Jakarta (ANTARA) - Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) RI Periode 2014-2021 dr. Harry Parathon, Sp.OG (K) mengatakan banyaknya penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan rekomendasi dokter yang merupakan salah satu penyumbang terbesar angka resistensi antimikroba (AMR) di dunia kesehatan.
"Banyaknya penjualan antibiotik tanpa resep yang kerap terjadi di Indonesia merupakan salah satu faktor pemicu AMR," kata dr. Harry dalam seminar web pada Jumat.
Ia memaparkan, hal tersebut menjadikan AMR salah satu dari 10 ancaman kesehatan global yang paling berbahaya di dunia.
Berdasarkan data WHO, penggunaan antibiotik meningkat 91 persen secara global dan meningkat 165 persen di negara-negara berkembang pada periode 2000-2015. Implikasi dari AMR adalah sulitnya penyembuhan penyakit dan semakin tingginya biaya kesehatan.
Baca juga: Jangan sembarangan konsumsi antibiotik demi hindari masalah kesehatan
Di Indonesia, peraturan mengenai penjualan obat antibiotik diatur dalam UU Obat Keras tahun 1949, yang disebutkan bahwa yang berwenang untuk meresepkan obat antibiotik hanyalah dokter, dokter gigi, dan dokter hewan.
"UU Obat keras tersebut menyatakan bahwa obat keras adalah obat-obatan yang tidak digunakan untuk keperluan teknik, mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, mendesinfeksikan tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak," jelas dr. Harry.
"Selain itu disebutkan juga bahwa pada bungkus luar obat keras harus dicantumkan tanda khusus ini berupa kalimat ‘Harus dengan resep dokter’ yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977," tambahnya.
Selanjutnya, dokter dari Universitas Airlangga Surabaya itu menjelaskan, Kementerian Kesehatan mengeluarkan Penatagunaan Antimikroba (PGA) yang didasari oleh Permenkes no 8/2015 tentang implementasi PPRA di rumah sakit.
Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan kesembuhan pasien, mencegah dan mengendalikan resistansi antimikroba, menurunkan angka kejadian rawat inap berkepanjangan, dan menurunkan kuantitas penggunaan antimikroba.
"Tim dari PGA ini berfungsi untuk membantu pelayanan kesehatan di rumah sakit dalam menerapkan penggunaan antimikroba secara bijak dan mendampingi dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) dalam menetapkan diagnosis penyakit infeksi, memilih jenis antimikroba, dosis, rute, saat dan lama pemberian," jelas dr. Harry.
"Sedangkan, tugas dari DPJP adalah menegakkan diagnosis infeksi bakteri, memberikan antimikroba sesuai dengan panduan pelayanan klinik, dan bekerja sama dengan Tim PGA KSM dan Tim PGA KPRA-RS," imbuhnya.
Menurut data dari pengeluaran unit farmasi pada tahun 2019, penggunaan meropenem satu gram di RSDS, Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo, pada bulan November 2019 mulai mengalami penurunan setelah diluncurkannya PGA pada bulan Oktober 2019.
"Selain itu, bakteri resistan terhadap karbapenem yang sebelumnya berada di angka 17,19 persen pada bulan Oktober 2019, turun menjadi 10,94 persen pada bulan November dan 3,13 persen pada bulan Desember," jelasnya.
Berita Terkait
Ini rahasia sederhana buat kopi enak di rumah
Kamis, 17 Oktober 2024 17:43 Wib
Kejang pada anak akibat obat resep meningkat dua kali lipat
Kamis, 17 Oktober 2024 11:34 Wib
Sambut Oktober, Neo Palma sajikan Pais Ikan Resep Tambi hingga 'Mexican Barbequ'
Senin, 30 September 2024 15:33 Wib
Bahan dan cara membuat soto betawi tanpa santan kreasi Chef Devina
Minggu, 18 Agustus 2024 17:42 Wib
Bahan dan cara membuat risoles keju kornet ala Chef Devina
Kamis, 4 Juli 2024 12:36 Wib
Bahan dan cara memasak jeroan untuk kreasi hidangan Idul Adha
Jumat, 14 Juni 2024 17:40 Wib
Bahan dan cara membuat hidangan manis Rose Tres Leches untuk berbuka puasa
Jumat, 29 Maret 2024 10:19 Wib
UNRWA : Serangan militer di Rafah adalah 'sebuah resep bencana'
Minggu, 11 Februari 2024 17:10 Wib