Telaah - Menakar kesiapan Kalteng menjadi lumbung pangan nasional

id Telaah - Menakar kesiapan Kalteng menjadi lumbung pangan nasional, telaah, Nelly, foot estate

Telaah - Menakar kesiapan Kalteng menjadi lumbung pangan nasional

Nelly, M.Pd, Pemerhati Masalah Sosial, Aktivis Peduli NegeriĀ 

Palangka Raya (ANTARA) - Presiden Joko Widodo telah resmi menunjuk Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, memimpin program Food Estate atau lumbung pangan nasional. Dianggap sangat tepat pasalnya, selain pertahanan, Prabowo juga dinilai mumpuni di bidang agraria. Dari dulu memang visi misinya soal ketahanan pangan dan keamanan," kata pengamat politik Adi Prayitno dalam keterangan tertulis, Sabtu, 18 Juli 2020.

Program Food Estate adalah konsep mewujudkan ketahanan pangan melalui integrasi pertanian, perkebunan, dan peternakan. Program tersebut akan menjadi salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Kalimantan tengah dipersiapkan jadi lumbung pangan nasional tepatnya lokasi berada di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau. Sejumlah menteri telah meninjau lokasi di kalteng dan telah mulai mempersiapkan infrastruktur, konektivitas jalan, irigasi dan lainnya. 

Namun keputusan mengenai program lumbung pangan nasional tersebut mendapat tanggapan dan kritikan yang datang dari berbagai kalangan, diantaranya dari Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat Syarief Hasan. 

Syarief meminta pemerintah membuat kalkulasi dan pertimbangan matang terkait rencana program lumbung pangan nasional di Kalimantan Tengah. Sebab, menurut Syarief, beberapa tahun terakhir, pemerintah sudah beberapa kali melaksanakan program lumbung pangan nasional, tetapi tidak membuahkan hasil. 

Terlebih, kata dia, pemerintah memastikan program lumbung pangan itu dilaksanakan di eks Pengembangan Lahan Gambut (PLG), Kalimantan Tengah yang pernah gagal dikembangkan di era pemerintahan Soeharto. 

"Dulunya, di Eks PLG Kalimantan Tengah tersebut dilakukan pembukaan lahan sebanyak satu juta hektar. Lahan ini dibuka dengan mengubah lahan gambut dan rawa menjadi sawah yang berakibat pada kerusakan lingkungan. Pemerintah harus belajar dari kejadian masa lalu agar tidak terulang kembali," kata Syarief dalam keterangan tertulis, Selasa (14/7/2020). 

Syarief mengatakan, berdasarkan ulasan dari Kaprodi S3 Ilmu Teknik Pertanian Universitas Gadja Mada, Eks PLG yang dulunya rawa dan lahan gambut sangat rapuh dan heterogen. Lahan tersebut, kata Syarief, termasuk lahan sub-optimal yang telah mengalami degradasi selama 25 tahun. 

"Sejak dibuka pertama kali yang membuat kesuburan tanah menurun dan tidak mampu mendukung pertumbuhan tanaman secara optimal," ujar dia.  

Atas hal tersebut, Wakil Ketua MPR RI ini meminta pemerintah untuk lebih berhati-hati dan melakukan kajian mendalam dengan para pakar dan akademisi di bidang pertanian dan ketahanan pangan terkait pengembangan lumbung pangan tersebut. 

"Sehingga tidak terjadi kesalahan yang sama seperti yang terjadi pada Food Estate dan percetakan 1,2 juta Ha sawah di Merauke," ujar dia. 

Sementara itu menurut pengamat pertanian sekaligus Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas, rencana ini sudah pernah diinisiasikan mulai dari pemerintahan Presiden ke-2 RI, Soeharto, lalu juga di periode pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

Jokowi sendiri pun sudah pernah mewacanakan pembangunan lumbung padi (rice estate) di Merauke yang hingga kini tak terealisasi. Dengan pengalaman tersebut, ia mengatakan proyek lumbung pangan selalu berujung pada kegagalan. (detikcom, 4/7/2020).

Hal senada juga disampaikan Guru Besar Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar yang mengatakan hal serupa. Bahkan, menurutnya wacana pembangunan lumbung pangan di Kalteng ini hanya menghabiskan waktu dan anggaran yang besar. Daripada nanti buang-buang waktu, buang-buang uang, SDM-nya sangat minim, lebih bagus mengoptimalkan lahan petani yang sudah ada, lahan BUMN yang sudah ada tapi belum ditanami, (detikcom).

Tak jauh berbeda, pengamat pertanian dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah juga meminta pemerintah mempertimbangkan wacana pembangunan lumbung pangan di Kalteng tersebut. Menurut Dwi, membangun lumbung pangan di lahan jenis rawa di Kalteng tidaklah mudah apalagi dengan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. 

Oleh sebab itu, ia menyarankan agar pemerintah lebih mendorong program peningkatan kesejahteraan petani, dibandingkan mengeluarkan anggaran yang besar untuk membangun lumbung pangan. Ia mengatakan, jika petani mendapatkan harga yang layak untuk hasil panennya, maka secara otomatis produktivitasnya akan meningkat.

"Kalau petani ini mendapatkan harga yang layak dengan hasil taninya, maka peningkatan produksi sudah otomatis. Karena petani jadi bergairah untuk bertanam, bergairah untuk meningkatkan produksi. Jadi pengambilan kebijakannya salah," imbuh Dwi. 

Apalagi rencana pemerintah menugaskan BUMN (PT Rajawali Nusantara Indonesia/RNI) untuk turut menggarap lumbung pangan, sehingga basisnya menjadi korporasi.

Iya, masalah pangan di Indonesia memang menjadi masalah yang tak kunjung usai. Pangan adalah kebutuhan primer masyarakat dan seharusnya memang negara wajib menyediakannya. Salah satunya adalah dengan melakukan swasembada pangan, artinya negara mampu untuk menyediakan kebutuhan pangan masyarakat tanpa harus impor. 

Namun, masalahnya rencana dan program pemerintah untuk menjadikan lumbung pangan nasional selalu saja mengalami kegagalan. Hingga banyak pihak meragukan kesungguhan pemerintah mengembangkan lumbung pangan nasional (LPN) karena kegagalan program serupa di era sebelumnya tidak dibenahi.

Alasan krisis pangan global yang mengancam negeri hendaknya mendorong pemerintah serius dan lepas dari kepentingan politik dalam merealisasi program Lumbung Padi Nasional.

Maka harusnya pemerintah mengutamakan optimalisasi lahan persawahan yang sudah ada milik petani, dibandingkan membangun lumbung pangan nasional yang anggarannya cukup besar.

Masyarakat sendiri banyak yang punya lahan tapi tak bisa mereka untuk menanam karena tidak ada modal. Jadi harusnya negara melakukan optimalisasi lahan pertanian yang belum ditanami. Itu jelas lebih bermanfaat daripada mengucurkan miliaran bahkan triliunan dana anggaran tapi hasilnya tidak jadi atau terjadi kegagalan. 

Bicara masalah ketahanan pangan adalah kemiskinan dan kurang gizi. Data jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup besar, yakni sekitar 25,14 juta jiwa. Kemiskinan ini mengakibatkan berkurangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara ideal. 

Bagaimana tidak? Dengan penghasilan serba minim, rakyat tak lagi mampu membeli bahan makanan yang mengandung gizi seimbang. Sementara masalah lain berkenaan dengan lahan pertanian seakan dalam ancaman kualitas kesuburan tanah. 

Sebagai contoh, pembukaan lahan tambang tanpa memperhatikan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sebagaimana ditunjukkan film dokumenter Sexy Killer, membuat kehidupan masyarakat di sekitar penambangan tidak karuan. Mulai dari pencemaran lingkungan, hilangnya lahan pertanian, hingga hilangnya nyawa, dirasakan oleh mereka yang tak menikmati hasil tambang sepeser pun.

Pembangunan perumahan elite juga menuai masalah akibat kebanyakan diambil dari lahan pertanian warga. Lahan pertanian berkurang, rumah satwa-satwa seperti ular atau binatang lainnya pun ikut hilang. Jika predator tertinggi dalam urutan rantai makanan ini hilang, maka hama tanaman seperti tikus akan menyerbu lahan pertanian dan dipastikan menyebabkan panen gagal.

Pembangunan infrastruktur secara besar-besaran, seperti jalan tol, gedung-gedung pencakar langit, bandara dan sebagainya, juga membuat alih fungsi lahan. Lahan yang sebelumnya sebagai pertanian, dialihfungsikan menjadi bangunan-bangunan beton raksasa.

Inilah sederet problem yang dihadapi negeri ini hingga tak berdaya dalam mengatasi masalah pangan. Maka, untuk menyelesaikan persoalan bangsa ini termasuk masalah pangan maka dituntut adanya para pemimpin yang negarawan. Di mana seorang pemimpin negarawan akan mengerahkan seluruh kemampuannya dan perhatiannya untuk memastikan stok pangan tersedia dan bisa dijangkau oleh seluruh individu rakyat.

Hal ini sejalan dengan apa yang dicontohkan dalam kepemimpinan sistem Islam. Dalam sistem Islam mewajibkan negara untuk menyediakan pasokan pangan dengan mekanisme pasar maupun subsidi. 

Negara dalam sistem Islam juga wajib mewujudkan swasembada agar tidak ada ketergantungan pada asing yang berisiko penjajahan ekonomi dan politik seperti saat ini. Masalah ketahanan pangan dapat diselesaikan dengan mudah oleh Islam. 

Setidaknya ada lima prinsip pokok tentang ketahanan pangan yang bisa digagas dan diterapkan yang pernah dijalankan di masa panjang dari kepemimpinan Islam, yang tetap relevan hingga masa-masa mendatang. Dan ini bisa untuk dicontoh bangsa ini agar menjadi bangsa besar dan mampu menjadi lumbung pangan yang melimpah.

Mengutip dalam jurnal Prof. Fahmi Amhar, 2018, bahwa prinsip pertama, optimalisasi produksi, yaitu mengoptimalkan seluruh potensi lahan untuk melakukan usaha pertanian berkelanjutan yang dapat menghasilkan bahan pangan pokok. Ada peran berbagai aplikasi sains dan teknologi, mulai dari mencari lahan optimal untuk benih tanaman tertentu, teknik irigasi, pemupukan, penanganan hama, hingga pemanenan dan pengolahan pascapanen.

Kedua, adaptasi gaya hidup, agar masyarakat tidak berlebih-lebihan dalam konsumsi pangan. Konsumsi berlebihan justru berpotensi merusak kesehatan (wabah obesitas) dan juga meningkatkan persoalan limbah. Nabi mengajarkan agar seorang mukmin baru makan tatkala lapar dan berhenti sebelum kenyang.

Ketiga, manajemen logistik, di mana masalah pangan beserta yang menyertainya seperti irigasi, pupuk, antihama, sepenuhnya dikendalikan pemerintah, yaitu dengan memperbanyak cadangan saat produksi berlimpah dan mendistribusikannya secara selektif pada saat ketersediaan mulai berkurang. Di sini teknologi pascapanen menjadi penting.

Keempat, prediksi iklim, yaitu analisis kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrem dengan mempelajari fenomena alam seperti curah hujan, kelembapan udara, penguapan air permukaan, serta intensitas sinar matahari yang diterima bumi.

Kelima, mitigasi bencana kerawanan pangan, yaitu antisipasi terhadap kemungkinan kondisi rawan pangan yang disebabkan oleh perubahan drastis kondisi alam dan lingkungan. Mitigasi ini berikut tuntunan saling berbagi di masyarakat dalam kondisi sulit seperti itu. 

Inilah prinsip-prinsip Islam dalam mewujudkan ketahanan pangan. Cara ini hanya bisa terwujud jika didukung sistem ekonomi Islam, sistem pemerintahan Islam, dan sistem Islam lainnya. Kombinasi sistem yang hebat ini akan mewujudkan ketahanan pangan yang diimpikan negeri ini. Maka, tidakkah kita menginginkan masa keemasan itu kembali? Wallahu a’lam bishawab.

Baca juga: Telaah - Kasus pandemi semakin bertambah, perlu penanganan preventif

Baca juga: Telaah - Peluang bagi UMKM "go digital" di era normal baru

Baca juga: Telaah - Problematika pendanaan Pilkada Serentak 2020