa membuang tanda khusus di tubuh seseorang yang menjadi incaran buaya tersebut. Kemampuannya sebagai pawang buaya itu ia peroleh dari sang ayah.

Sementara korban selamat dari mangsa buaya Fauzi (45), warga Desa Jaya Karet, mengatakan, peristiwa yang hampir merenggut nyawanya itu terjadi pada pertengahan 2011.

Ketika itu ia sedang mencuci pakaian bersama sang istri di sebuah titian kayu tepi sungai Mentaya belakang rumahnya. Air sungai saat itu sedang dalam kondisi surut sehingga mengakibatkan jarak lantai titian kayu dengan air menjadi agak jauh.

Untuk mempermudah menjangkau air Fauzi turun ke anak tangga titian dan istri berada di atas menyambut pakaian yang sudah dicuci Fauzi. Baru beberapa lembar pakaian berhasil dicuci, tiba-tiba dari arah sungai muncul seekor buaya dan langsung menyambar tangan bagian kiri Fauzi.

Tubuh Fauzi langsung diseret hingga kedalaman kurang lebih tiga meter. Beberapa menit kemudian tubuh Fauzi sudah dibawa buaya menuju ke tengah sungai, sekitar 10 meter dari tempat asal fauzi berdiri.

Sang istri yang menyaksikan kejadian itu berteriak meminta pertolongan warga sekitar, namun tak satu orang pun berani memberikan pertolongan.

"Meski saya berada di dalam air dan tangan saya dalam gigitan buaya, saya tetap sadar. Ketika itu tubuh saya dibawa berputar-putar di dalam air. Pada saat bersamaan ada bisikan terdengar di telinga saya, bisikan itu menyuruh saya melukai mata buaya tersebut. Tanpa pikir panjang sambil terpejam tangan kanan saya meraba tubuh buaya dan langsung saya tancapkan jempol tangan kanan saya ke dalam mata buaya itu," tuturnya.

Buaya itu langsung melapaskan gigitannya, dan tak lama kemudian tubuh Fauzi muncul ke permukaan air. Fauzi bergegas berenang ke tepian sungai. Begitu sampai di tepian sungai Fauzi langsung tak sadarkan diri.

Sejak peristiwa itu Fauzi mengaku ketakutan apabila berada di tepian sungai, bahkan ia selalu menghindari untuk berada di tepi sungai, kecuali jika banyak temannya.

"Sampai sekarang saya tidak berani lagi mandi, cuci maupun buang air besar ke sungai. Semua kegiatan itu sekarang saya lakukan di dalam rumah," katanya.

Sementara Komandan Pos BKSDA Wilayah II Sampit, Muriansyah mengatakan tidak ada pihak yang busa disalahkan atas peristiwa yang selama ini terjadi, namun pihaknya mengingatkan kepada masyarakat untuk lebih berhati-hati dan selalu waspada.

"Tidak banyak yang dapat kami lakukan dan untuk mengantisipasi terjadi jatuh korban kami telah memasang papan peringatan di beberapa titik rawan, hal itu kami lakukan untuk selalu mengingatkan masyarakat bahwa di sekitar daerah itu berbahaya karena ada buaya," katanya.

Ia juga mengimbau kepada masyarakat untuk tidak memburu atau membunuh binatang ampibi tersebut karena buaya merupakan binatang langka yang dilindungi oleh undang-undang.




(T.KR-UTG/B/H-KWR/H-KWR)