Taman Nasional Sebangau, dari Zaman Kayu Hingga Restorasi

id TN sebangau, sebangau, taman nasional, WWF

Taman Nasional Sebangau, dari Zaman Kayu Hingga Restorasi

Sejumlah nelayan melintas dengan latar belakang hutan gambut yang berada di tepi Sungai Sebangau, Kawasan Taman Nasional Sebangau, Palangka Raya, Kalimantan Tengah. ( Foto Antara/Dhoni Setiawan)

Jakarta (Antara Kalteng) - Taman Nasional Sebangau yang juga disebut sebagai permata hitam di Gerbang Jantung Borneo terletak di bagian barat Palangka Raya, Kalimantan Tengah, tepatnya diapit oleh dua sungai, yakni Sungai Sebangau dan Sungai Katingan.
        
Taman Nasional (TN) Sebangau memiliki sejumlah danau alam yang indah serta gugusan bukit dengan aliran sungai-sungai kecil berwarna hitam kecokelatan akibat tingginya kandungan zat organik dalam air lahan gambut.
        
Puluhan jenis mamalia, seperti bekantan, owa, kucing kepala pipih, monyet ekor panjang, dan beruang madu, hidup bebas di taman yang juga disebut sebagai kantong populasi orang utan terbesar di dunia dengan jumlah populasi mencapai 6.900 individu.
        
Pohon jenis ramin pun sebagai indikator rawa yang masih baik juga masih banyak ditemukan di TN Sebangau.
        
Dahulu, Hutan Sebangau merupakan kawasan hutan produksi yang dikelola oleh tiga belas perusahaan hak penguasaan hutan (HPH) sejak 1970-an sampai 4 dasawarsa setelahnya.
        
Alih-alih berhenti setelah tidak beroperasinya perusahaan tersebut, pembalakan liar (illegal logging) dengan membangun konstruksi jaringan kanal marak dilakukan pada tahun 1990-an sampai 2000.
        
Ribuan kanal di sekitar hutan rawa gambut seluas 568.700 hektare ini menyebabkan pengeringan lahan gambut karena kecenderungan air yang mengalir ke tempat rendah, yakni di muara sungai.
        
Akibatnya, fungsi gambut yang seharusnya menyimpan air menjadi terganggu dan berakibat kekeringan lahan bahkan kebakaran hutan saat musim kemarau.
        
"Sewaktu zaman kayu itu memang kanal-kanal dibuat untuk mengalirkan kayu-kayu yang telah kami tebang. Sebelumnya, pada tahun '70-an pakai rel atau istilah kami kuda-kuda. Namun, kurang efektif," kata Kepala Desa Tumbang Bulan M. Yusran yang dahulu pernah menjadi "logger" atau penebang kayu.
        
Dalam satu kanal yang panjangnya bisa mencapai 10 meter ini, kata Yusran, setiap harinya mengalirkan sampai 250 meter kubik.
        
Tidak cukup sampai di situ, eksploitasi hutan rawa gambut yang terburuk adalah proyek besar pemerintah pada tahun 1995 yang mengarah pada penghancuran 1.000.000 hektare hutan rawa gambut.
        
Sayangnya lahan tersebut kini gundul dan tidak berguna karena tanaman sulit tumbuh.
        
Dampak terbesar dari pembangunan kanal-kanal di lahan gambut TN Sebangau adalah kebakaran hutan dan lahan yang melanda pertama kali pada 1997, kemudian pada paruh kedua 2015.
        
Keadaan mulai berubah saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Inpres tentang Pembalakan Liar yang menyebabkan aktivitas pembalakan liar mulai meredup.
        
Kawasan hutan Sebangau yang 100 persen berlahan gambut ini kemudian berubah fungsi menjadi Taman Nasional Sebangau melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.423/Kpts-II/2004 yang membuat hutan ini dilindungi dari kegiatan eksploitasi hutan berskala besar.
        
"Sekarang masih boleh ambil kayu, tetapi hanya untuk keperluan bangun rumah, masjid, dan sarana program desa. Standar pengambilan kayu itu di bawah 5 meter kubik, lebih dari itu dianggap 'illegal logging'. Kami hanya berani ambil maksimal 2 meter kubik," kata masyarakat Desa Tumbang Bulan Irwansyah yang juga mantan penebang.
        
Selain itu, kegiatan restorasi hidrologi pun dilakukan sejak 2005, terutama oleh bantuan organisasi nirlaba peduli konservasi lingkungan dan satwa liar World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia melalui program mereka di Kalimantan Tengah.

    
Pembangunan 1.000 Dam

   
Sejak 2005, WWF Kalteng bersama masyarakat setempat melakukan perbaikan atau restorasi hidrologi lahan gambut, khususnya di TN Sebangau dengan membangun bendungan atau dam.
        
"Kami melakukan uji coba kanal sejak 2004, kemudian sudah melakukan pembangunan dam pada tahun 2005. Harapannya 10 tahun ke depan (kanal) bisa tertutup secara alami oleh tanaman," kata Koordinator WWF Kalteng divisi Konservasi TN Sebangau Okta Simon.
        
Okta mengatakan bahwa metode sekat kanal merupakan metode paling baik untuk mengatur tata air karena bisa memperlambat arus air meskipun tidak bisa menahan air sepenuhnya.
        
Menurut data WWF, sejak pembangunan dam pada tahun 2005--2015, sekitar 1.700 dam telah dibangun beserta pipa monitoring air tanah sebanyak 645 batang di area TN Sebangau.
        
Upaya itu nyatanya membuahkan hasil saat kebakaran melanda Kalimantan pada tahun 2015, yakni hanya 16.500 hektare yang terdampak karhutla dari luas TN Sebangau seluruhnya.
        
Data menunjukkan luas terbakar di TN Sebangau sangat kecil jika dibandingkan dengan luasan rawa gambut yang terbakar seluas 319.386 hektare di seluruh Kalimantan, menurut data yang dirilis Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
         
Kepala Balai TN Sebangau Adib Gunawa mengatakan bahwa pihaknya bersama WWF berencana membangun 1.000 dam sejak awal 2016.
        
"Rencana 2016 WWF akan membangun 1.000 dam di kawasan Taman Nasional Sebangau dimulai awal 2016. Seribu dam sudah bisa menutupi kanal-kanal, salah satunya kanal panjang sekitar 26 km," kata Adib.
        
Selain restorasi hidrologi, WWF didukung oleh Balai TN Sebangau dan masyarakat setempat juga melakukan restorasi lahan gambut dengan adanya program adopsi pohon berbasis masyarakat.

    
Adopsi Pohon

    
Program adopsi pohon berbasis masyarakat yang dicanangkan oleh WWF kepada masyarakat setempat, khususnya Desa Tumbang Bulan, sebagai percontohan program tersebut bertujuan sebagai rehabilitasi lahan gambut dengan penanaman bibit.
        
"Program ini juga untuk menggairahkan ekonomi masyarakat karena jika bibit ini tumbuh akan kami bayar. Namun, pengecekannya dilakukan secara berkala," kata Okta.
        
Adapun dalam program tersebut, masyarakat akan diberikan 1.000 bibit pohon, misalnya jenis belangeran, tumih, dan pantung, yang ditanam di area seluas 2 hektare.
        
Setiap pohon yang tumbuh akan dibayar Rp2.000,00 per pohon secara rutin per 3 bulan sehingga diperkirakan satu orang bisa mendapat kompensasi sekitar Rp2 juta.
        
"Kita memikirkan ke depannya. Meskipun dahulu jadi penebang kayu bisa dapat Rp10 juta, biarpun sekarang hanya dapat Rp1 juta rasanya lebih berkah," kata Irwansyah, warga setempat.
        
Keterlibatan masyarakat karena tekad mereka yang ingin menjaga lingkungan juga terlihat dengan penyusunan dua peraturan desa (perdes) secara musyawarah.
        
Perdes Nomor 140/03 Tahun 2014 mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam, yakni dengan memanfaatkan produksi alam nonkayu, seperti ikan dan hasil perkebunan.
        
"Masyarakat bisa mengelola perikanan dengan nelayan, atau mengembangkan perkebunan," kata Kades Yusran.
        
Selain itu, WWF juga turut menggalakkan usaha pertanian pada lahan sekitar 300 hektare dengan memberikan bantuan dua traktor tangan.
        
Sementara itu, Perdes No.140/03 Tahun 2014 mengatur tentang penanggulangan kebakaran hutan dan lahan; melarang masyarakat membakar hutan atau lahan di kawasan hutan yang dilindungi.
        
"Kedua perdes ini merupakan turunan dan tetap berdampingan pada peraturan pemerintah pusat, yakni Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah," kata Yusran.
        
Segala aktivitas restorasi di TN Sebangau, mulai dari pembangunan dam, adopsi pohon hingga payung hukum yang melibatkan masyarakat setempat didukung oleh pendampingan WWF.
        
Namun, masyarakat dituntut mandiri untuk bisa secara sadar menjaga hutan rawa gambut, khususnya TN Sebangau dan tidak lagi kembali pada masa lalu sebagai penebang kayu.
        
Sebagian besar masyarakat yang dahulu menjadi penebang kayu kini beralih profesi menjadi nelayan sekaligus konservator lingkungan yang terus memantau dan memonitoring keadaan di wilayah mereka.

Tentunya upaya pemerintah dan organisasi peduli lingkungan tidak akan berbuah manis jika tidak diiringi oleh keterlibatan masyarakat sendiri.