Ia mengatakan bahwa burnout terjadi akibat kelelahan yang berlebihan dan dapat disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya beban kerja atau workload yang terlalu banyak.
"Perusahaan atau manajer perlu mengevaluasi secara berkala workload dari setiap anak buahnya. Dari situ kita harus melakukan redistribusi pekerjaan," kata Sawitri saat konferensi pers virtual, Selasa.
Tidak hanya itu, lanjutnya, burnout juga bisa dipicu oleh tidak tersedianya alat penunjang kerja atau tools yang memadai yang bisa memenuhi kebutuhan karyawan untuk mempermudah karyawan menyelesaikan pekerjaan dengan efisien dan cepat.
Baca juga: Apple beri kelonggaran karyawannya untuk aturan pemakaian masker
Oleh sebab itu, Sawitri menyarankan agar perusahaan meninjau dan memperbaiki alat penunjang kerja secara berkala. Sebagai contoh, perusahaan perlu menggunakan alat komunikasi (messenger tools) antarpekerja yang memiliki basis dan sifat untuk kepentingan bisnis.
"Kalau kita menggunakan messenger yang memang dibangun untuk bisnis, maka itu tentunya akan menyelesaikan banyak hal seperti untuk menyimpan data di cloud," ujarnya.
Untuk menghindari burnout, perusahaan perlu mendorong atau memberikan waktu untuk karyawan berhenti sejenak dari agenda tertentu, kata Sawitri. Perusahaan juga harus harus mendorong karyawan menetapkan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan di jam kerja.
Sebagai contoh perusahaan atau manajer memberikan keringanan bagi karyawan yang terus-menerus melakukan pertemuan virtual (online meeting) sehingga bisa memiliki waktu untuk mengerjakan tugas sesuai dengan jam kerja yang telah ditetapkan.
"Sejak pandemi, kita banyak melakukan work from home (WFH). Meeting itu seperti tidak habis-habis dan tidak ada jeda. Akhirnya kita mengerjakan pekerjaan setelah jam kerja," ujarnya.
Sawitri mengatakan kondisi pandemi COVID-19 telah mengubah dunia usaha secara dramatis melalui peningkatan otomatisasi dan digitalisasi. Perusahaan juga banyak yang melakukan percepatan transformasi digital agar tidak kalah bersaing. Kondisi ini memicu jam kerja yang semakin panjang pada karyawan.
"Ini juga ada di laporan Jobstreet bahwa dengan adanya WFH dan kebutuhan transformasi, ternyata 50 persen menyatakan bahwa pekerjaan mereka itu semakin banyak dan semakin lama cara kerjanya. Akhirnya terjadi kelelahan luar biasa, kelelahan burnout pada talent memicu the great resignation," katanya.
The great resignation merupakan fenomena yang menggambarkan pengunduran diri karyawan secara besar-besaran yang meluas selama pandemi berlangsung.
Dalam fenomena tersebut, Sawitri mengatakan banyak karyawan yang mulai memikirkan work life balance, tujuan karier, hingga tujuan hidup yang mengubah cara pandang mereka sehingga memutuskan untuk resign atau beralih pada pekerjaan lain.
"The great resignation itu juga dihadapi oleh banyak perusahaan di Indonesia. Malahan ada perusahaan yang terus-menerus setiap bulan itu cari talent karena turnover-nya relatif tinggi," tuturnya.
Baca juga: Curi Iphone 13 Pro Max, pecatan karyawan ID Expres ditangkap polisi
Baca juga: Tanggapan Dirut Garuda Indonesia terkait isu PHK karyawan
Baca juga: Google perpanjang waktu cuti karyawan