Jakarta (ANTARA) - Staf Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia Lia Anggiasih berpendapat faktor ekonomi menjadi salah satu alasan utama perkawinan anak terjadi di Indonesia.
Lia pada konferensi pers di Cikini, Jakarta, Selasa, mengatakan banyak masyarakat masih berpandangan bahwa beban finansial keluarga akan berkurang jika menikahkan anak lebih cepat. "Padahal adanya pernikahan itu malah bisa membuat beban orangtua semakin berat," kata Lia.
Ia mencontohkan banyak anak yang putus sekolah setelah menikah, sehingga kesulitan mencari mata pencaharian. Ketiadaan pekerjaan itu kemudian mengharuskan orangtua ikut membantu menafkahi anak mereka.
"Belum lagi beban psikologis. Anak yang harusnya masih bermain dan belajar malah sudah harus mengurus anak, menyiapkan makanan, dan bekerja. Dalam kasus ini, anak bisa depresi dan alami gangguan kesehatan," kata Lia.
Sekretaris Koalisi Perempuan Indonesia Cabang Kabupaten Bogor Mega Puspitasari menambahkan kurangnya waktu orangtua untuk berkumpul bersama anak, juga jadi penyebab terjadinya pernikahan dini.
"Kebanyakan kasus perkawinan anak di Kabupaten Bogor diawali karena anak perempuan hamil di luar nikah. Setelah kami dalami, ternyata itu karena orangtua harus bekerja, dan kurang waktunya untuk mengawasi anak mereka," ujar Mega.
Selain ekonomi, faktor budaya, agama, serta hukum juga memiliki peran bagi keberlangsungan pernikahan anak, kata dia. "Ada juga paradigma di masyarakat kita soal ketakutan menjadi perawan tua, sehingga baru 17 tahun kemudian sudah dinikahkan. Alasan seperti itu yang mulai sekarang harus dihilangkan."
Data Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat menunjukkan sebanyak 3.710 pernikahan anak rentang usia 16 hingga 19 tahun berlangsung di Kabupaten Bogor pada 2018. Kabupaten Bogor saat ini juga masuk dalam daftar daerah darurat perkawinan anak.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik mencatat pernikahan anak tertinggi pada 2018 terjadi di Kalimantan Selatan (22,77 persen), Jawa Barat (20,93 persen), dan Jawa Timur (20,73 persen).*