Umat Katolik laksanakan Jalan Salib kenang kisah penyaliban Yesus Kristus
Kupang (ANTARA) - Umat Katolik di wilayah Keuskupan Agung Kupang, Nusa Tenggara Timur, Jumat melaksanakan jalan salib terakhir untuk mengenang kisah penyaliban Yesus Kristus dan wafatnya di kayu salib pada hari Jumat Agung.
Hampir semua gereja Katolik di wilayah Keuskupan Agung Kupang penuh dengan umat untuk mengikuti jalan salib terakhir, sebelum melakukan tradisi cium salib pada sore harinya di masing-masing gereja.
Penciuman Salib pada perayaan Jumat Agung disebutkan bukan berhala, karena yang dihormati bukan salib itu, tetapi maknanya yaitu Kristus yang tersalib rela mengorbankan diri-Nya demi menebus dosa-dosa umat manusia.
Penghormatan kepada Kristus yang tersalib, adalah sesuai dengan ajaran Sabda Tuhan, sehingga tampak ada perbedaan antara gereja Kristen Protestan dengan gereja Katolik dalam hal tentang Salib Kristus.
Di Gereja Katolik, salib selalu disertai dengan tubuh (Corpus) Kristus, yang disebut sebagai Crucifix, yang arti literalnya adalah seseorang yang disalibkan. Untuk itulah, salib menjadi tanda kemenangan dan kekuatan Allah.
Penghormatan salib Kristus dalam liturgi Jumat Agung dimulai sekitar abad ke-4 di Yerusalem, yang kemudian berkembang ke seluruh dunia, sampai sekarang.
Prosesi penciuman salib berakar dari tradisi yang mempunyai dasar teologi yang dalam, yaitu suatu ekspresi syukur dan kasih kepada Yesus yang telah terlebih dahulu mengasihi umat manusia.
Sehingga, rasanya janggal jika ibadat Jumat Agung dirayakan tanpa harus mencium salib (Corpus) Yesus, karena di situlah letak kasih sayang dan penghormatan kepada Kristus yang rela mengorbankan nyawa-Nya untuk menghapus dosa umat manusia.
Di Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, peristiwa jalan salib suci ini menjadi pembeda dengan gereja Katolik lainnya di Nusa Tenggara Timur, karena pada saat yang bersamaan dilakukan prosesi pengantaran patung Yesus (Tuan Meninu) melalui laut.
Prosesi laut ini mulai dari kapel tempat peristirahatan Tuan Meninu di Pantai Rewindo dan diarak terus oleh puluhan bahkan ratusan kapal motor sampai di Pante Kuce di dekat istanah Raja Larantuka.
Pada malam harinya, Prosesi Jumat Agung dimulai dan berawal dari Gereja Katedral Reinha Rosari Larantuka yang diikuti ribuan para peziarah mengelilingi kota kecil yang terletak di bawah kaki gunung Ile Mandiri itu.
Hampir semua gereja Katolik di wilayah Keuskupan Agung Kupang penuh dengan umat untuk mengikuti jalan salib terakhir, sebelum melakukan tradisi cium salib pada sore harinya di masing-masing gereja.
Penciuman Salib pada perayaan Jumat Agung disebutkan bukan berhala, karena yang dihormati bukan salib itu, tetapi maknanya yaitu Kristus yang tersalib rela mengorbankan diri-Nya demi menebus dosa-dosa umat manusia.
Penghormatan kepada Kristus yang tersalib, adalah sesuai dengan ajaran Sabda Tuhan, sehingga tampak ada perbedaan antara gereja Kristen Protestan dengan gereja Katolik dalam hal tentang Salib Kristus.
Di Gereja Katolik, salib selalu disertai dengan tubuh (Corpus) Kristus, yang disebut sebagai Crucifix, yang arti literalnya adalah seseorang yang disalibkan. Untuk itulah, salib menjadi tanda kemenangan dan kekuatan Allah.
Penghormatan salib Kristus dalam liturgi Jumat Agung dimulai sekitar abad ke-4 di Yerusalem, yang kemudian berkembang ke seluruh dunia, sampai sekarang.
Prosesi penciuman salib berakar dari tradisi yang mempunyai dasar teologi yang dalam, yaitu suatu ekspresi syukur dan kasih kepada Yesus yang telah terlebih dahulu mengasihi umat manusia.
Sehingga, rasanya janggal jika ibadat Jumat Agung dirayakan tanpa harus mencium salib (Corpus) Yesus, karena di situlah letak kasih sayang dan penghormatan kepada Kristus yang rela mengorbankan nyawa-Nya untuk menghapus dosa umat manusia.
Di Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, peristiwa jalan salib suci ini menjadi pembeda dengan gereja Katolik lainnya di Nusa Tenggara Timur, karena pada saat yang bersamaan dilakukan prosesi pengantaran patung Yesus (Tuan Meninu) melalui laut.
Prosesi laut ini mulai dari kapel tempat peristirahatan Tuan Meninu di Pantai Rewindo dan diarak terus oleh puluhan bahkan ratusan kapal motor sampai di Pante Kuce di dekat istanah Raja Larantuka.
Pada malam harinya, Prosesi Jumat Agung dimulai dan berawal dari Gereja Katedral Reinha Rosari Larantuka yang diikuti ribuan para peziarah mengelilingi kota kecil yang terletak di bawah kaki gunung Ile Mandiri itu.