Pandangan fikih soal larangan mudik
“Taatlah kalian kepada Allah, Rasul (Muhammad) dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu” (QS. An-Nisa` [4]: 59).
Jakarta (ANTARA) - Lebaran tahun 2021 ini akan terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Karena aturan dari pemerintah yang melarang mudik ke kampung halaman untuk wilayah-wilayah tertentu.
Larangan ini tentu sangat berat bagi kita semua, terutama yang sudah memiliki kebiasaan mudik setiap tahun untuk berkumpul dengan sanak saudara di kampung halaman.
Salah satu alasan yang dikemukakan pemerintah untuk mengambil kebijakan ini adalah karena melihat fenomena yang terjadi pada periode Natal 2020 dan Tahun Baru 2021.
Saat itu tidak ada larangan mudik. Akibatnya, usai libur Natal dan Tahun Baru, kasus COVID-19 pun melonjak drastis.
Di sisi lain, larangan mudik memberikan pukulan telak kepada pengusaha transportasi, baik darat, udara, maupun laut.
Sebab, dengan larangan mudik secara otomatis penerimaan mereka dari para penumpang yang biasanya ramai ketika musim mudik akan akan "terjun bebas".
Dampak larangan mudik bahkan bukan hanya berhenti sampai di sini saja, tetapi berimbas juga pada perekonomian di daerah seperti penurunan pengunjung hotel, jumlah wisatawan sampai sepinya pembeli di tempat oleh-oleh.
Namun pemerintah berargumen bahwa biaya penanganan pandemi tak sebanding dengan roda ekonomi yang berputar saat mudik lebaran.
Dengan demikian kebijakan larangan mudik yang ditetapkan pemerintah pada dasarnya berorientasi kemaslahatan publik, yaitu pencegahan laju penyebaran virus COVID-19.
Menanggapi permasalahan tersebut, simak tanya jawab bersama Ustadz Mahbub Maafi Ramdlan, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU.
Bagaimana pandangan dalam fikih Islam melihat kebijakan pemerintah yang melarang mudik dengan alasan tersebut?
Tak ditemukan dalil secara spesifik, baik yang memerintahkan maupun yang melarang mudik pada saat Lebaran. Dengan demikian, mudik secara umum adalah sesuatu yang mubah.
Dalam pandangan fikih, pemerintah boleh melarang sesuatu yang mubah sepanjang larangan tersebut mengandung kemaslahatan publik, dan perintah itu wajib dipatuhi.
Hal ini sebagaimana dipahami dari apa yang dikemukakan Syaikh Nawawi Banten di dalam kitab Nihâyatuz Zain;
“Ketika seorang pemimpin pemerintahan memerintah perkara wajib, maka kewajiban itu makin kuat, bila memerintahkan perkara sunnah maka menjadi wajib, dan bila memerintahkan perkara mubah, seperti melarang merokok, maka bila di dalamnya terdapat kemaslahatan publik, maka wajib dipatuhi.”
Berpijak dari apa yang dikemukakan Syaikh Nawawi Banten ini maka larangan mudik oleh pemerintah dalam sudut pandangan fikih atau syariat dapat dibenarkan, sehingga wajib ditaati karena larangan tersebut didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan publik, yaitu menekan dan meminimalisir penularan COVID-19.
Karenanya, jika ada orang nekat mudik dengan tanpa alasan yang dibenarkan, maka ia berdosa.
Berdosa bukan karena mudiknya, tetapi karena melanggar ketaatan kepada aturan yang ditelah ditetapkan pemerintah.
“Taatlah kalian kepada Allah, Rasul (Muhammad) dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu” (QS. An-Nisa` [4]: 59).
Kendati demikian, pemerintah juga mesti dituntut sedapat mungkin meminimalisir dampak ekonomi dari larangan mudik.
Jadi, pemerintah bukan hanya sekadar melarang mudik, tetapi juga dituntut untuk memberikan kompensasi ekonomi terutama untuk wilayah-wilayah yang terkena dampaknya, sehingga kebijakan pelarangan tersebut dapat diterima dengan legowo oleh masyarakat.
Larangan ini tentu sangat berat bagi kita semua, terutama yang sudah memiliki kebiasaan mudik setiap tahun untuk berkumpul dengan sanak saudara di kampung halaman.
Salah satu alasan yang dikemukakan pemerintah untuk mengambil kebijakan ini adalah karena melihat fenomena yang terjadi pada periode Natal 2020 dan Tahun Baru 2021.
Saat itu tidak ada larangan mudik. Akibatnya, usai libur Natal dan Tahun Baru, kasus COVID-19 pun melonjak drastis.
Di sisi lain, larangan mudik memberikan pukulan telak kepada pengusaha transportasi, baik darat, udara, maupun laut.
Sebab, dengan larangan mudik secara otomatis penerimaan mereka dari para penumpang yang biasanya ramai ketika musim mudik akan akan "terjun bebas".
Dampak larangan mudik bahkan bukan hanya berhenti sampai di sini saja, tetapi berimbas juga pada perekonomian di daerah seperti penurunan pengunjung hotel, jumlah wisatawan sampai sepinya pembeli di tempat oleh-oleh.
Namun pemerintah berargumen bahwa biaya penanganan pandemi tak sebanding dengan roda ekonomi yang berputar saat mudik lebaran.
Dengan demikian kebijakan larangan mudik yang ditetapkan pemerintah pada dasarnya berorientasi kemaslahatan publik, yaitu pencegahan laju penyebaran virus COVID-19.
Menanggapi permasalahan tersebut, simak tanya jawab bersama Ustadz Mahbub Maafi Ramdlan, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU.
Bagaimana pandangan dalam fikih Islam melihat kebijakan pemerintah yang melarang mudik dengan alasan tersebut?
Tak ditemukan dalil secara spesifik, baik yang memerintahkan maupun yang melarang mudik pada saat Lebaran. Dengan demikian, mudik secara umum adalah sesuatu yang mubah.
Dalam pandangan fikih, pemerintah boleh melarang sesuatu yang mubah sepanjang larangan tersebut mengandung kemaslahatan publik, dan perintah itu wajib dipatuhi.
Hal ini sebagaimana dipahami dari apa yang dikemukakan Syaikh Nawawi Banten di dalam kitab Nihâyatuz Zain;
“Ketika seorang pemimpin pemerintahan memerintah perkara wajib, maka kewajiban itu makin kuat, bila memerintahkan perkara sunnah maka menjadi wajib, dan bila memerintahkan perkara mubah, seperti melarang merokok, maka bila di dalamnya terdapat kemaslahatan publik, maka wajib dipatuhi.”
Berpijak dari apa yang dikemukakan Syaikh Nawawi Banten ini maka larangan mudik oleh pemerintah dalam sudut pandangan fikih atau syariat dapat dibenarkan, sehingga wajib ditaati karena larangan tersebut didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan publik, yaitu menekan dan meminimalisir penularan COVID-19.
Karenanya, jika ada orang nekat mudik dengan tanpa alasan yang dibenarkan, maka ia berdosa.
Berdosa bukan karena mudiknya, tetapi karena melanggar ketaatan kepada aturan yang ditelah ditetapkan pemerintah.
“Taatlah kalian kepada Allah, Rasul (Muhammad) dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu” (QS. An-Nisa` [4]: 59).
Kendati demikian, pemerintah juga mesti dituntut sedapat mungkin meminimalisir dampak ekonomi dari larangan mudik.
Jadi, pemerintah bukan hanya sekadar melarang mudik, tetapi juga dituntut untuk memberikan kompensasi ekonomi terutama untuk wilayah-wilayah yang terkena dampaknya, sehingga kebijakan pelarangan tersebut dapat diterima dengan legowo oleh masyarakat.