Keadilan restoratif tidak sekadar hentikan perkara
Badung (ANTARA) - Direktur Eksekutif The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus A.T. Napitupulu menekankan bahwa keadilan restoratif tidak semata-mata bertujuan untuk menghentikan perkara.
"Diharapkan penegak hukum tidak lagi terjebak dalam satu persepsi bahwa keadilan restoratif hanya terbatas pada perdamaian pelaku dan korban serta penghentian perkara, apalagi perdamaian yang dipaksakan," kata Erasmus ketika dikonfirmasi ANTARA dari Bali, Selasa.
Ia menjelaskan bahwa keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan dalam penyelesaian perkara pidana yang bentuknya bisa bermacam-macam, baik upaya perdamaian maupun pemenuhan kerugian korban, yang titik tekannya adalah pada kepentingan pemulihan korban.
"Pelaksanaan restorative justice harus menghormati prinsip kesetaraan gender dan nondiskriminasi, mempertimbangkan ketimpangan relasi kuasa dan faktor kerentanan berbasis umur, latar belakang sosial, pendidikan, dan ekonomi," ucap Erasmus.
Ia juga mengingatkan agar pelaksanaan keadilan restoratif harus memastikan adanya pemberdayaan dan partisipasi aktif dari para pihak, mulai dari pelaku, korban, hingga pihak lain yang terlibat.
"Restorative justice berpegang pada prinsip kesukarelaan tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi," tuturnya.
Dengan demikian, Erasmus bersama Konsorsium Restorative Justice merumuskan definisi keadilan restoratif sebagai pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana dengan melibatkan para pihak, baik korban, pelaku, maupun pihak yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, bukan hanya pembalasan.
Pernyataan tersebut dia sampaikan dalam Konferensi Nasional Keadilan Restoratif Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia dengan Keadilan Restoratif pada hari Selasa dan Rabu (2/11) secara luring di Hotel Aryaduta Jakarta.
Konferensi ini bertujuan menjadi ruang bersama antarkementerian dan lembaga serta organisasi masyarakat sipil dalam membangun komitmen untuk menyepakati persepsi tentang keadilan restoratif.
Dalam konferensi ini, paparan dan diskusi dari semua pihak juga mengangkat ide-ide progresif dalam penyelenggaraan keadilan restoratif serta memberi gambaran untuk tindak lanjut dan koordinasi dalam mengarusutamakan pendekatan tersebut dalam sistem peradilan pidana dengan tepat, yang tidak hanya mengenai perdamaian dan penghentian perkara.
"Diharapkan penegak hukum tidak lagi terjebak dalam satu persepsi bahwa keadilan restoratif hanya terbatas pada perdamaian pelaku dan korban serta penghentian perkara, apalagi perdamaian yang dipaksakan," kata Erasmus ketika dikonfirmasi ANTARA dari Bali, Selasa.
Ia menjelaskan bahwa keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan dalam penyelesaian perkara pidana yang bentuknya bisa bermacam-macam, baik upaya perdamaian maupun pemenuhan kerugian korban, yang titik tekannya adalah pada kepentingan pemulihan korban.
"Pelaksanaan restorative justice harus menghormati prinsip kesetaraan gender dan nondiskriminasi, mempertimbangkan ketimpangan relasi kuasa dan faktor kerentanan berbasis umur, latar belakang sosial, pendidikan, dan ekonomi," ucap Erasmus.
Ia juga mengingatkan agar pelaksanaan keadilan restoratif harus memastikan adanya pemberdayaan dan partisipasi aktif dari para pihak, mulai dari pelaku, korban, hingga pihak lain yang terlibat.
"Restorative justice berpegang pada prinsip kesukarelaan tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi," tuturnya.
Dengan demikian, Erasmus bersama Konsorsium Restorative Justice merumuskan definisi keadilan restoratif sebagai pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana dengan melibatkan para pihak, baik korban, pelaku, maupun pihak yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, bukan hanya pembalasan.
Pernyataan tersebut dia sampaikan dalam Konferensi Nasional Keadilan Restoratif Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia dengan Keadilan Restoratif pada hari Selasa dan Rabu (2/11) secara luring di Hotel Aryaduta Jakarta.
Konferensi ini bertujuan menjadi ruang bersama antarkementerian dan lembaga serta organisasi masyarakat sipil dalam membangun komitmen untuk menyepakati persepsi tentang keadilan restoratif.
Dalam konferensi ini, paparan dan diskusi dari semua pihak juga mengangkat ide-ide progresif dalam penyelenggaraan keadilan restoratif serta memberi gambaran untuk tindak lanjut dan koordinasi dalam mengarusutamakan pendekatan tersebut dalam sistem peradilan pidana dengan tepat, yang tidak hanya mengenai perdamaian dan penghentian perkara.