Jakarta (ANTARA) - Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan komitmen Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan kasus dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat di masa lalu tidak pernah surut.
Ruhaini dalam keterangannya di Jakarta, Rabu, mengatakan peneguhan komitmen tersebut karena presiden bertekad untuk membebaskan Indonesia dari beban masa lalu yang "menyandera" dan menguras energi bangsa.
“Dengan terselesaikannya pelanggaran berat di masa lalu, bangsa Indonesia dapat menyongsong masa depan dengan percaya diri, bermartabat, dan optimisme dalam mewujudkan bangsa yang tangguh, mandiri, dan kompetitif ditingkat global,” kata Ruhaini.
Pernyataan Ruhaini itu untuk menanggapi pidato Presiden Joko Widodo tentang penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu yang disampaikan dalam Sidang Tahunan MPR, Selasa (16/8).
Ia mengatakan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu sebelum pengesahan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dilakukan dengan dua pendekatan yakni yudisial dan non-yudisial.
Secara yudisial, lanjut Ruhaini, Presiden Jokowi telah menginstruksikan Kejaksaan Agung (Kejagung) dan mendorong Komnas HAM untuk terus melanjutkan proses hukum atas pelanggaran HAM berat.
Ia mencontohkan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua pada 2014. Dugaan kasus pelanggaran HAM tersebut sudah dilimpahkan ke pengadilan.
“Atas upaya ini, Presiden mengapresiasi kesungguhan semua pihak termasuk Kejagung dan Komnas HAM,” terangnya.
Selain yudisial, pemerintah juga menggunakan pendekatan non-yudisial dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu yakni dengan mengedepankan pengungkapan kebenaran, pemulihan korban, dan jaminan ketidakberulangan tindakan serupa. Hal ini, dilakukan dengan membentuk tim penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Keputusan Presiden (Keppres) saat ini sudah ditandatangani oleh Presiden. Ini semakin menguatkan kinerja pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial yang saat ini sedang berlangsung. Pemerintah dan DPR saat ini juga terus melakukan pembahasan untuk percepatan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” katanya.
Ruhaini juga mengungkapkan beberapa upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pendekatan non-yudisial, yaitu pelaksanaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh pasca Daerah Operasi Militer, serta penyiapan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua yang menjadi bagian dari UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua.