Jakarta (ANTARA) - Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta menilai program vaksinasi berbayar untuk individu berpotensi mengancam ketersediaan vaksin gotong royong gratis untuk karyawan.
“Membuka opsi berbayar untuk individu memang bisa mempercepat program vaksinasi, tetapi kalau skemanya vaksin gotong royong juga, maka otomatis ketersediaan stok untuk karyawan swasta berkurang,” ucap Andree dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin.
Menurut dia, harga vaksin yang mahal dan ketidakpastian jadwal pengiriman vaksin membuat beberapa perusahaan ragu-ragu untuk menyelenggarakan vaksinasi gotong royong. Dengan vaksin berbayar, perusahaan yang ragu berpotensi membatalkan pelaksanaan vaksinasi gotong royong gratis untuk karyawan mereka.
"Jadi alih-alih meningkatkan jumlah yang divaksinasi, yang terjadi sebenarnya adalah pergeseran peserta dari perusahaan ke individu," imbuh Andree.
Sebelumnya, Kementerian BUMN mengharapkan Vaksinasi Gotong Royong (VGR) Individu dapat membantu mempercepat pembentukan kekebalan komunal atau herd immunity.
Andree memastikan agar vaksinasi berjalan dengan baik dan cepat, pemerintah perlu menambah pasokan baik dari segi jumlah maupun mendiversifikasi mereknya. Dengan ini, perusahaan dan individu bisa memilih vaksin yang harganya sesuai dengan kemampuan mereka.
Namun, pencarian supplier baru ini akan menambah pekerjaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Bio Farma yang menjadi satu-satunya pengimpor, produsen, dan distributor vaksin COVID-19. Tambahan pekerjaan ini pun berpotensi meningkatkan risiko kemacetan distribusi vaksin.
Oleh karena itu, kata Andree, pemerintah perlu mendiversifikasi jalur impor dan produksi vaksin untuk mengurangi risiko kemacetan penyaluran. Pasalnya, Indonesia membutuhkan jumlah vaksin yang besar untuk mempercepat dan memperluas pelaksanaan vaksinasi.
“Penelitian CIPS menemukan bahwa sudah ada pihak swasta Indonesia yang dalam proses menguji vaksin COVID-19, yaitu Kalbe Farma yang menggandeng Genexine dari Korea Selatan. Kalbe bahkan sempat mempertimbangkan membangun fasilitas produksi vaksin di Indonesia,” kata Andree.
Dia merekomendasikan Kementerian Investasi/BKPM untuk mengidentifikasi regulasi yang menghambat investasi di sektor farmasi dengan menjadikan Kalbe Farma sebagai contoh kasus.
Dengan membantu Kalbe Farma merealisasikan investasi untuk uji coba vaksin, pemerintah tidak hanya akan meningkatkan kapasitas produksi vaksin dalam negeri, tapi juga mengidentifikasi hambatan bagi partisipasi Indonesia yang lebih luas dalam rantai nilai global farmasi.